Nyai Dhira menarik nafasnya, terasa berat. Dadanya pun sesak. Saat pertama dia mengetahui bawah yang dirawatnya adalah Kanjeng Ratu Padma, dunianya seperti terguncang. Sebagai cucu seorang tabib istana pada masanya, ia sering didongengi kakeknya bagaimana kehidupan di istana.
Tapi kini? Ia dan anaknya sendiri sudah menginjakkan kakinya di tanah istana. Lewat serangkaian kejadian yang begitu cepat dan tak pernah diduganya.
Nyai Dhira tahu, keberhasilan merawat seorang tokoh penting istana akan menjadi babak baru hidupnya, bisa saja dia diangkat jadi pejabat. Sebaliknya, kegagalan menyelamatkan mereka dapat membawanya ke jurang neraka.
Perempuan itu kembali menarik nafasnya, seraya memejamkan mata.
"Bagaimana, Mbok?" tanya Nalini lirih.
Nyai Dhira membuka mata dan menatap sendu putrinya. "Simbok akan berusaha, Nduk. Kamu bantu simbok ya," ujar tabib itu. Bibirnya berusaha tersenyum.
Nalini berulangkali mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya menggenggam erat tangan ibunya. "Iya, Mbok. Aku akan membantu, sebisaku. Aku akan lakukan apapun agar bisa menjadi tabib yang hebat." Nalini mengatakan itu dengan sungguh-sungguh, seperti sebuah janji pada dirinya sendiri.
"Ayo, Nduk. Kita ke dapur. Bahan-bahan jamu semua ada di sana," ajak Nya Dhira. Mereka berdua beranjak ke ruangan besar yang terpisah dari bangunan utama.
Tempat yang di sebut sebagai dapur itu adalah ruangan terbuka yang luas, bahkan lebih luas dari rumah kebanyakan orang. Beberapa tungku perapian terbuat dari tanah liat tampah berjajar.
Tak jauh dari tungku, terdapat tumpukan kayu kering, sabut kelapa, dan klari (daun kelapa kering). Lalu di sudut yang lain terdapat rak bersusun dari batang-batang bambu. Bermacam peralatan masak disusun rapi di atasnya. Mulai dari bakul, loyang dan gerabah berbagai ukuran.
Melihat dapur yang begitu besar dan lengkap, Nalini berdecak kagum. Ia ingat di rumahnya dulu hanya memiliki beberapa alat masak dan alat makan yang akan langsung dicuci begitu selesai digunakan.
"Kalian tabib yang baru?" Seorang emban berpostur tubuh kecil melambai pada Nyai Dhira dan Nalini. Ia memberikan isyarat agar mendekat.
"Iya, Nyai. Apa yang harus kami lakukan di sini? Mohon diberi petunjuk." Nyai Dhira menghampiri dan memberikan salam dengan sopan pada seniornya itu.
Emban bertubuh kecil itu tersenyum senang. "Kalian baru masuk, tapi sudah tahu tata krama. Apa kalian sudah belajar sebelumnya?" tanyanya penasaran. Matanya yang kecil tapi tajam mengamati dua tabib baru itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Belum, Nyai. Kami datang dari desa, tak tahu apa-apa. Tolong dibimbing." Nyai Dhira kembali merendah dan mengucapkan itu dengan tulus.
Emban itu segera menarik lengan Nyai Dhira dan bersikap akrab dengannya. "Baiklah. Aku akan mengajarimu. Namaku Sasi. Di dapur ini aku bagian perlengkapan. Kalau kalian ingin mencari bahan apa saja, tanya padaku," ujarnya dengan ramah.
Nyai Dhira menyambut kebaikan Sasi dengan senang hati. Seolah menemukan kawan yang lama tak berjumpa, perempuan itu melengkungkan bibirnya ke atas dengan sempurna. Beban berat yang ada di dadanya seolah sedikit demi sedikit terangkat.
"Matur nuwun, terima kasih, Nyai Sasi. Aku pasti akan selalu mencarimu. Sekarang, tunjukkan pada kami, di mana tempat jahe, kunyit, temu lawak dan teman-temannya." Nyai Dhira mulai bisa berkata-kata dengan nada gembira.
"Ayo ke sini. Kami menyimpan empon-empon itu di dalam tenggok-tenggok itu," ujar Sasi sambil menunjuk pada wadah dari anyaman bambu berbentu segi empat yang berjajar rapi.
Benar saja, di dalam wadah itu bermacam empon-empon tersimpan. Semuanya sudah dibersihkan atau dikeringkan. Siap digunakan kapan saja.
"Nyai Sasi, maaf, apa aku boleh bertanya tentang Kanjeng Ratu?" tanya Nyai Dhira dengan lirih. Meskipun tahu apa yang akan dilakukan, tapi ia ingin memastikan lagi apa yang dipikirkannya benar.
"Iya, Nyai Tabib. Apa yang mau kamu tanyakan?" Emban Sasi bertanya seraya membenarkan kain kebaya lurik yang dikenakannya.
"Apa yang biasanya dibuat oleh tabib sebelumnya untuk mengobati sakit Kanjeng Ratu?" tanya Nyai Dhira. Ia penasaran kenapa tabib sebelumnya tak bisa menyembuhkannya.
Emban Sasi celingukan ke kanan dan ke kiri. Lalu ia menarik Nyai Dhira mendekat dan berbisik di telinganya. "Kanjeng Ratu kena guna-guna, makanya beliau sakit bertahun-tahun tidak sembuh-sembuh. Ada kerabat istana yang tidak menyukainya dan berbuat jahat padanya," bisik Sasi dengan mata membesar.
Nyai Dhira tercengang mendengar itu. Sungguh di luar dugaannya. Yang ada di pikirannya, Kanjeng Ratu menderita batuk parah dan itu sudah menyerang organ paru-parunya. Bukan guna-guna. Tapi tabib itu hanya diam saja mendengarkan.
"Oh begitu? Lalu saya harus membuat obat apa?" tanyanya pada emban Sasi.
Emban itu mengangkat kedua tangannya. "Terserah Nyai saja. Tabib sebelumnya hanya membuatkan air rebusan jamu pahit setiap hari."
"Lho, kenapa hanya dibuatkan rebusan jamu pahit? Kanjeng Ratu butuh obat untuk menyembuhkan batuknya. Beliau juga butuh obat agar staminanya meningkat lagi," ujar Nyai Dhira heran.
Emban Sasi buru-buru menarik lagi tangan Nyai Dhira dan berbisik. "Asal Nyai tahu, tabib sebelumnya utusan dari pejabat yang tidak menyukai Kanjeng Ratu. Jadi aku pikir, dia asal-asalan saja mengobati Ratu."
Nyai Dhira membelalakkan kedua matanya. Air liur yang tak sengaja dia telan rasanya begitu seret di tenggorokannya. 'Apa ini? Aku kini akan masuk dalam pusaran politik?' Suara hatinya bertanya.
"Sstt, tapi aku peringatkan. Nyai pura-pura tak tahu saja. Lakukan saja tugasmu dengan baik dan buatlah Kanjeng Ratu sembuh." Emban Sasi mengatakan itu semari menatap lurus manik mata Nyai Dhira.
Yang ditatap membalasnya dengan tatapan mata pula. Lalu mengangguk perlahan. "Baik, Nyai. Kami akan berusaha semampu kami," ucapnya.
Nyai Dhira lalu menunjuk pada Nalini. "Dia putriku, dia juga akan membantuku."
Nalini mengangguk pada emban itu dan tersenyum sopan. Ia yang berdiri tak jauh dari ibunya ikut mendengar bisikan dan informasi rahasia yang disampaikan emban Sasi.
"Putrimu cantik sekali, Nyai Tabib. Berapa usianya?" tanya Sasi sambil mengamati wajah Nalini.
"Tahun ini genap dua puluh tahun." Nyai Dhira menjawab. Sejujurnya ada sedikit rasa bersalah menyebut umur putrinya yang sampai saat itu belum mendapatkan jodoh, padahal gadis desa seusianya rata-rata sudah menemukan pasangan hidup.
"Lho? Dia sudah dua puluh tahun? Aku kira masih anak-anak remaja. Wajahnya masih polos," celetuk Sasi tanpa bisa dicegah.
Nalini jengah dengan ocehan emban Sasi. Dia hanya tersenyum dan melirik sekilas pada emban berkulit sawo matang itu.
"Namanya juga gadis desa, Nyai. Wajar jika wajahnya polos." Nalini merendah mengikuti ibunya.
Emban Sasi meraihnya lalu menarik tangannya. "Maaf ya, Nduk, Aku cuma bercanda. Kamu cantik sekali. Hati-hati membawa wajah semolek ini, di kotapraja banyak lelaki garangan."
"Hah? Garangan? Apa itu, Nyai?" tanya Nalini tak mengerti. Alis matanya berkerut-kerut.
Nyai Dhira tertawa kecil dan menatap putrinya. "Garangan itu lelaki buaya, Nduk. Yang suka mempermainkan wanita."
"Oh itu. Tak mempan padaku, Mbok." Nalini berkata seraya tersenyum sinis. Ia merasa jumawa karena tempo hari berhasil tak menggubris rayuan para pemuda desa yang mengejarnya.
"Hei, jangan salah. Para pemuda di kotapraja beda, Nduk. Mereka pintar memainkan siasat. Ah sudahlah, ayo aku tunjukkan kamar buat kalian. Ada baju dan kain ganti di sana." Emban Sasi mengedipkan sebelah matanya.
"Ayo kamu ikut aku sebentar. Biarkan ibumu membuat jamu untuk diberikan pada Kanjeng Ratu." Emban Sasi mengajak Nalini ke pondok tempat para emban tinggal.