webnovel

Shane

“Teman lamaku,” jawab Soa sambil terus memperhatikan Shane yang semakin menjauh.

“Teman? Teman apa?!” terdengar nada tak suka dari Arandra.

“Teman sekolah.”

“Teman sekolah?! Apa kalian pernah berpacaran?!”

“Tidak.”

“Oh, itu bagus.”

“Tetapi dia pernah menaruh hati padaku.”

“APA!”

Soa begitu terkejut oleh ungkapan kaget Arandra. Ia segera melirik heran kepada pria itu. “Kau ini kenapa, sih?! Lama tak muncul lalu tiba-tiba berteriak. Andai semua penghuni taman mendengar suara kerasmu, pasti mereka sudah mengusirmu karena dianggap mengganggu.”

“Terserah apa katamu! Pokoknya aku minta jangan dekati teman sekolahmu itu lagi!” tanpa berpanjang kata lagi Arandra langsung menghilang begitu saja dari pandangan Soa.

“Eh, apa-apa’an dia. Apa suasana hatinya sedang buruk?” batin gadis itu belum sadar bahwa pertemuannya dengan Arandra sangat singkat dibanding waktu yang ia gunakan untuk menungu.

Arandra tidak sampai di sana, memanfaatkan wujudnya yang memang tak bisa dilihat orang biasa ia pergi mengikuti Shane dan mengawasi pria itu dalam bekerja mempersiapkan promosi produk perusahaannya dalam acara Festival Sungai Arandra

Arandra meneliti sungguh-sungguh siapa teman lama Soa itu. Sikapnya adalah abu dari hatinya yang terbakar cemburu walau tanpa ia sadari. Ia tidak ingin sembarang pria mendekati pujaan hatinya tanpa ia tahu latar belakang pria itu.

“Ada apa dengan pria ini?” ujar Arandra di tengah pengamatannya. “Apa yang ada di dalam dirinya? Kenapa aku merasa ada bagian dari diri kami yang sama?”

Arandra termenung mencari jawaban yang tepat atas pertanyaannya.

“Huff! Kau ini, akan lebih baik jika kau menjauhi, Soa-ku,” begitulah Arandra memperingatkan Shane meski ia tahu Shane tak memiliki pendengaran terhadap ucapannya.

“Wah-wah-wah... kau memang pria posesif.” Siapa sangka ternyata Selly yang justru menjawab peringatan Arandra untuk Shane

“Huh, kau lagi!” Arandra langsung merasa jengkel mendapati kehadiran Selly.

“Hei, jangan sewot begitu melihatku. Aku juga bisa menggantikan posisi Soa-mu.”

Arandra langsung melotot melihat Selly. “Pergilah Selly, jangan ganggu aku.”

Namun Selly sama sekali tak berpengaruh. “Arandra... Arandra. Untuk apa kau hidup di dalam angan-angan. Akan lebih baik jika kau menjalin hubungan denganku, aku akan meminta Raja Osbert untuk mengembalikan semua kekuatanmu. Aku keturunannya, aku murni berdarah keluarga Jorell. Dengan rekomendasiku kau akan kembali menjadi hamba yang berkeduduk tinggi di Grazian.”

Hantu pria itu geleng-geleng kepala. “Hentikan Selly. Aku tidak tertarik bermain-main denganmu,” tandas Arandra langsung melengos meninggalkan Selly begitu saja.

“Aku tidak main-main Arandra.” Selly bersemangat mengejar Arandra. “Aku tidak sedang bermain-main. Dia akan menjadi tawanan Raja, apa kau pikir Raja akan merestui kalian.”

“Aku tidak akan membiarkan hal itu.” Arandra terus saja berjalan.

“Oh ya! Seberapa kuat kau akan melindungi gadis itu untuk melawan godaanku.”

Langkah Arandra langsung saja terhenti. Ia langsung berbalik menatap Selly seriua. “Apa katamu? Godaanmu?”

“Yeah, aku yang ditugaskan Raja untuk memberi pengaruh pada gadis itu.”

Raut muka geram terpasang kuat di wajah Arandra.

Tersungging senyum tipis dan sorot mata penuh ambisi dari diri Selly. “Lihatlah, gadis itu akan kubuat tidak sekedar sebagai korban yang tak tahu apa-apa karena ulah ayahnya. Tetapi aku juga akan membuat dia sebagai pelaku seperti ayahnya. Jiwa dan raganya harus tunduk kepada Grazian.”

“Jangan kau coba macam-macam Selly!”

“Kenapa? Kenapa kau harus marah? Bukankah itu berarti kalian akan memiliki perjalanan ya sama? Kau pun tidak sekedar di jadikan tumbal oleh Sancho, Arandra. Tetapi kau juga dijadikan pelaku! Apa kau lupa bahwa kau sudah pernah menumbalkan Thomas kakak tirimu!”

“Aku sangat-sangat mengingat perjalananku, karena itulah aku sangat menyesalinya!”

“Penyesalan itu tidak berguna, Sayang. Kau hanyalah hamba, ikutilah apa yang Raja kata atau kau akan celaka.”

Arandra berusaha keras mengendalikan diri. “Berhentilah Selly. Aku yang pergi atau kau yang meninggalkanku sendiri?”

“Wah, sepertinya kau sangat tidak suka dengan kata-kataku yang terakhir. Kuingatkan sekali lagi. Mundurlah, sebelum kau merasa semakin kecewa.”

“Pergilah, Selly!”

“Ups! Baiklah-baiklah. Biar aku yang pergi, tak masalah buatku. Tetapi jangan kau lupakan ucapanku. Sampai bertemu lagi, budak tampan."

Bersama lambaian tangannya, Selly pun lenyap tak berbekas dari pandangan Arandra.

Kini tinggallah Arandra sendiri, dengan segala perkataan Selly yang menggema di dalam kepalanya. Gusar di hati tak dapat ditampik, tertegun menelan perkataan Selly hanya membuat batinnya terasa semakin risau.

***

Malam harinya Soa asyik mendengarkan musik di kamarnya, suara musik yang memenuhi ruang kamar membuat ia tak mampu mendengar suara pintu yang diketuk oleh Gensi. Tentu saja, karena merasa sia-sia dan tidak mau menunggu lebih lama akhirnya Gensi langsung membuka pintu dan memasuki kamar Soa.

Wanita itu langsung geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya yang sedang asyik bersantai di atas tempat tidur sambil membaca buku. “Kecilkan musiknya!” Gensi memerintah dengan suara lantang.

Soa yang cukup terkejut dengan kehadiran Gensi langsung bangun mengambil remote control dan mematikan alat pemutar CD di rak kamarnya. “Harusnya kau ketuk pintu dulu!” protes Soa saat kamar kembali senyap.

“Aku bahkan sudah melempar kamarmu dengan granat tapi kau tetap tidak dengar!”

“Ha-ha-ha, apa kau pikir itu lucu!”

“Sejak kapan aku ingin menjadi pelawak di depanmu?!

Soa mengangkat bahunya sambil memasang muka lugu. “Mungkin sejak kau sadar bahwa hidupmu terlalu serius dan kurang komedi. Sayangnya kau harus lebih berusaha lagi. Leluconmu... seperti kerupuk yang tidak memiliki serat daging.”

“Kau!” Selalu saja sama. Semakin Gensi tidak ingin kalah dalam pertikaian di antara mereka, semakin ia merasa lelah pada akhirnya. “Suara musik rockmu itu. Apa kau tidak merasa sudah mengganggu tetangga?!”

“Aku sudah menyesuaikan suaranya dengan luas kamarku,” elak Soa. “Kalau sifat tetangga di sini sepertimu pasti akan selalu serba salah.”

Lagi-lagi Gensi dibuat terkapar oleh perkataan Soa. “Baiklah! Terserah kau! Itu urusanmu. Silakan kau lanjutkan setelah urusan kita selesai,” tandasnya merasa penat ingin mengakhiri.

“Urusan kita? Urusan apa yang kau maksud?”

“Aku kesini hanya ingin memberi tahu pesan Ayah.”

“Ooh. Jadi selama dia mendiamkan aku, kaulah yang bertugas sebagai kurir pengantar pesan?”

“Begitulah. Dan aku tidak mau kalian terus-terusan perang dingin begini karena ini merepotkan buatku.”

Soa mendadak terdiam, tak kuasa untuk menimpali ucapan Gensi. Sekejap di dalam batinnya ada sendu yang menghampiri. Gensi pun sadar akan perubahan wajah adiknya. Ingin rasanya ia mendekat, namun ia juga tak ingin kepeduliannya menjadi sebuah serangan dalam bentuk ejekan. Pikirannya masih sadar, kalau komunikasi ia dengan Soa sulit berjalan mulus.

“Lusa aku akan menjemputmu jam empat sore. Jangan buat janji dengan siapa pun,” tutur Gensi.

Adiknya memberi tatapan tak mengerti. “Untuk apa? Apa kau ingin mentraktirku karena pengorbanan yang kulakukan?”

“Ugh! Kau betul-betul menyebalkan. Sepertinya kau merasa telah menjadi pahlawan.”

“Nyatanya memang begitu.”

“Yeah. Sekaligus dirimulah yang terlihat paling mengenaskan.”

Sendu kembali menjamah di wajah Soa. “Kau benar,” ia menyahut dengan lirih. “Aku memang akan menjadi orang yang paling menderita di antara kalian.”

Gensi langsung saja terbelalak, melihat perubahan raut muka Soa ia jadi merasa menyesal berujar seenaknya. Mendadak ia jadi bingung harus membalas apa. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui bahwa ia menyayangi adiknya. Penuh lekat ia memandang Soa, tertegun berdiri bersama hati yang didorong oleh rasa ingin melindungi. Soa, telah berhasil memancing rasa kasih sayang di dalam dirinya.