"Akhirnya kamu bangun juga," ucap laki-laki itu tampak menghela napas lega sambil terus menatapnya.
Lelaki tinggi berambut hitam yang memiliki mata tajam itu berdiri dari kursi, lalu membenarkan pakaian berupa kemeja putih yang dibalut tuksedo hitam dengan dasi yang mengendur.
Di sebuah kamar yang asing itu ia membuka mata dengan kepala yang masih pening. Matanya sibuk mengelilingi kamar mewah dan sangat luas jika dibandingkan dengan kamar indekosnya. Dengan posisi masih merebahkan tubuh di atas ranjang empuk berukuran besar, gadis itu masih sibuk mengucek-ucek mata dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Ia menatap sekeliling, mengeliat seperti biasa sebelum kemudian kedua matanya membulat sempurna menatap seorang lelaki yang lebih tua darinya tengah duduk di sebuah kursi yang berada di sisi ranjang. Tanpa banyak bicara ia bersikap defensif dengan menyibak selimut dan turun dari sana.
"Hey, mau ke mana?" tanya lelaki tersebut.
Tapi, gadis itu tak menjawab. Ia hanya menatap sekilas lelaki di depannya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan menghempaskan cekalan tangan lelaki itu.
"Cepat benerin gaun dan make up kamu, tamu kita udah nunggu sejak satu jam yang lalu."
Mendengar ucapan pria tersebut, gadis itu hanya mengerutkan dahi dan tak mengerti arah pembicaraan ini. Siapa lelaki asing itu? Kenapa juga ia seenaknya menyuruhnya untuk berganti pakaian? Dan lagi, Memangnya mereka akan pergi ke mana?
Pada akhirnya ia menoleh ke belakang kembali menatap lelaki asing tersebut.
"Kita saling kenal?" tanya gadis itu.
"Kamu bercanda?" ucap lelaki itu lagi menatapnya sambil menghentikan aktifitas mengenakan jas hitam yang senada dengan tuksedo serta celana hitam yang sepertinya memang sudah menjadi satu setelan untuk orang berada. Kerutan di dahi dan tatapan yang menyipit pertanda bahwa lelaki itu sedang merasa tak senang dengan responnya barusan.
"Kamu pikir aku suka dengan situasi ini? Jangan mengulur waktu, aku nggak punya waktu lagi buat meladeni sikap kekanak-kanakanmu, Nika."
Kontan ucapan itu semakin sukses membuat kedua alis gadis tersebut semakin berkerut keheranan.
"Nika?" ulangnya membuat lelaki itu menatapnya tanpa ekspresi. "Maaf, tapi nama saya Naya. Kayaknya anda salah orang."
Sedetik kemudian ia berbalik dan sebelum sempat tangannya berhenti menyentuh knop pintu, lelaki tak dikenal itu mencekal lengan Naya dengan erat.
"Jangan main-main, Nika. Orang tua kita udah nunggu di luar!" bentaknya.
Gadis itu menghempaskan tangan lelaki di depannya dengan sentakan keras, "jangan sentuh saya!" teriaknya.
"Jangan bercanda!" sentak lelaki tersebut.
"Kamu yang bercanda." Naya masih berusaha melepaskan diri, tetapi nahas kekuatan tangan lelaki di depannya itu ternyata sangatlah kuat. Sehingga Naya justru merasa kesakitan di bagian pergelangan tangannya.
"Lepas atau saya teriak? Begitu keluar dari sini saya akan laporin kamu ke polisi atas penculikan gadis di bawah umur," ancam Naya.
Saat itu juga lelaki di depannya tampak speechless dengan ucapan Naya. Sehingga gadis itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melepaskan diri dari sana. Naya bergegas membuka pintu, sialnya di depan pintu yang kini terbuka ia menjumpai seorang perempuan paruh baya yang sudah mengenakan kebaya bruklat dengan dandanan cantik berdiri di sana. Wanita itu tampak anggun, tetapi sepasang matanya yang galak melotot ke arah Naya.
"Cukup, Nika!"
"Cukup apa? Namaku bukan Nika," balas gadis itu cepat dengan intonasi tinggi pula.
Ia bergegas berlari menghindari orang-orang aneh yang terus berusaha menghentikan dirinya bahkan memanggilnya dengan nama Nika. Naya tak ingat apa yang terjadi sampai ia harus berakhir di tempat yang begitu mewah dan dipenuhi dengan orang-orang aneh yang bahkan saat ini masih saja mengejar ke mana pun ia melangkah pergi.
Dalam pelariannya itu kedua mata Naya berbinar saat ia melihat dua pintu berukuran besar yang sudah pasti menjadi satu-satunya jalan untuk keluar dari tempat ini. Dan saat kedua pintu itu terbuka dengan dorongan kuat kedua tangan Naya, gadis itu menghentikan langkahnya dengan spontan, dan nyaris saja menubruk teralis besi pambatas jika ia tak pandai mengerem langkah kakinya sendiri. Gadis itu tak habis pikir bahwa pintu balkon saja sebesar ini. Nyatanya kini Naya justru berada di lantai dua yang mungkin memiliki ketinggian sekitar tujuh meter. Jika saja Naya nekat untuk turun ke bawah, boleh jadi besok ia tak akan bisa berjalan dengan normal lagi.
"Nika?"
Gadis itu kontan menoleh mendengar suara besar milik lelaki asing yang tadi berada satu kamar dengannya. Naya jelas celingukan dan diserang panik. Ke mana ia harus kabur sekarang? Bukannya menemukan jalan keluar, justru terjebak di lantai dua. Ah, padahal hari ini ia harus ke mini market untuk melakukan pekerjaan paruh waktu.
"Stop di situ, jangan mendekat, atau aku bakalan ...." Gadis itu menghentikan ucapannya, ia tak mungkin bilang akan lompat dari lantai setinggi itu.
Terlebih melihat ekspresi dingin lelaki di depannya yang seolah tak begitu sepenuhnya peduli dengan apa yang akan ia lakukan.
"Oke, kalau gitu kita negoisasi, sesuai kemauan kamu, 'kan?" suara bariton itu terdengar membuat Naya masih menatapnya dengan waspada.
Namun, kini Naya menghentikan langkahnya dan berdiri tegak dengan jarak sekitar dua setengah meter dari pria tak dikenal tersebut.
"Negoisasi?" ulang Naya, "saya?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri seperti orang bodoh.
Sedangkan lelaki di depannya, yang bahkan tak ia ketahui namanya itu mengangguk pelan. "Aku tau kamu nggak suka sama pertunangan ini, tapi acara ini harus tetap berjalan. Surat kontrak atau apapun itu, terserah kamu, aku bakalan ikuti semua mau kamu kali ini," jelasnya panjang.
Tatapannya memang tak se-kaku awalnya seperti saat Naya menatapnya di kamar besar tadi. Tapi, tunggu dulu. Naya bahkan betulan nggak tau apa yang sedang terjadi saat ini.
"Tapi, wait ... gimana caranya saya bisa ada di sini?" hanya itu pertanyaan yang sejak tadi memenuhi isi kepala Naya. Sungguh Naya ingat, semalam ia kelelahan karena harus menggantikan tugas Mbak Dea menjaga mini market, ia pulang tengah malam nyaris dini hari, selepas itu ia bahkan belum sempat mandi dan kemudian tertidur begitu saja di atas kasur.
Yah, hanya itu. Seriusan!
Tanpa Naya sadari saat ia tengah berpikir, lelaki itu semakin mendekat. Ketika jarak antara keduanya tinggal dua langkah, Naya bergerak cepat, ia masih terus menghindar dan terus menjauh sampai keduanya melakukan gerakan berputar untuk saling menghindar dan menangkap. Sampai kemudian gadis itu secara mendadak menghentikan langkah saat ia melewati sebuah cermin besar setinggi tubuhnya. Naya tercengang untuk beberapa saat sebelum kemudian kembali mundur selangkah dan berdiri tepat di depan cermin.
Seorang lelaki dengan paras menawan dan tubuhnya yang tinggi tegap tengah berdiri di belakang Naya. Tapi, bukan itu masalahnya.
Ia secara alamiah menyentuh wajah dengan kedua tangan dan sepasang mata yang membulat sempurna. Bibir kecil berwarna merah jambu yang ternganga dan gaun putih seorang pengantin. Gadis itu berteriak sampai tersentak mundur ke belakang.
"A-aapa, yang terjadi? Kenapa mukaku jadi begini?"
"Hey, ada apa? Kenapa kamu teriak?" tanya lelaki yang sejak tadi mengejarnya mencoba mendekat.
Dan, Naya masih tak mengerti. Ia kembali mendekati cermin dan menatap pantulan bayangan seorang wanita dewasa yang begitu asing di matanya. Untuk memastikan bahwa wanita asing di depan itu bukanlah dirinya Naya mencoba bergerak. Sialnya, bayangan cermin itu mengikuti semua gerakan Naya mulai dari mengangkat tangan ke atas sampai menari dengan gerakan absurd.
"Nika, kamu udah gila?" heran lelaki itu.
Gadis itu kemudian berhenti melakukan semua gerakan aneh dan berputar menatap lelaki tersebut. Ia tertawa sejenak dengan cukup kencang membuat suasana di sana semakin tak terbaca.
"Kamu benar," kata Naya, "sepertinya aku emang udah beneran gila." Gadis itu mengimbuhi sebelum sedetik kemudian ia kembali jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Sontak hal itu membuat lelaki di depannya berdecak dengan helaan napas panjang melihat Nika tak sadarkan diri lagi.
Bersambung ....