3 Chp1: Day 1 (2)

Kebohongan tetaplah kebohongan, dan tidak akan pernah menjadi sebuah kebenaran.

***

Hiruk-pikuk suara di dalam bus memenuhi telingaku. Untuk meredamnya aku memutuskan memakai earphone, memutar musik video dari seorang idola solo yang sedang naik daun 1 tahun belakang.

Cahaya mentari sudah mulai menembus kaca bus, melewati kacamataku lalu membuat mataku silau. Jam 7:45 pagi, sudah hampir 3 jam aku berangkat dari kontrakan. Telah 3 kali juga berganti bus hingga berakhir di bus terakhir yang menuju pulau buatan— pulau Garuda. Semua penumpang bus ini juga sepertinya para pelajar sama sepertiku, toh mereka semua memakai seragam yang sama.

Melewati jembatan panjang dari pulau utama ke pulau Garuda. Pemandangan yang terlihat dari jendela bus hanyalah bentangan laut yang luas menandakan kalau kami berada ditengah-tengah laut. Tanpa terlihat jalan lain, hanya ada satu jembatan yang menghubungkan pulau utama ke pulau Garuda. Sungguh tempat yang tertutup.

Aku melirik ke ponsel pintarku. Menyadari kalau koneksi internet telah hilang, menandakan kalau pulau ini tidak tercakup koneksi ke luar. Padahal 2 menit lalu aku masih bisa membuka sosial media. "Apakah tempat ini benar-benar sebuah surga?"

Kemudian seorang pria mendatangiku. "Halo," sapanya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" lanjut dia.

Pria mud- lebih tepatnya remaja. Rambut berwarna kecokelatan disisir ke arah kiri dengan rapi, matanya sayu dengan iris yang lebar dan berkilauan. Jika disejajarkan denganku, mungkin dia lebih tinggi dariku karena badannya yang tegap. Dia memakai seragam putih abu-abu dilengkapi dengan almamater hitam, dasi, dan hal yang hampir sama dengan milikku, dengan kata lain orang ini adalah seorang siswa sama sepertiku.

Aku melepas salah satu ujung earphone dari telingaku. "He? A-aku?" tanyaku bingung. Dia hanya mengangguk dengan ditambah senyuman sebagai balasan pertanyaanku.

Kursi di sampingku saat ini memang sedang kosong. Aku memang tidak memiliki hak untuk melarang dirinya duduk di sini, tapi sepertinya dia hanya melakukan ini hanya untuk keformalan saja.

Tidak ada alasanku melarangnya. "Ah- silakan saja."

"Makasih ya," ucapnya tersenyum. Lalu dia meletakan tasnya dilantai, kemudian mulai duduk di kursi sebelahku. 'Makasih' kah... Sepertinya aku harus membiasakan berbicara dengan kata-kata gaul seperti itu mulai sekarang.

Sudah hampir 2 menit sejak bus memasuki jembatan ini, tapi aku belum bisa melihat ujungnya. Aku cukup penasaran seberapa panjang jembatan ini. Tapi ada kemungkinan bus ini saja yang lambat jalannya. Mungkin saja, toh aku jarang naik kendaraan.

"Nama kamu siapa?" tanya orang di sampingku tadi mendadak.

Mendadak dilayangkan pertanyaan seperti itu tentu saja membuatku langsung panik. "Ah- anu- na-namaku?"

"Iya," tegasnya.

"N- namaku Faresta Haerz..." jawabku gugup.

"Faresta ya, nama yang cukup bagus. Oh, kalau namaku Yudha Satrio, panggil saja Yudha. Salam kenal, Faresta." Dia menjulurkan tangannya, mengajakku bersalaman.

Buruk jika aku mengabaikan niat baiknya, maka dari itu aku menyambut tangannya segera. "Ah- baik. Salam kenal juga." Dan sekali lagi dia hanya membalas dengan senyuman.

Setelah perkenalan singkat itu, kami kembali sibuk dengan diri masing-masing. Yudha mengeluarkan sebuah buku tebal dengan judul yang cukup akrab denganku. Sedangkan aku kembali memasangkan kembali ujung earphone ke telingaku, kemudian menatap layar ponselku yang dari tadi memutar sebuah musik video.

Sekitar 1 menit setelahnya, bus kami sudah turun dari jembatan panjang itu dan mulai menapaki pulau Garuda. Jika dilihat sekilas, pulau ini benar-benar seperti pusat dari sebuah kota kecil.

"Sebentar lagi kita akan sampai ke halte SMA Garuda. Mohon perhatikan barang-barang Anda." Suara dari kenek bus yang menggunakan pengeras suara terdengar di seluruh sudut bus kecil ini.

"Faresta, sebaiknya kita mengemasi barang bawaan kita juga," kata Yudha. "Ya walaupun aku cuma membawa tas dan beberapa buku saja sih, itu pun sebuah novel," kelakarnya.

Apa yang dikatakan olehnya adalah kenyataan. Bukan hanya dia, melainkan aku dan seluruh siswa-siswi yang berada di bus ini. Kami hanya diperbolehkan membawa barang pribadi secukupnya, bahkan ponsel dan seragam yang sedang ku pakai saat ini saja merupakan pemberian dari sekolah. Ya walaupun beberapa minggu lalu aku membeli kartu seluler dan beberapa pakaian selama tinggal di kontrakan kecil itu.

Sepertinya aku juga harus segera memasukkan ponsel dan earphoneku ke dalam tas. Tak selang lama, suara dari kenek bus mulai terdengar lagi. "Kita telah sampai ke SMA Garuda. Para penumpang dimohon untuk berhati-hati ketika turun dari bus."

"Ayo turun." Yudha mulai berdiri dari tempat duduknya, diikuti denganku. "B- baik."

"Woah! Jadi ini yang dikatakan SMA nomor satu di Indonesia!" ujar seorang siswa yang berada di satu bus dengan kami. Dia terkagum-kagum melihat gedung besar nan luas di depannya. Bukan hanya dia, melainkan hampir seluruh siswa-siswi yang baru turun dari bus yang sama juga terlihat kagum melihat gedung yang terpampang spanduk besar bertuliskan [SMA GARUDA].

"Faresta, sebaiknya kita melihat peta di sana dulu." Yudha menunjuk ke sebuah peta setinggi 2 meter dan lebar 4 meter di arah gerbang masuk. Gerbangnya sendiri memiliki lebar lebih dari 10 meter, cukup untuk dilewati dua mobil keluarga sekaligus.

"T- tunggu aku." Melihat Yudha yang sudah berjalan menuju peta itu, aku pun mengikutinya dari belakang.

Kami tidak bisa menggunakan peta digital saat ini, untuk itu aku perlu melihat peta besar ini agar tidak tersesat di pulau- tidak, melainkan di sekolah ini. Petanya benar-benar kompleks. Namun, entah kenapa petanya dibagi menjadi dua, satu menunjukkan keseluruhan pulau ini, satunya lagi hanya menunjukkan bagian sekolah ini saja.

"Wah, benar-benar lengkap ya. Sekolah, mal, Cafe kecil, asrama, toko serba ada, taman, taman air, bahkan sepetak sawah. Benar-benar lengkap, aku heran apakah semua itu diperlukan siswa untuk pembelajaran," Yudha bergumam ketika memperhatikan peta besar ini.

"Oh, sepertinya lapangan tempat upacara pembukaannya di sini." Yudha menunjuk ke sebuah lapangan yang diberi tanda.

"J- jika berjalan dari sini ke sana, mungkin memakan waktu sekitar 4 menit," ujarku.

"Sepertinya lumayan jauh ya."

Mungkin 200 meter. Tapi karena struktur gedung sekolah ini memutar, mungkin saja kami harus menempuh jalan yang lebih panjang untuk sampai ke sana.

"Sebaiknya kita cepat. Sekarang sudah hampir jam 8."

"B- baik."

[SMA GARUDA] tulisan itu sedikit menggangguku. Padahal sekolah ini dikelola oleh pemerintah, tapi kenapa mereka tidak menyandang kata "Negeri" pada namanya? Ya nanti juga aku akan tahu.

"Woi banci!"

"He?! K- kenapa?!" Terdengar bentakan kuat dari seorang gadis. Aku langsung panik karena mengira bentakan itu ditunjukkan kepadaku, tapi ternyata ditunjukkan kepada siswa lain.

"Kau pencuri! Kembalikan novelku!" seru gadis itu.

Siswa yang dituduh itu pun tidak tinggal diam. Dia membantah tuduhan gadis itu dengan berkata, "Apa maksudmu?! Ini novel milikku! Aku membawanya dari rumah!"

"Pembohong! Sudah jelas-jelas kau mengambil novel itu dari tempat dudukku!"

"A- apa?! Kenapa kamu bisa bilang begitu?! Apa kamu punya bukti bahwa novel ini punyamu?! Aku baru saja mengeluarkan novel ini dari tasku! Aku tidak pernah mengeluarkannya di bus tadi!"

"Aku jelas-jelas melihatnya! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri!" Adu mulut antara keduanya tambah memanas.

"Uwah... Sepertinya aku harus segera menengahi mereka," ujar Yudha yang juga menyadari pertikaian mereka. Yudha segera berjalan mendekati arah pertikaian itu terjadi.

Aku tidak ada kewajiban untuk ikut campur, tapi untuk jaga-jaga, aku mengikuti Yudha. Lagi pula, dengan kemampuan anehku ini, aku sudah mengetahui siapa yang sedang berbohong di sini.

avataravatar
Next chapter