Dalam perjalanan pulang, tidak sedikitpun Nayna berbicara. Ia masih duduk di depan dan memangku putrinya Ica. Arkan tidak mengambil pusing suasana canggung antara ibunya dan Nayna karena mereka sedang dalam perjalanan pulang dan tidak ingin konsentrasi mengemudinya terganggu.
Bu Wati pun tidak meminta Ica agar pindah ke belakang walaupun dirinya kasihan pada Nayna yang memangku putrinya seorang diri.
Tubuh yang lemas tidak dipedulikan ibu muda tersebut. Perut yang tidak terisi sejak tadi pagi pun tidak menjadi kendala.
Arkan bukan tidak tahu keadaan Nayna, tapi balik lagi melihat ibunya yang juga diam ia jadi segan untuk berbicara.
Dua waktu makan dilewatkan Nayna, ia hanya menyerahkan Ica pada Arkan ketika lelaki itu berhenti di salah satu warung makan. Ia sendiri tidak lapar, apapun yang menjadi energi sedang tidak dibutuhkan wanita itu.
Ia hanya ingin sendiri, tapi tidak mungkin karena sedang dalam perjalanan pulang. Akan lebih baik kalau dia naik bus. Tapi itu tidak mungkin.
"Kamu di belakang aja, kasihan Ica." bu Wati seolah enggan menyebut nama wanita itu.
Nayna mengangguk dan pindah ke belakang, sebenarnya tidak apa di depan. Dia sanggup memangku putrinya delapan jam ke depan, apalagi ini sudah malam, Ica sebentar lagi pasti akan tidur.
"Ini, makan dulu. Kalau kamu nggak makan nasi." sepotong roti burger yang dibelikan bu Wati diberikan pada Nayna. Dari tadi pagi wanita itu belum makan, ia tidak tega.
Tangan Nayna terulur menerima pemberian bu Wati. Dalam hati ia berpikir, apa sebuah kata terimakasih akan lebih canggung?.
Tapi dia memilih diam, tidak ingin memperumit keadaan hanya dengan sebuah kata tersebut.
Arkan bernapas lega melihat Nayna sudah duduk di jok belakang. Setidaknya wanita itu bisa istirahat tanpa menggendong Ica. Apalagi keadaannya pasti lemas karena tidak satu pun makanan masuk ke perutnya.
Dalam diamnya, banyak yang dipikirkan Nayna. Terutama ketika tiba di Jambi nanti, ia akan menerima apapun hujatan bu Wati atau orang- orang desa. Setelah itu, ia akan mengambil keputusan. Untuk dirinya dan putrinya.
Sekitar pukul 04.15 pagi mereka sudah sampai di depan rumah Nayna.
"Nayna pulang ke rumah kita." ucapan bu Wati menghentikan pergerakan Arkan yang sudah membuka pintu mobil.
"Bu---"
"Kamu tidak dengar? Apa kamu pikir Ibu sudah lupa?"
Arkan mendesah, ia kembali menjalankan mobil ke arah rumahnya. Tanpa tahu bagaimana keadaan wanita yang duduk di belakang.
Nayna kuat, ini hanya masalah ringan. Ia pasti bisa melalui.
"Biarkan Nay istirahat dulu, Bu." Arkan memohon, kendati ia tau ibunya sedang murka.
"Kamu pikir Ibu sekejam itu?." desis bu Wati menatap tajam putranya.
Nayna sendiri masih di ruang tamu ketika ibu dan anak tersebut bicara. Ia berdiri di sana menggendong putrinya.
Tidak lama Arkan datang dengan wajah lelahnya. "Tidur di kamarku Nay."
Sontak Nayna menggeleng, ia tidak mau mendengar permintaan pria itu lagi. Yang ada bukan masalahnya selesai, tapi hidupnya.
"Aku tidur di ruang tengah, Ica aku yang gendong." Mendengar tempat yang berbeda, Nayna mengangguk. Ia mengikuti langkah lebar Arkan masuk ke kamar lelaki tersebut.
Semerbak wangi maskulin, khas pria itu tercium di hidung Nayna begitu pintu kamar terbuka.
Ini pertama kalinya ia masuk ke kamar lelaki ini. Satu ranjang ukuran yang tidak terlalu besar dan cermin oval yang menggantung di dinding. Dua buah meja dengan isi yang berbeda dan sebuah lemari empat pintu mengisi kamar tersebut.
Cukup rapi.
Nayna tahu itu.
"Tidurlah, jangan memikirkan yang berat dulu. Besok siang kita bicara. " Titah Arkan sebelum meninggalkan Nayna.
Nayna mengangguk, ia melihat putrinya sudah tidur dengan selimut salah satu club sepak bola kesukaan Arkan. Putrinya terlihat manis seperti gadis yang sedang memeluk bendera kebanggaan rakyat spanyol.
Seandainya .... Nayna menggeleng cepat ketika ingatan masa lalunya terbentur dengan Laras.
Ia pernah melihat Laras keluar dari kamar ini. Itu artinya, ia hanya menumpang. Bukan menumpahkan kenangannya di kamar pria ini.
Deretan foto di atas meja dan dinding menarik perhatiannya. Foto Arkan dan Laras. Mulai dari pakaian santai sampai formal. Dari pose biasa sampai bermesraan.
Nayna tersenyum miris. Tanpa menyadari ada sesuatu yang sedang menggerogoti hatinya dari luka yang tidak pernah sembuh. Luka yang diabaikan seolah tak pernah ada namun selalu ada pupuk tak kasat yang menyuburkan luka itu.
Menarik sebuah bangku, Nayna duduk di depan putrinya. Beban hidupnya sudah terasa. Biarlah waktu yang menjawab semua ini, bukankah waktu yang memberi tanya pada hati kesiapan akan luka yang harus diterima ibu muda tersebut?
Hati bu Wati mencelos melihat Nayna. Wanita itu tidur di bangku dengan kepala menelungkup di samping putrinya. Kalau dia wanita jahat, sekarang pasti sudah leluasa tiduran di ranjang putranya. Tapi lihatlah, tidakkah dirinya terlalu kejam menghakimi ibu muda tersebut? Benarkah di sini anaknya yang brengsek?.
Sore hari, Arkan sudah duduk di depan bu Wati. Bersiap menjelaskan apapun yang akan ditanyakan ibunya. Sementara Nayna masih di kamar.
"Ibu tidak ingin bertanya perihal kemarin, karena jelas yang kalian lakukan itu salah." bu Wati menatap tajam wajah putranya.
"Ibu ingin, kamu nikahi Nayna!."
Arkan membalas tatapan ibunya, yang ia persiapkan bukan ini. Tapi ...
"Aku tidak bisa."
"Kenapa? Kamu hanya ingin tau bagaimana rasanya tidur dengan janda?."
Arkan menggeleng, tuduhan ibunya memang beralasan. Tapi bukan karena itu.
"Arkan sudah bertunangan Bu."
Erangan bu Wati menimbulkan rasa sakit di hati Arkan. Ia tahu, ibunya itu sangat menghargai wanita, terlebih wanita yang sudah memiliki anak. Ia menempatkan semua wanita pada posisinya, karena ia pernah sakit dan tidak ingin melihat wanita lain sama seperti dirinya.
Pernah merasakan sakit karena lelaki.
"Tinggalkan Laras, nikahi Nay Arkan!." suara bu Wati meninggi, matanya sudah memerah.
"Tidak bisa Bu, Arkan tidak bisa."
"Karena dia janda?. " selidik bu Wati dengan nada tidak suka karena penolakan putranya.
Arkan menggeleng, "Nay bukan janda."
Wajah bu Wati pucat, darahnya berhenti di satu titik. Bukan janda? Itu artinya Arkan sudah tidur dengan istri orang?
"Nay sudah menikah, dan aku suaminya." kelanjutan kalimat Arkan semakin membingungkan bu Wati.
Arkan sudah menikah? Kapan? Apa dirinya sedang amnesia? Lalu, kalau sudah menikah kenapa mereka bersikap biasa saja?
"Jangan bohong Arkan!!!"
Arkan tahu, suatu saat ibunya akan mengetahui. Dan inilah saatnya. Matanya tidak sengaja melihat Nayna yang berdiri di depan kamarnya.
Sejak kapan wanita itu ada di sana?
"Nay..." panggilannya tercekat di tenggorokan.
Perhatian bu Wati juga teralihkan, ia bisa melihat wanita itu sedang di ambang kehancuran. Dan itu ulah putranya.
Bu Wati mendekat, ia melihat mata yang menyimpan terlalu banyak luka di sana. "Benar apa yang dikatakan Arkan, Nay?"
Pelan, Nayna mengangguk. Bu Wati memeluk Nayna dengan tangis haru dan menyesal. Ia sudah menyakiti perasaan wanita ini, wanita yang sudah menjadi menantunya dan memberikannya cucu.
"Maafkan Ibu, Nay. Maaf."
"Nay yang seharusnya minta maaf, Bu."
Arkan mengusap ujung matanya yang berair. Ia sudah menyakiti perasaan ibunya. Dan mengecewakannya karena tidak menghargai seorang wanita.
Kini, mereka bertiga sudah duduk di ruang tengah. Nayna yang menunduk dan bu Wati yang menatap tajam putranya.
"Sekarang, ibu minta. Jadilah suami yang baik buat Nayna. Dan Ayah, bukan Om untuk putrimu."
Nayna dan Arkan kaget dan saling berpandangan. Permintaan bu Wati tidak bisa mereka lakukan.
"Selama ini, kami baik-baik saja."
"Kamu mengerti maksud Ibu, Arkan!."
Arkan menggaruk puncak hidungnya, matanya melirik ke arah Nayna, kode darinya meminta tolong pada wanita itu.
"Kami tidak bisa bersama lagi, Bu." kata Nayna dengan suara lembutnya. Matanya menatap penuh pada bu Wati.
"Kenapa?" tanya bu Wati, "Apa kamu diancam Arkan, Nay?" tatapan bak elang dihunuskan wanita setengah abad lebih itu pada putranya.
Nayna menggeleng. "Tidak ada cinta lagi di antara kami."
"Lantas kemarin, dirumah bude Nisa kalian ngapain kalau bukan bercinta?"
Wajah Nayna merah padam, kepalanya sontak menoleh pada pria di depannya. Kejadian yang memalukan, itu karena Arkan.
"Itu, Aku. Nay kamu--"
"Jangan timpakan ke Nay terus, Arkan!." bu Wati kesal melihat sikap putranya. Kelihatan sekali ia menuruni sifat ayahnya.
"Itu kesalahan Bu, saat itu aku sedang ada masalah dengan Laras!"
"Dan Nayna pelampiasanmu?."
Nayna mengulang dalam hati kalimat Arkan, kesalahan. Ya, itu kesalahan darinya yang mudah menerima Arkan.
"Ibu kecewa. Terlepas dari itu, Ibu akan membicarakan dengan orang tua Laras dan memberitahu mereka kalau kamu sudah menikah dan punya anak!."
Arkan berdiri dengan wajah yang sudah diliputi amarah. "Aku akan menikah dengan Laras, tidak ada yang boleh yang menghalangiku!."
Salam terdengar dari luar ketika bu Wati akan memarahi Arkan. Ia sendiri yang membuka pintu dan menyuruh tamunya masuk ketika mengatakan ingin bertemu dengan putranya.
"Mas Lio?"
Kepala Nayna terangkat, mendengar nama yang di sebut Arkan.
Seorang pria tinggi tegap dengan wajah masih sama seperti dulu, tampan dan berwibawa. Hanya bulu halus yang tumbuh dan terawat di wajahnya. Kharismanya masih sangat kuat, menarik segala dalam diri wanita.
Terutama Nayna.
Kerinduannya terjawab, sukmanya kembali. Jiwa yang sudah kosong lima tahun belakangan ini kembali terisi.
Apa, dia kembali untuknya?
"Nayna." lirih saat pria bernama Marlio Hartawan menyebut nama wanita itu.
Belahan jiwanya, penenang jiwa dan candu rindu kini berada di depan matanya.
Keduanya melupakan sosok Arkan dan bu Wati yang ada di sana. Mata keduanya saling beradu mencurah rasa yang sempat tertunda dan akan selamanya tertunda jika dibiarkan tanpa saling memiliki.
Nayna-nya di sini, dan dia akan membawa pergi bersamanya.