"Lepaskan!" seru Nalini berusaha merenggangkan tangan Arya Dipa dari tubuhnya. "Tuan jangan coba-coba mengambil kesempatan ya!"
Arya Dipa merenggangkan tangannya sedikit. "Maumu begini? Kalau jatuh bagaimana? Kuda itu jalannya cepat." Lelaki muda itu menjelaskan, raut wajahnya masih datar-datar saja.
"Iya, tapi … tapi aku tak pernah sedekat ini dengan lelaki. Pamali," ucap Nalini. Mukanya jelas menghindari tatapan Arya. Detak jantungnya dirasakannya semakin kencang.
Arya menahan tawa melihat keluguan gadis desa itu. "Baiklah, aku mengerti. Tapi ini bukan pamali, sebab situasinya darurat."
Nalini masih memalingkan mukanya. Ingin rasanya ia menghilang saja saat itu. Tubuh Arya Dipa begitu dekat dengan dirinya, gadis itu merasakan tengkuknya dingin karena merinding.
"Berpeganglah erat-erat pada bajuku, jika tak ingin bersentuhan dengan tanganku," ujar Arya Dipa. Ia mulai menarik tali kekang dan memerintahkan kudanya berjalan. Mulanya mereka bergerak pelan, tapi makin lama makin kencang menembus kegelapan malam.
Nalini memegang erat ujung baju Arya, matanya terpejam rapat. Gadis itu mulai merasakan getaran aneh dengan dirinya sendiri. Ada rasa nyaman yang sulit diungkapkan saat berada dalam dekapan pemuda itu.
Pikiran Nalini mulai liar, tapi buru-buru dihapusnya bayangan-bayangan tak pantas yang hadir di kepalanya. "Tidak, tidak …" gumamnya tanpa sadar.
Arya Dipa mendengar gumaman Nalini. "Apa yang kau katakan? Apa aku terlalu kencang memacu kuda?" Suaranya dikeraskan agar bisa terdengar jelas di tengah derap kaki binatang kaki empat itu.
"Oh maaf, Tuan. Tidak, tidak ada apa-apa. Apa masih jauh tempat tujuan kita?" Nalini mencoba mengalihkan perhatian. Untung saja saat itu malam. Jika siang, pipinya yang sudah serupa kepiting rebus pasti terlihat jelas.
"Masih cukup jauh. Kita baru melewati satu hutan, masih ada dua hutan di depan yang harus ditembus," jawab Arya Dipa. Pemuda itu memacu kudanya semakin kencang. Nalini tak bisa lagi jika hanya memegangi ujung baju. Kini satu tangannya memeluk pinggang pemuda itu dengan erat agar tidak jatuh.
Senyum kecil tersungging di sudut bibir Arya Dipa. Dia bukanlah lelaki brengsek, tapi jiwa mudanya bangkit tanpa bisa dicegah mendapat pelukan dari seorang gadis. Ia menyukai suasana romantis itu.
Kuda hitam terus berlari ke arah timur. Tepat saat fajar mulai menyingsing, mereka memasuki gerbang kotapraja. Dua prajurit berpakaian hitam dan memegang tombak panjang membukakan pintu. Mereka membungkuk hormat pada Arya Dipa.
"Apakah Yang Mulia sudah sampai?" tanya Arya Dipa menghentikan sejenak kudanya. Dua pengawal itu terkejut melihat Arya Dipa membawa seorang perempuan. Tapi mereka buru-buru menundukkan kepala dan menutup rasa penasarannya.
"Sudah, Pangeran. Yang Mulia baru saja masuk dan langsung menuju ke arah utara. Beliau berpesan agar Pangeran Arya menyusulnya," ujar pengawal itu. Tangan kanannya menunjukkan jalan yang dilalui oleh orang yang ia sebut 'Yang Mulia'.
Arya Dipa mengangguk kecil mendengarkan laporan pengawal. "Rupanya beliau membawanya ke sana," gumam pemuda itu. Ia lalu memacu kudanya kembali.
Nalini yang sudah membuka matanya mengawasi tempat baru itu. Meski masih gelap, ia bisa melihat rumah-rumah besar yang berjajar dengan rapi. Gadis itu berdecak kagum melihat bangunan dan lingkungan yang indah. Berbeda jauh dengan suasana di desa tempat asalnya.
"Wah, kita di mana ini, Tuan?" tanya Nalini dengan raut muka penasaran. Selain bangunan yang besar dan mewah, taman-taman di tempat itu juga diatur begitu cantik. Sekelompok prajurit berseragam terlihat seringkali melintas di antara deretan bangunan.
"Ini Kotapraja, tempat Baginda Raja dan para pejabat kerajaan tinggal," jawab Arya Dipa dengan bangga. Sekilas ia melirik gadis di depannya yang terus mengedarkan pandangan takjub. Mata bulat hitam itu sesekali mengerjap seolah tak percaya dengan apa yang dipandangnya.
"Tuan, maafkan hamba. Sebenarnya Tuan ini siapa? Eyang Guru juga siapa? Bagaimana bisa membawa kami ke tempat seperti ini?" tanya Nalini dengan sopan. Ia mulai ancang-ancang mengibarkan bendera putih tanda perdamaian pada Arya Dipa.
"Hmm, kamu kira kami siapa?" Arya Dipa balas bertanya. Sesuai pesan 'gurunya', ia memang harus merahasiakan identitas mereka ketika berada di luar gerbang istana. Namun, saat sudah berada di dalamnya, mereka tak mungkin lagi menyembunyikan asal usulnya.
"Mohon ampun, Tuan Arya. Saya menduga Eyang Guru itu maharaja kita. Benarkah itu?" tanya Nalini setengah takut mengucapkan kata keramat itu. Ia menggigit bibirnya takut apa yang dikatakannya ternyata keliru.
Namun, dilihatnya Arya Dipa justru tersenyum lebar. "Rupanya kamu memang gadis yang pintar. Tebakanmu benar. Aku harap, jika kalian bertemu lagi dengan Yang Mulia, berlakulah lebih sopan," imbuhnya.
Tubuh Nalini gemetar menahan rasa takut. Rupanya lelaki yang telah menolong mereka benar raja mereka sendiri. "I-iya, Tuan. Maafkan kelancangan saya selama ini," ucap Nalini dengan wajah menunduk dalam-dalam.
Gadis itu perlahan melepaskan tangannya dari pinggang pemuda itu. Ia kini hanya berpegangan pada punggung kuda. Nalini takut dinilai tidak sopan jika terus menyentuh tubuh Arya Dipa.
"Kenapa tidak pegangan padaku lagi? Kamu tidak takut jatuh?" tanya Arya Dipa sedikit geli. Ia menghentak lagi kaki kudanya. Kuda itu seketika mempercepat jalannya dan mengagetkan Nalini. Spontan ia memeluk Arya Dipa lagi.
Nalini ingin berteriak dan mengumpat, tapi itu hanya bisa dilakukannya dalam hati. Mana mungkin ia berani melawan sang pangeran yang menyebalkan ini?
Kuda hitam terus melaju dan berhenti di depan sebuah bangunan yang dikelilingi pagar tanaman bambu. Berbeda dengan rumah-rumah lain yang saling berdekatan, rumah ini sedikit jauh dan terpencil.
"Kita sudah sampai," ujar Arya Dipa. Pemuda itu meloncat lalu sigap membantu Nalini turun dari punggung kuda.
Nalini baru menjejakkan kakinya di tanah saat melihat ibunya berlari menyongsongnya. Perempuan itu langsung bersujud di depan Arya Dipa. "Terima kasih sudah mengantar putri saya, Pangeran Arya," ujarnya dengan sangat hormat.
Nalini memandangi ibunya dan Arya Dipa. Ia masih belum tahu siapa sebenarnya Arya Dipa. Jika Eyang Guru adalah sang maharaja, apakah pemuda tampan itu adalah putra mahkota? Memikirkan kemungkinan itu Nalini segera mengikuti ibunya bersujud di depan Arya Dipa.
"Terima kasih, Tuan Arya," ucap Nalini tanpa berani memandang wajahnya. Ia tak ingin lagi menambah daftar kesalahan di depan pemuda itu meskipun beberapa kali telah membuatnya dongkol.
"Berdirilah, tak baik di lantai terlalu lama," ujar Arya Dipa memerintahkan Nalini dan ibunya berdiri. Meskipun berhak mendapatkan penghormatan, tapi Arya tidak suka jika orang terlalu takut saat berada di depannya.
Arya Dipa kemudian menurunkan buntalan perbekalan dan menyerahkannya pada prajurit yang berjaga. "Simpan ini di tempat obat. Aku akan datang lagi ke tempat ini untuk suatu urusan. Tolong jaga baik-baik dua perempuan ini," ucapnya memberi perintah.
"Baik, Pangeran." Prajurit menjawab dan bergegas membawa barang bawaan ke dalam rumah.
Arya Dipa terlihat menggerakkan tubuhnya yang letih dan kaku. Ia lalu menuju ke gentong air yang ada di halaman rumah. Lelaki itu membasuh wajah dan kakinya, menghilangkan debu-debu yang melekat.
Selesai membersihkan tubuh, ia mengambil kendi berisi air minum yang ada di samping gentong. Sudah menjadi kebiasan bagi penduduk untuk menempatkan air bersih dan di depan rumahnya kala itu.
Arya Dipa menenggak air di dalam kendi perlahan. Rasa dingin dan segar membasahi tenggorokannya yang dahaga. Ia lalu mengulurkan kendi itu pada Nalini. "Minumlah," ucapnya sembari duduk di teras rumah.
Nalini menerimanya tapi sungkan meminum air langsung dari dalam kendi. Apalagi di depan pemuda seperti Arya.
"Terima kasih, Tuan. Nanti saja saya meminumnya," kata Nalini seraya mengembalikan kendi itu ke tempatnya. Ia duduk bersimpuh di depan pemuda itu.
"Kalau boleh tahu, apa nama bangunan ini, Tuan?" Nalini memberanikan diri mengajukan pertanyaan. Ia menduga bangunan itu bukanlah istana utama, tapi juga tempat yang sangat penting mengingat banyak prajurit yang berjaga di sekelilingnya.
"Tempat ini namanya Ndalem Kaputren. Apa kalian pernah mendengarnya?" Arya Dipa mengajukan pertanyaan lagi. Dilihatnya Nalini menggeleng, sementara Nyai Dhira mengangguk.
"Ndalem Kaputren tempat dimana kerabat perempuan raja tinggal," ujar Arya menjelaskan sedikit.
Melihat Nalini tak lagi bertanya, Arya Dipa berdiri dan ingin melanjutkan perjalanan, hendak ke rumahnya sendiri. "Baiklah, kalian sementara tinggal di sini. Tunggu perintah selanjutnya," ucapnya.
Arya Dipa menaiki kudanya kembali dan meninggalkan tempat itu.
Nalini dan ibunya mengangkat muka begitu pemuda itu menghilang dari pintu regol. Keduanya tak sabar saling berpegangan tangan dan berpelukan. Dalam hati masing-masing masih menyimpan banyak kebingungan dengan semua yang dialami.
"Mbok, benarkah sekarang kita di kotapraja?" tanya Nalini meyakinkan dirinya lagi. Tatapannya masih setengah tak percaya.
Nyai Dhira mengangguk. "Benar, Nduk. Dan orang yang menolong kita kemarin itu ..."
"Yang Mulia Raja, Mbok." Nalini memotong ucapan Nyai Dhira dan cepat mengatakan apa yang baru saja ia ketahui.
"Benar, Nduk. Simbok hampir tak percaya dengan semua ini, tapi ini kenyataan," ucap Nyai Dhira serasa menyusut air mata yang tiba-tiba menggantung di sudut matanya.
"Mbok, kalau Tuan Arya itu siapa?" Nalini tergelitik ingin mengetahui siapa Arya Dipa. Ia tentu saja tak berani bertanya langsung pada pemuda itu.
"Dia keponakan Raja, Nduk. Tapi aku dengar hubungan mereka sangat dekat. Pangeran Arya orang kepercayaannya." Nyai Dhira memberikan penjelasan sambil menarik tangan anaknya itu untuk masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk, Nduk."
Rumah yang terbuat dari dinding kayu itu sangat kokoh. Atapnya berbentuk joglo dua baris, depan dan belakang.
Rumah bagian depan digunakan sebagai balai yang lapang. Ada empat pilar berukir di bagian tengah. Tak banyak barang di sana, hanya terdapat meja dan kursi berukir di bagian ujung. Dua bokor dari tembaga berisi bunga sedap malam di tempatkan di sisi kanan dan kiri pintu yang menghubungkan dengan bangunan belakang.
"Nduk, bantu simbok merawat orang yang sakit di dalam," ucap Nyai Dhira lirih. Wajahnya berubah kembali menjadi serius.
"Siapa yang sakit di dalam, Mbok? Kita diminta untuk merawatnya?" tanya Nalini. Ia berjalan berjingkat mengikuti ibunya.
Nyai Dhira berbisik di telinga putrinya. "Orang yang sangat penting, Nduk. Kita harus bisa mengobatinya. Kalau tidak bisa sembuh, kita bisa mati!"
Wajah Nalini pias mendengar bisikan ibunya. Cobaan apalagi ini? Selesai satu masalah kenapa datang lagi yang baru?