Nalini dan ibunya masuk ke sebuah kamar berdinding kayu jati yang diukir. Di dalamnya ada dipan besar dengan kasur empuk dari bunga randu.
Seorang perempuan dengan mata terpejam tampak berbaring di sana. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat, tubuhnya sangat kurus. Kain jarik dan selimut tebal membungkus seluruh tubuhnya.
Empat orang emban duduk bersimpuh di lantai. Baskom besar dari tembaga berisi air hangat dengan asap yang masih mengepul bertabur bunga mawar diletakkan di samping mereka.
Perempuan di atas ranjang tiba-tiba membuka mata, tangannya menggapai memanggil para emban.
"Biyung … uhuk! uhuk!" Suara batuk rejan yang beruntun tanpa henti membuat para emban sibuk menenangkan dan mengambilkan air minum.
"Ampun, Ndoro. Diminum dulu jahe hangatnya," ucap seorang emban sembari menyodorkan gelas berisi jamu.
Perempuan yang disapa 'Ndoro' itu mengangguk. Tangannya yang lemah menjangkau gelas dan meminumnya perlahan. Namun, belum selesai menghabiskan minumnya, ia kembali batuk-batuk.
"Uhuk …uhuuk … hoeek!" Perempuan itu batuk kencang lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Saat dibuka, tangannya sudah berlumuran dengan darah.
Semua yang ada di ruangan itu terkesiap. Mereka tergopoh-gopoh mendekat ke arah ranjang. Satu biyung embang memberikan lap bersih dan takut-takut mengelap mulut yang berlumuran dengan darah.
"Nyai, tolong periksa kesehatan, Kanjeng Ratu!" Emban yang paling tua memberi perintah pada Nyai Dhira.
Tabib perempuan itu beringsut mendekati ranjang sang ratu dan menghaturkan sembah. Ia kemudian memeriksa denyut nadi dan melihat warna darah yang tadi dimuntahkannya. Dahinya Nyai Dhira berkerut berlipat-lipat.
"Bagaimana, Nyai?" tanya emban ketua menatap tajam Nyai Dhira.
Tabib dusun itu takut-takut mengatakan akan membuatkan obat untuk mengatasi batuk sang ratu.
Nyai Dhira kembali menghaturkan sembah dan bermaksud mengundurkan diri. Tapi Kanjeng Ratu buru-buru mencegahnya.
"Nyai, aku baru melihatmu. Apa kau tabib yang baru?" tanyanya lirih. Mata sayunya mengawasi perempuan setengah baya berpakaian sederhana di depannya.
"Mohon ampun, Kanjeng Ratu. Nama saya Nyai Dhira. Betul saya tabib yang baru," jawab Nyai Dhira dengan muka tertunduk. Meskipun sedang sakit, pancaran kharisma sang ratu masih dirasakannya begitu kuat.
"Oh, kemana tabib yang lama, Biyung Embang?" tanya sang ratu menoleh pada emban yang paling tua.
Emban itu tak segera menjawab. Ia menoleh pada teman-temannya bergantian. Bagaimana menyampaikan perihal tabib yang dihukum karena sudah sekian lama bertugas tapi gagal mengobati ratunya?
"Ampun, Ndoro. Tabib yang lama sudah diperintahkan oleh Yang Mulia untuk berhenti berkunjung. Tadi pagi digantikan oleh Nyai ini. Beliau sendiri yang datang membawanya ke sini," jelas emban itu.
Nyai Dhira menunduk. Nalini yang duduk bersimpuh di sampingnya juga masih diam tak bergerak. Dia tak pernah berada di situasi secanggung itu.
"Lalu kau ... kau siapa?" tanya Kanjeng Ratu melihat pada gadis muda di samping sang tabib.
Nalini yang masih menunduk tak tahu jika ratu menanyainya. Emban yang duduk di sebelahnya menyenggol lengannya. "Nduk, kamu yang ditanya …" bisiknya.
Nalini spontan mengangkat wajahnya menatap Kanjeng Ratu untuk kemudian menunduk lagi. Dilihatnya perempuan kurus dengan mata sayu itu sedang memperhatikannya.
"Am-ampun, Kanjeng Ratu. Saya Nalini, putri Nyai Dhira."
"Betul, Kanjeng. Dia anak saya dan biasa membantu saya mengobati," imbuh Nyai Dhira. Keringat dingin dirasakannya mulai mengucur dari dahinya. Sebagai perempuan dusun yang tak berpengalaman, ia ketakutan setengah mati apabila tindakannya tak sesuai dengan tata cara kehidupan di istana.
Kanjeng Ratu tersenyum dan perlahan beranjak turun dari ranjang. "Terima kasih, Nyai. Sudah mau mengobati saya," ucapnya dengan sopan. "Saya mengerti, siapa saja yang dibawa oleh Yang Mulia ke sini, pasti orang yang beliau percaya."
Nyai Dhira tak sepenuhnya mengerti arti ucapan Kanjeng Ratu. Tapi ia segera mengangguk dan membalas mengucapkan terima kasih.
"Ampun Ratu, bolehkan hamba mengajukan beberapa pertanyaan?" ucap Nyai Dhira sembari menyembah takdzim. Ia ingin mengetahui beberapa jawaban yang jelas agar tahu obat apa yang harus dibuatnya.
"Silakan, Nyai. Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya sang ratu. Kini dua emban yang tadi duduk bersimpuh mulai membasuh kakinya dengan air hangat di baskom.
"Mohon ampun, sudah berapa lama Kanjeng Ratu mengalami batuk rejan?" tanya Nyai Dhira takut-takut. Ia tahu pasti, orang yang sakit batuk dan sampai muntah darah sedang menderita sakit yang berat. Tak bisa sembarangan dilakukan pengobatan padanya.
"Aduh, aku sendiri lupa kapan mulai batuk. Rasanya sudah lama sekali," keluh sang ratu. Tangannya membuka gelungan rambut dan mengurainya. Pesona kecantikan sedikit terpancar meski dalam kondisi sakit.
Satu emban bangkit dan meminta ijin untuk menyisir rambutnya. Di tangannya ada baki berisi sisir dari tanduk dan minyak wangi untuk rambut.
"Lalu, apalagi yang Kanjeng Ratu rasakan?" tanya Nyai Dhira masih berusaha mencari jenis penyakit yang diderita ratunya.
Sang ratu tampak menarik nafas dengan berat. Kelihatan sekali ia menahan batuk dan lelah jika melakukan banyak percakapan.
"Kalau sore badanku meriang. Panas, demam. Kamu juga bisa lihat, tubuhku semakin kurus. Makan rasanya pahit," jawab sang ratu.
Emban tertua memberi isyarat pada Nyai Dhira agar menghentikan pertanyaannya. "Nyai, pertanyaan selanjutnya bisa ditanyakan ke saya. Kanjeng Ratu tak bisa ditanya banyak-banyak," ujarnya dengan lembut tapi tegas.
"Oh, mohon ampun Biyung Emban. Hamba akan menanyakannya pada Biyung saja nanti," tukas Nyai Dhira takut-takut. Sementara pikirannya mulai sibuk menganalisa nama penyakit yang diderita Kanjeng Ratu.
"Sudah, sekarang kalian pergi ke dapur dan buatlah jamu. Mintalah petunjuk pada emban yang ada di sana," ujar emban ketua memberikan arahan.
Nyai Dhira dan Nalini kemudian menghaturkan sembah dan beringsut berjalan mundur. Mereka keluar dari kamar Kanjeng Ratu.
Setelah jauh dari kamar sang ratu, Nalini berbisik pada Nyai Dhira.
"Mbok, dia ratu kita?" tanyanya takut-takut. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, Takut terdengar orang. Ndalem Kaputren masih cukup sepi, hanya beberapa prajurit dan emban yang terlihat melakukan pekerjaan bersih-bersih.
Nyai Dhira mengangguk. "Iya, Nduk. Kanjeng Ratu Padma. Istri kesayangan sang raja." Tubuhnya merasa merinding membayangkan saat kemarin dirinya berkuda dengan sang raja. Sampai detik itu, ia tak tahu mengapa orang nomer satu di kerajaan Lokapala itu langsung mempercayainya mengobati sang permaisuri.
"Ratu Padma … aku pernah mendengar namanya, Mbok. Kata orang-orang, beliau sangat cantik, tapi ternyata …" Nalini tak meneruskan ucapannya. Nyai Dhira buru-buru menutup mulut anaknya dengan tangannya.
"Beliau sakit, Nduk. Sakit batuk yang parah, sudah menyerang organ paru-parunya," jelas Nyai Dhira setengah berbisik.
Mata Nalini melotot. Apa?? Sakit batuk bisa separah itu? Dia kembali teringat Ratu Padma yang tadi muntah darah. Pandangan matanya yang sayu, juga tubuhnya yang kurus kering bagai kayu.
Mengingat kenyataan itu, Nalini mulai dihantui rasa ketakutan.
"Mbok … apa kita bisa menyembuhkannya?" tanya Nalini terbata-bata.