webnovel

Liburan akhir pekan

Setelah ayah sadarkan diri beberapa jam yang lalu, dokter sudah membolehkannya untuk pulang. Berada di kediaman Kusuma. Ayah sama sekali tidak berbicara sedikit pun karena ada Kayla. Aku meminta Kayla untuk pulang saja tapi dia bersikeras untuk bermalam di rumah mertuanya ini.

"Kak Kay, Clarisa sama aku saja ya?" ujar Rena lalu menggendong Clarisa.

"Kalau dia rewel atau perlu apa, bawa saja ke kakak ya?" kata Kayla.

"Oke," ujar Rena lalu membawa Clarisa pergi ke kamarnya.

Clarisa diantarkan Vina saat dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Aku menarik tangan Kayla yang sedang membantu ibu di dapur.

"Aku sedang bantu ibu masak loh," ujar Kayla.

"Sudahlah tidak apa-apa. Toh di sana ada bi Siti yang membantu ibu," jawabku singkat.

Setibanya di kamar, aku menutup pintu dan menguncinya.

"Kenapa di kunci? Nanti kalau Clarisa menangis ..."

Aku mencium bibirnya. Kayla menikmati permainanku. Sudah lama aku tidak bermain dengannya. Ini kesempatanku untuk bermain bersamanya selagi ada orang yang menjaga Clarisa.

"Kita akan bermain sekarang?" tanya Kayla dengan napas yang terengah-engah.

Aku mengangguk. "Sudah lama aku menunggu, biarkan aku merasa puas," lanjutku.

Ketika sedang asyik bercumbu dengan Kayla, terdengar suara tangisan. Tidak lain tidak bukan, itu tangisan Clarisa. Kayla tersenyum melihatku. Aku menatapnya kesal. Bisa-bisanya lagi enak-enaknya ada yang ganggu. Kayla beranjak dari tempat tidur lalu mengenakan pakaiannya lagi. Dia mengecup pipiku.

"Nanti kita lanjut ya mainnya," bisik Kayla.

Aku hanya bisa mendengus kesal. Tidak terbayang, ternyata agak susah menghabiskan waktu berdua bersamanya jika sudah ada anak. Aku hanya melihat dia melenggangkan kakinya.

***

POV Kayla

Membuka pintu kamar. Rena yang masih menggendong Clarisa sudah berada di ambang pintu. Aku menggendong Clarisa.

"Aku enggak tahu kenapa dia menangis, mungkin dia ingin tidur bersama mommynya," kata Rena.

"Iya, sepertinya begitu. Dia juga dari tadi kan bermain terus. Terima kasih anty Rena sudah ajak Clarisa main," ujarku.

Aku pun membawa Clarisa kembali ke kamar. Melihat Aditya yang masih kesal. Aku menenangkan Clarisa hingga tertidur.

"Sayang tolong dong rapikan tempat tidurnya. Clarisa sudah tertidur," pintaku.

Tanpa sepatah kata, Aditya membereskan tempat tidurnya. Aku menidurkan Clarisa di kasur. Lalu aku berbalik dan memeluk Aditya yang sedang scrool media sosialnya.

"Ayo lanjut main," kataku berbisik.

"Tidur saja sana. Lagi pula ada Clarisa di sini," ujarnya ketus.

Aku tersenyum lalu mengecup pipinya lagi. Gemas melihatnya yang sedang cemberut seperti itu, aku mencium bibirnya. Aku kira dia akan memarahiku dan menolak ciumanku karena tidak jadi main, ternyata salah. Dia membalas ciumanku.

"Sudahlah tidur saja. Lagi pula ini sudah malam," kata Aditya menghentikan ciumannya yang cukup lama.

"Lusa weekend kan? Ayo kita menghabiskan waktu, membawa Clarisa jalan-jalan juga," ujarku.

"Akan kupikirkan itu nanti. Sekarang tidurlah.

Aditya ikut merebahkan dirinya di sampingku. Memeluk tubuhku lalu tertidur. Aku pun ikut terlelap dalam pelukannya.

Pagi hari tiba, seperti biasa Aditya bangun terlebih dulu dari pada aku. Aku pun segera membersihkan diri sebelum Clarisa bangun. Aku tersenyum saat teringat kejadian semalam di mana Aditya merasa kesal karena tidak jadi main. Keluar dari kamar mandi, melihat Aditya tengah asyik mengajak bicara Clarisa sambil mengganti popoknya.

"Wah, anak mommy sudah bangun ternyata," ujarku menghampiri mereka.

"Ini masih pagi loh, masih jam empat," kata Aditya.

"Memangnya kenapa?" tanyaku. Keningku berkerut mendengarnya.

"Bisa hujan angin kamu mandi jam segini," katanya dengan gelak tawa.

"Ih, aku jadi merasa salah mandi pagi," mendengus kesal.

Aditya mengecup pipiku. Aku hanya menatapnya tajam.

"Memang mau ke mana sih? Sudah mandi pagi-pagi. Biasanya mandi agak siang."

"Ya aku ingin cantiklah," kataku dengan percaya diri.

Aditya menggendong Clarisa lalu mengajakku untuk ke bawah, karena kamarnya Aditya di lantai dua. Ibu dan bi siti sedang memasak di dapur. Aku menghampiri mereka untuk membantu. Terdengar telepon Aditya berdering. Aku tidak terlalu menyimak percakapannya yang entah sedang bertelepon dengan siapa.

"Kamu simpan ini ke meja saja ya, ini sudah hampir selesai," kata ibu.

"Iya bu," ujarku.

Aku menyiapkan makanan. Hingga akhirnya selesai disajikan, kami makan bersama. Melihat ayah sepertinya masih tidak menyukaiku dan itu membuatku canggung. Setelah selesai makan, Aditya pamit pulang.

"Oh, iya bu. Kak Cintya akan datang ke sini. Jadi aku pulang saja," kata Aditya.

"Loh di sini saja, lagi pula besok hari sabtu, kita kumpul di sini," ujar ibu.

"Tidak bu, aku harus pulang. Lagi pula banyak yang harus aku kerjakan di kantor," jawab Aditya.

"Biarkan dia urus kantor, kita lihat seberapa hebat dia mengelolanya tanpa bantuan dariku," timpas ayah.

Aku diam tidak berani bicara apa pun. Hanya saja, Aditya menatapnya tak suka. Kami pun pamit pulang. Aku kira akan pulang ke rumah Aditya ternyata dia membawaku ke rumahku.

"Sayang, warung nasinya masih berjalan ya?" tanyaku saat melihat etalase yang masih dalam posisi yang sama.

"Iya, ini tidak pernah tutup dan hari ini giliran Dika libur, maka dari itu kita ke sini," ujarnya. "Tadinya saat kamu pergi itu, aku mau berhenti saja untuk berjualan di sini, hanya saja aku kasihan pada orang yang bekerja di sini."

"Sudah berapa orang memangnya yang bekerja sekarang?"

"Ada enam orang."

"Syukurlah, berarti semakin ramai ya pengunjungnya?"

Aditya hanya berdeham dan membawakan tas besar yang mana itu keperluan Clarisa. Dika dan yang lain ternyata sudah ada. Mereka menyapa kami.

"Aku baru tahu ternyata istrinya cantik," bisik seorang pria yang mengenakan kaos hitam.

"Diam! Mereka majikan kita jangan sampai terdengar," timpas satunya lagi.

Aditya meminta izin padaku untuk memakai ruang kerjaku sebentar lalu memanggil Dika. Rumahku ternyata berantakan di dalam. Kursi, sofa dan meja semuanya di pindahkan ke samping, mungkin untuk mempermudah pekerjaan mereka.

Setelah Dika keluar dari ruang kerjaku, aku masuk ke sana.

"Sayang, lebih baik renovasi saja rumahku untuk usaha ini, kasihan mereka harus bulak-balik ke dapur. Memakan waktu jadinya," kataku memberi saran.

"Aku juga berpikir seperti itu. Nanti kalau mereka sudah gajian baru di renovasi," jawab Aditya.

Aku mengangguk paham. Aku mengajak Clarisa bermain sedangkan Aditya bekerja di bagian dapur. Tidak terasa hari sudah siang. Pengunjung semakin ramai. Clarisa begitu senang karena di sini banyak orang.

"Sana masuk Kay, nanti kalau suamimu tahu bisa repot, aku nanti yang kena marah," ujar Vina.

"Aku masih penasaran kamu kok bisa balik lagi kerja di sini, katanya kamu keluar kemarin," tanyaku.

Aku memang menemani Vina, mengobrol dengannya di sela-sela dia bekerja.

"Aku butuh duit, Kay. Terlebih aku hanya punya mama sekarang. Aku enggak mau dia kerja jualan keliling lagi buat cari makan. Jadi aku balik lagi kerja di sini meskipun malu karena kejadian itu," ucapnya ketus.

Aku tertawa mendengarnya. Memang itu salahku yang mengambil keputusan sepihak tentang surat perceraian itu. Temanku jadi kena imbas karena ulahku sendiri yang melarikan diri itu.