webnovel

35. Makan Siang di Rumah

Sebulan kemudian. Luka pada tubuh Bunga dan Agus sudah sembuh. Aku melaporkannya atas dasar pencemaran nama baik. Tidak ada perlawanan dari mereka. Mereka hanya menundukkan kepalanya. Aku pergi dan menyerahkan kasus itu pada pengacaraku.

Aku pulang ke rumah untuk mengunjungi istri dan anakku. Mengetuk pintu, melihat Kayla yang membukakan pintu. Kayla semringah begitu melihatku.

"Sayang sudah pulang?" katanya.

"Iya. Sekarang jam istirahat. Aku ingin makan di sini," jawabku.

Kayla menggandeng tanganku sampai depan meja makan. Dia sendiri yang menyiapkan makanku. Dengan senang hati aku memakan makannya.

"Sayang, Bunga sekarang sudah masuk penjara?"

"Iya. Pengacara mengurus itu tadi dan aku pulang karena aku merindukan istriku," kataku.

"Apa sih. Kita kan setiap hari setiap malam malah bersama dan bertemu," Kayla pun tersipu.

Aku sudah lama tidak melihatnya tersipu seperti itu. Setelah selesai makan aku menemui anakku yang sedang tertidur.

"Apa dia dari tadi tidur?" tanyaku.

"Dia baru saja tidur. Tepat sebelum kamu mengetuk pintu," ujarnya.

Aku mengangguk paham. Karena jam istirahat sebentar lagi habis, aku pun kembali ke kantor untuk kembali bekerja. Mengecup keningnya lalu pergi menggunakan mobil.

Setibanya di kantor. Bayu sudah menungguku di lobi tidak seperti biasanya.

"Ada apa?"

"Saya tadi diminta untuk menjemput bapak karena di atas ada pak komisaris bersama bu Karmila," jawab Bayu.

"Untuk apa mereka datang?"

Aku bergegas menghampiri mereka. Sampai di ruanganku. Mereka memang sedang duduk di sana.

"Untuk apa kalian datang?" ketusku.

"Tentu saja untuk menemuimu," sahut ayah.

Aku duduk di hadapan ayah. Karmila menghela napas lalu menyandarkan pada bahu sofa.

"Kenapa kamu tidak ingin menikahi anakku?" tanya Karmila.

"Yang benar saja aku sudah menikah! Carilah laki-laki untuknya. Lagi pula aku tidak ada rasa tertarik padanya sedikit pun," jawabku ketus.

"Baiklah jika seperti itu. Perusahaan saya akan ambil alih," lanjutnya.

"Jangan sembarangan!" ujarku. "Apa maksudnya ini ayah?" tanyaku pada ayah.

"Ayah sudah bilang padamu jika kamu menuruti perintah ayah, kamu akan menerima semua harta ini. Tapi kamu malah memilih wanita murahan itu. Jika kamu menikah dengan Sherlin perusahaan ini akan menjadi terbesar di negara ini. Lebih baik ayah membiarkan perusahaan ini di kelola olehnya," kata ayah.

"Ayah bodoh apa bagaimana? Bukannya sudah pernah kejadian kalau mereka malah mencuri data dan mengubah datanya hingga perusahaan kita hampir bangkrut?"

"Itu bukan aku yang melakukannya," timpas Karmila.

Pintu terbuka. Semua mengarahkan pandangannya pada sosok wanita paruh baya. Ibu datang tiba-tiba. Dia langsung menampar suaminya.

"Apa yang kamu lakukan? Berani sekali kamu menamparku!" bentak ayah.

"Pantas kamu dapat! Ada hubungan apa sama wanita itu sampai bersikeras menikahkan putramu yang sudah menikah?"

"Ini tentang bisnis!"

"Aku tidak setuju denganmu! Perusahaan ini untuk dikelola keluarga kita bukan orang lain!"

Bayu mendekatiku lalu berbisik, memberitahu bahwa dia yang sudah menghubungi ibu. Aku mengangguk dan menyuruhnya untuk keluar. Perdebatan ayah dan ibu terus berlanjut. Dan melihat Karmila hendak pergi.

"Mau pergi ke mana?"

"Aku tidak ingin membuang-buang waktuku," ujarnya.

"Hebat sekali anda sudah merusak rumah tangga orang lain lalu pergi begitu saja. Aku tahu kau akan pergi karena akan membuat rumor baru kan?" kataku dengan senyum sinis.

"Apa yang kamu bicarakan?" bentak Karmila membuat ayah dan ibu terdiam.

Mereka melihat ke arahku.

"Bukankah kau yang selalu menyebarkan rumor itu?" kataku.

Dia terdiam dan melihat ke arah ayah dan ibu secara bergantian. Panik. Aku terus menekannya yang dia tak sangka sampai membuat suruhannya dipenjara. Dia terbelalak saat mengetahuinya. Jelas, ini adalah ulahnya.

"Apa yang dikatakan putraku benar?" tanya ibu pada Karmila.

"Ti-tidak. Aku tidak mengerti apa maksudnya," jawab Karmila terbata-bata.

Ibu menamparnya dengan keras lalu ditarik tangannya oleh ayah. Karmila memegang pipi kirinya yang ditampar oleh ibu.

"Aku tahu kalian bersekongkol untuk menghancurkan rumah tangga anakku. Lebih baik kita sampai di sini saja. Aku lelah dengan sikapmu yang keras seperti ini!" ujar ibu.

Ayah begitu marah, tiba-tiba tubuhnya ambruk seketika.

"Mas!" ujar ibu.

Karmila yang panik akan situasinya. Dia langsung melarikan diri. Aku berteriak meminta Bayu untuk memanggilkan ambulans.

Tidak lama kemudian ambulans pun datang. Tentu saja kami jadi pusat perhatian karyawan terlebih Karmila yang keluar terlebih dulu. Sampai di rumah sakit. Aku masih bersama ibu untuk menenangkannya. Aku pun menghubungi Kayla.

"Loh, sudah menelepon lagi padahal tadi i

Kita baru saja bertemu," kata Kayla begitu telepon terhubung.

"Ayah di rumah sakit ..."

"Apa? Aku akan pergi ke sana! Beritahu aku di rumah sakit mana?"

"Tidak apa-apa Kay, kamu jaga Clarisa saja. Nanti aku akan menjemputmu."

"Jangan nanti, harus sekarang! Bagaimana pun beliau juga ayahku."

"Huft. Baiklah."

Menutup telepon lalu memberitahu ibu bahwa aku akan menjemput Kayla. Ibu mengangguk dan mengusap air matanya yang berlinang. Sesampainya di rumah. Kayla sudah bersiap.

"Ayo kita pergi sekarang," ujar Kayla.

"Kau akan membawa Clarisa?"

"Tidak. Dia masih tertidur, aku tidak tega untuk membangunkannya. Aku sudah meminta Vina untuk mengantarkannya ke rumah sakit jika Clarisa bangun."

"Baiklah."

Kami pun masuk mobil dan melajukannya. Aku tidak menyangka meskipun ayah bersikap kasar padanya, dia masih menganggapnya sebagai ayahnya. Aku beruntung memiliki istri sepertinya yang masih khawatir pada keluargaku meskipun tidak berbuat baik padanya. Sampai di rumah sakit.

Ibu memberitahu bahwa ayah sudah dipindahkan ke ruang rawat. Aku bersama Kayla menuju ruangan yang sudah di beri tahu oleh ibu.

"Ibu," kata Kayla yang langsung memeluknya. "Bagaimana kondisi ayah sekarang, bu?"

"Dia tidak apa-apa hanya butuh waktu untuk istirahat," jawab ibu.

Tidak lama kemudian, Rena pun datang. Dia juga menanyakan kondisi ayahnya itu.

"Kak Kay, Clarisa tidak di ajak?" tanya Rena.

"Dia masih tidur tadi. Kakak tidak tega membawanya ke sini takut malah jadi membangunkannya," jawab Kayla.

Rena hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu dia berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku. Dia bertanya kenapa ayah bisa seperti itu. Aku menceritakan kejadian di kantor.

"Aku tidak habis pikir dengan ayah, padahal kak Kay itu baik," ujarnya.

Ponselku berdering. Terlihat nama Dika. Dia ingin menyetorkan hasil penjualannya dan aku menyuruhnya untuk datang ke kantor dan memberikan uang itu pada Bayu karena dia belum memiliki kartu ATM untuk mentransfer uangnya. Ya, warung nasi dulu masih berjalan sampai sekarang hanya saja aku sesekali datang ke sana untuk melihat progresnya.

"Dia Dika temanku?" tanya Rena.

Aku hanya mengangguk menanggapinya.

"Dia betah juga ya kerja di bawah tekanan kakak," ujarnya.

"Apa maksudmu?" tanyaku heran.

"Kakak di kantor sangat kejam, dingin dan jarang tersenyum. Apa lagi soal masakan seperti itu. Aku tidak menyangka ada yang mau dengan kakak," ujarnya disertai tawa.

"Diam kamu," sahutku.