"Buat apa?"
Pertanyaan itu muncul lagi dalam kepalanya yang riuh meski tempat di mana ia berada amat sunyi.
"Buat apa aku hidup kayak gini?"
Nika menghela napas berat sekali lagi, meskipun sejujurnya ia sudah terbangun sejak tadi, namun mata yang terpejam itu sudah sejak tadi tak lagi merasakan kantuk. Ia bahkan mungkin hanya terlelap selama dua atau tiga jam, sebab pikirannya terlalu riuh dan ramai dan sangat mengganggu untuk seorang Nika.
Yap, Arunika. Direktur utama sekaligus anak dari seorang pemilik perusahaan yang bergerak di bidang fasihon dan kecantikan. Nika yang sudah berusia dua puluh empat tahun mendadak dijodohkan dengan seorang CEO. Semua Itu dilakukan untuk menyelamatkan perusahaannya yang sedang berada di ujung tanduk. Dan sialnya, acara pertunangan mereka akan dilaksanakan pada hari ini pula. Sialnya lagi, Nika sama sekali tak menyukai dan tak berminat dengan calon tunangannya tersebut. Wanita itu bahkan tak tertarik dengan sebuah pernikahan. Baginya menikah adalah bencana, karena pada keluarganya ia tak menemukan sebuah pernikahan yang bahagia. Sebab itu, Nika telah memutuskan untuk tak menikah.
Wanita cantik itu berulang-kali ia menghela napas panjang lantas menggebrak kasur dengan kedua tangannya kencang. Kenapa juga ia harus mempunyai orang tua yang selalu seenaknya sendiri. Mereka bahkan tak meminta persetujuan Nika untuk perjodohan bodoh ini.
"Sialan!" teriak Nika.
Bersamaan dengan itu ia terbangun dari posisi rebahan. Wanita itu menyibak rambutnya ke belakang menatap sekeliling ruangan sampai kemudian jantungnya nyaris saja berhenti. Nika bahkan baru saja menyadari bahwa kasur yang ia tempati bukan miliknya. Wanita itu celingukan menatap sekitar ruangan. Tempat sempit ini asing, ini bukan kamarnya. Saat itu juga ia tersentak dengan keterkejutan luar biasa. Nika masih berusaha mengingat kejadian semalam, saat mamanya mengabarkan acara pertunangan mereka yang akan digelar besok siang. Sebuah pemberitahuan yang lebih tepat disebut sebagai perintah tak terbantahkan.
"Nggak," balas Nika dingin. Wanita itu baru saja pulang kerja, meletakkan tas kerja atau sekedar mengisi perut untuk makan pun belum. Tapi, ia sudah disambut dengan kabar tak meng-enakan ini.
"Kamu nggak berhak menolak. Lagi pula ini bukan penawaran buat kamu, Nika." Seorang wanita paruh baya yang sibuk menyeruput teh membalas ucapannya dengan cepat.
Duduk di atas sofa tanpa menatap lawan bicaranya yang tak lain dan tak bukan adalah putrinya sendiri. Wanita berpakaian elegan dengan gincu merah juga rambut yang disanggul rapi ke atas, ia tampak acuh kepada, Ratih adalah wanita paling munafik di mata Nika sekalipun beliau adalah ibunya sendiri.
Kontan Nika menoleh menatap tak suka ke arah wanita itu.
"Nggak bisa gitu dong. Mama nggak bisa terus-terusan seenaknya sendiri sama aku. Aku juga punya rencana sendiri buat kehidupanku."
"Rencana apa? Bikin buku nggak berguna? Atau jadi penyair kere?" balas wanita yang dipanggil Mama itu kepada Nika, "Sadar Nika, kamu nggak berhak memilih. Lagi pula kalau kamu bisa mengembalikan keadaan perusahaan kita secepat mungkin dengan cara lain, silahkan. Mama setuju pernikahan ini batal."
Nika memejamkan mata seraya menjambak rambutnya sendiri kesal mengingat percakapannya semalam. Ia muak karena tak pernah mendapatkan kesempatan untuk memilih jalannya sendiri. Mama adalah sosok paling egois yang selalu menentukan jalan mana yang akan Nika lalui. Tak peduli sekalipun wanita itu tak pernah menyukainya. Tak peduli sekalipun Nika tak bahagia dengan jalan pilihan mama.
"Nggak mungkin!" ia menggelengkan kepalanya cepat, menepis pikiran gila yang singgah di dalam kepala.
Mamanya nggak mungkin membuang Nika hanya karena tak menyetujui perjodohan itu. Bukankah itu hanya akan menguntungkan dirinya, tapi bagaimana bisa ia berakhir di tempat ini?
Nika buru-buru bangkit dari atas kasur. Ia mengelilingi tempat asing ini, sebuah ruangan yang sudah komplit dengan tempat tidur, meja belajar, almari, dan alat penanak nasi. Ia berdiri menuju sudut paling belakang membuka pintu bercat cokelat yang ternyata adalah pintu kamar mandi. Wanita itu manggut-manggut kembali menatap sekelilingnya. Meski semua benda berada dalam satu ruangan tempat ini cukup rapi
"Jadi, ini kamar kos?" bisik Nika kepada dirinya sendiri.
Tapi milik siapa? Gimana caranya Nika masuk ke sana?
Di tengah kebingunganya itu, suara ketuk pintu membuat lamunan Nika buyar. Wanita itu kontan menoleh ke arah pintu yang tak jauh darinya. Dengan sedikit keraguan ia kemudian memutuskan untuk menyentuh knop pintu sebelum kemudian memutar dan membukanya.
Sebuah kardus yang penuh berisi buku-buku mendadak disodorkan ke arah Nika, dan mau tak mau wanita itu menerima dengan kedua tangannya dengan spontan. Kedua mata Nika tak pelak melotot kaget.
"Nih, buku-buku yang lo minta. Punya kakak gue udah nggak dipake, katanya buat elo aja, butuh, 'kan?" ucap gadis berambut ikal panjang yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
Kedua alis Nika menyatu dengan dahi berkerut heran.
"Btw, dapet salam dari kakak gue," ucapnya lagi, "Dah, ya. Gue mau berangkat dulu, Bye Naya!" teriaknya kemudian.
Sedetik kemudian gadis berambut ikal yang mengenakan seragam SMA itu berjalan jauh melewati lorong yang sepertinya memang area indekos. Sedangkan Nika yang masih kebingungan, ia bergegas masuk lagi dan meletakkan buku dalam kardus itu begitu saja di lantai.
"Dasar bocah zaman sekarang, sama orang tua udah lo – gue," bisik Nika seraya menutup pintu kamar dan geleng kepala.
"Naya?" Nika mengulangi sebuah nama yang disebutkan oleh gadis barusan. Sebelum kemudian terkekeh.
Wanita itu kemudian menghela napas lagi, mengingat hari buruk yang akan ia alami hari ini. Nika mengangkat kedua tangan ke atas melakukan peregangan. Ia berjalan menuju ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka kemudian mencari tau bagaimana bisa ia sampai di tempat ini.
Namun, setibanya ia di sana, tepat saat Nika usai membasuh wajah dan menatap pantulan dirinya di sebuah cermin. Ia merasakan jantungnya sedang berhenti berdetak.
"What the hell?!"
Ia mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan lebih jauh. Kemudian tangannya menyentuh setiap bagian wajah yang terlalu asing baginya.
"Aku pasti udah beneran gila!" ucap Nika yang mendapati dirinya yang berubah total secara fisik.
***
Di kamar ini lagi-lagi Naya harus berakhir dengan laki-laki yang sedari tadi mengajaknya kejar-kejaran. Ketimbang menanggapi ucapan laki-laki di depannya, Naya justru masih sibuk menatap kedua tangan dan kakinya yang semakin panjang. Bahkan rambut ikal sepundaknya menjadi lurus sepinggang.
Bukankah ini benar-benar gila?
"Kamu beneran nggak berminat jawab aku?" laki-laki itu kembali bersuara.
Naya menoleh pada sosok di depannya. Duduk di samping kasur sedangkan ia sedari tadi bersandar pada punggung tempat tidur yang besar ini. Ia mendadak terlihat antusias, gadis itu bahkan menegakkan posisi duduknya sehingga tak lagi bersandar. Membuat lelaki di sampingnya itu mengernyitkan dahi heran.
"Oke, sekarang anggap aja aku amnesia atau apapun itu. Jadi, tolong bantu aku," ucap Naya, gadis itu tampak menghela napas panjang sebelum kemudian kembali melanjutkan ucapannya, "jadi, siapa aku?" Naya bahkan memangkas jarak antara dirinya dan laki-laki itu.
Untuk sesaat laki-laki tersebut hanya diam, jelas tampak kebingungan dengan sikap gadis di depannya ini. Yang mendadak pingsan setelah acara tunangan, mencoba melarikan diri bahkan saat acara belum sepenuhnya selesai, kemudian pingsan lagi setelah melihat pantulan dirinya di cermin lagi.
Ia tau, gadis ini tak menyukainya, tapi jujur ia juga tak sepenuhnya menyetujui pertunangan ini.
"Hey? Kok ngelamun," bisik Naya menggerakkan kedua tangannya di depan wajah lelaki itu.
"Kamu beneran nggak inget apa-apa?"
Naya mengangguk cepat, "jadi siapa namaku?"
"Nika." Ia membalas pendek. Ditanggapi sebuah anggukan oleh Naya.
Ia masih ingat saat ia terbangun tadi semua orang memanggilnya dengan nama itu.
"Terus ibu-ibu berkonde yang ngebentak aku tadi?"
"Mama kamu." Gadis itu meringis mendengarnya. Melihat reaksi wanita itu kemarin, ia sudah dapat menduga bahwa pasti hubungan Nika dan mamanya tidak hangat.
"Oke, lalu kamu?" tanya Naya kemudian.
"Ben. Bentala."
"Status?"
Lelaki yang mengaku bernama Ben itu memejamkan mata sebentar seraya menghela napas pendek. Ia kemudian menatap Naya dengan seksama sebelum kemudian menjawab, "Tunangan kamu."
Naya terdiam. Ia tak ingin mempercayai kejadian aneh yang sangat tak masuk akal hari ini. Terbangun sebagai wanita asing dan mendadak, di usia yang seharusnya ia masih sibuk mengerjakan skripsi. Hari ini, Naya justru menjadi tunangan orang lain.
Meskipun tak dapat diingkari bahwa lelaki ini terlihat tampan, tapi ... Naya baru dua puluh tahun. Tapi, siapa yang peduli? Sebab sekarang dunianya bukan lagi tentang Naya, tapi gadis itu telah sepenuhnya menjadi Nika.
Bersambung ....