webnovel

Anything For You

Swiss

Bunga POV

Operasi Julian berhasil menghentikan perdarahan di dalam kepalanya. Berhasil mengeluarkan gumpalan darah yang mendesak otaknya. Tapi tidak berhasil menyadarkannya dari koma.

Setiap saat dia dapat meninggal, sehingga dokter menganjurkan Julian agar memberitahukan keluarganya yang lain. Saat itu baru Frida ingat dompet Julian yang selalu disimpannya di saku bajunya. Melalui SIM yang ditemukannya di sana, dia dapat menghubungi alamat Julian di Jakarta. Dia minta agar orangtua Julian dihubungi.

Dalam dompet itu aku juga menemukan beberapa uang yang dapat dipakainya sementara menunggu kedatangan orangtua Julian. Kebutuhan makannya selama ini memang masih ditanggung oleh rumah sakit. Dia juga diperbolehkan tinggal di kamar Julian selama laki-laki itu belum sadarkan diri. Para dokter malah menganjurkan aku agar selalu mengajak Julian yang masih koma itu berkomunikasi.

Menurut mereka, komunikasi dengan seorang pasien yang berada dalam keadaan koma, banyak membantu meskipun perbuatan itu tampaknya sia-sia.

Biaya perawatan Julian pun ditanggung oleh asuransi, sehingga aku tidak usah memusingkan biayanya. Tetapi sampai kapan? Maukah pihak asuransi menanggung terus biaya perawatan Julian kalau dia tidak siuman juga dari komanya?

Aku sendiri lebih suka menanggung sendiri biaya hidupnya. Karena kalau asuransi campur tangan, dia malah takut rahasianya terbongkar! Jadi dia tidak minta fasilitas apa-apa dari rumah sakit, meskipun mereka menawarkan pemeriksaan gratis dan kamar tersendiri.

Aku memilih tidur di sofa di kamar Julian. Alasannya tentu saja supaya aku dapat selalu berada di dekat suamiku.

Hampir sepanjang hari aku duduk di samping tempat tidurnya. Mengawasi dokter atau perawat yang bolak-balik memeriksa Julian.

"Tidak ada-perubahan," kata perawat yang mengobservasi fungsi-fungsi vitalnya sambil menggelengkan kepalanya.

Tetapi aku belum putus asa. Dari pengalaman yang aku tahu. beberapa pasien koma memperoleh kembali kesadarannya pada saat kasus mereka sudah dinyatakan sebagai lost case. Tidak peduli berapa lama mereka telah mengalami koma.

Setelah dokter atau perawat meninggalkan kamar, ketika aku tinggal berdua saja dengan Juliam, aku pegangnya tangannya. Digenggamnya tangannya erat-erat. Lalu dibisikkamiya di dekat telinganya,

"Bangunlah, Mas Julian. Jangan menyerah. Aku tahu kehebatanmu. Kamu lelaki yang pantang menyerah!"

Lalu aku akan mengajaknya mengobrol. Menceritakan pengalaman-pengalamanku di rumah sakit. Menceritakan kisah hidupnya sejak kecil. Bahkan sampai alasan mengapa aku melarikan diri sampai ke Swiss.

Tidak ada reaksi. Mata Julian masih tetap terpejam rapat. Tangan-kakinya masih tetap terkulai mati. Tidak bergerak sedikit pun.

"Besok lagi ceritanya, ya. Sekarang Mas Julian harus tidur." '

Aku merapikan letak selimut laki-laki itu. Lalu aku berdoa. Memohon keajaiban. Memohon kesembuhan Julian.

Tetapi keajaiban itu tak kunjung tiba. Keadaan Julian malah bertambah buruk sehingga dia harus dibantu dengan alat-alat penyokong kehidupan. Tanpa dukungan alat-alat itu, dia tidak mungkin bertahan lagi.

"Bertahanlah, Mas," pintaku hampir putus asa.

"Jangan tinggalkan aku sendiri...."

Tetapi beberapa hari kemudian, aku tidak sendiri lagi. Orangtua Julian muncul di rumah sakit.

Ayahnya hanya tegak termangu di samping tempat tidur Julian. Mengawasi anaknya dengan wajah getir dan air mata berlinang.

Anaknya yang biasanya gagah dan penuh percaya diri itu kini terhantar kaku tak berdaya Tak mampu menggerakkan seujung jari pun.

Matanya yang biasanya selalu tersenyum itu sekarang terpejam rapat. Senyumnya yang khas dan sangat memikat wanita itu tak tampak lagi di

bibirnya

Di ujung maut. dia telah kehilangan semuanya Kegagahannya. Ketampanannya. Penguasaan dirinya. Semuanya lenyap.

Kini dia cuma sesosok tubuh yang tak berdaya. Seonggok daging yang napas kehidupannya hanya tergantung pada mesin!

Tanpa berkata apa-apa lagi. ibu Julian menghampiriku. Dan memelukku sambil menangis.

Merasakan kesedihan wanita itu, air mataku ikut merebak lagi. Kubelai punggung ibu Julian dengan lembut, seolah-olah ingin menghiburnya walau aku sendiri juga sebenarnya perlu dihibur.

Lalu aku membawa wanita itu duduk di sofa yang menjadi satu-satunya tempat tidurku di kamar itu. Kusingkirkannya bantal kecil dan selimutnya.

"Di sini kamu tidur selama menjagai Julian, Nak?" tanya ibu Julian trenyuh melihat penderitaanku

Aku hanya tersenyum pahit. Ketika aku sedang tersenyum, butir-butir air di matanya tampil berkilau. membuat ibu Julian tambah trenyuh. Dan tambah bersimpati sekaligus berterima kasih pada wanita yang tampil seadanya ini.

***

Setelah orangtua Julian pergi semalaman aku tidak tidur. Aku duduk di samping pembaringan Julian. Memegangi tangannya tanpa melepaskannya sekejap pun. Seolah-olah aku ingin memegang tangan itu selama mungkin. Selama aku masih dapat memegangnya.

Tanganku yang lain membelai-belai paras Julian dengan lembut. Wajahnya memang sudah jauh berubah. Dalam beberapa hari saja, dia sudah kehilangan hampir semua miliknya. Semua yang dibanggakan.

Tak ada lagi mata yang selalu tersenyum itu. Mata yang selalu bersorot tenang menguasai. Mata itu kini tetap terpejam rapat.

Senyumnya pun sudah tak pernah tersungging lagi di bibirnya padahal aku begitu merindukannya Rasanya aku rela kehilangan tanganku asal dapat melihat senyum itu lagi.

Lelaki yang begitu dinamis dan energik itu kini tak ada bedanya dengan mayat. Tubuhnya sudah tergolek diam. Terbujur tak berdaya. Terhantar tak bergerak. Dan sebentar lagi... sebentar lagi hanya beberapa jam lagi... dia sungguh-Sungguh akan menjadi mayat .

"Bangun, Mas Julian..." bisikku di telinga pria itu.

"Ingat apa yang kita lakukan di Surabaya? Aku merindukannya, Mas... aku rindu ciumanmu... belaian kasihmu..."

Saat itu sudah tengah malam. Tak ada orang di sana kecuali kami.

Orangtua Julian sudah kembali ke hotel meskipun sebenarnya ibu Julian berkeras ingin tinggal. Ingin menemani anaknya pada malam terakhir dia masih dapat mendengar napas Julian.

Dia ingin membelai anaknya seperti ketika dia masih bayi dulu. Ketika dia masih menyusu di dadanya sementara matanya yang lucu itu menatap ibunya dengan tatapan yang polos menggemaskan.

Tetapi suaminya memaksanya pulang. Dia tahu istrinya sudah sangat lelah. Kesedihan dan keletihan dapat mengganggu kesehatannya.

Ayah Julian sudah pasrah. Kalau boleh memiiih, tentu saja dia menginginkan putranya hidup. Tapi dia insaf, tak mungkin melawan takdir. Dia menyerahkan segalanya pada kehendak Yang Mahakuasa.

Maut menyapa manusia yang belum pantas untuk mati, yang masih begitu fit dan bergairah menikmati hidup. Manusia yang kepergiannya ditangisi dan disesali orang-orang yang mencintainya. Sementara di pihak lain, mereka yang sudah bosan hidup, bahkan tidak mati sekalipun sudah mencoba membunuh diri!

Ayah Julian tahu. di hotel pun malam ini dia dan istrinya tidak dapat memejamkan mata sekejap pun. Apalagi tidur lelap. Tapi di mana pun mereka berada, apa bedanya lagi bagi Julian?

Dia sudah berada jauh entah di mana. Mungkin dia sudah berada di setengah perjalanan ke akhirat. Mungkin dia malah sedang bingung hendak ke mana.

Gelapkah jalan yang dilaluinya? Tak tampakkah ujung jalan itu, Mas?

Ayah Julian memilih berdoa untuk membantu putranya menemukan jalan ke surga daripada menangis di sisi tempat tidurnya. Dia mengajak istrinya untuk memohon ampun bagi dosa-dosa anak mereka. Karena menurutnya, justru hal itulah yang paling dibutuhkan Julian sekarang.

***

Julian POV

Aku merasa diriku sedang terbenam dalam kubangan lumpur yang hitam pekat. Napasku terasa sesak. Dadaku sudah hampir meledak karena terlalu lama menahan napas.

Tetapi kubangan ini belum dapat kutinggalkan juga. Aku sudah berusaha berenang naik ke permukaan. Tapi... yang mana permukaannya?

Semuanya serbagelap. Hitam pekat menyesakkan napas. Ke mana pun aku berenang, yang tampak hanya lumpur pekat yang membutakan mataku.

Aku ingin menjerit. Ingin berteriak meminta tolong. Tapi lumpur menyumbat mulutnya. Setiap kali aku hendak membuka mulut. lumpur pekat menyumpalku kembali.

Apa sebenarnya yang terjadi? Aku seperti sedang tenggelam di pasir apung. Tak mungkin naik lagi ke atas. Tubuhku seperti terbenam makin dalam....

Lalu tiba-tiba aku melihat sinar itu... secercah sinar yang amat lemah... menerobos dari atas.

Sinar apakah yang dilihatnya itu? Cahaya mataharikah?

Kalau benar matahari, artinya di atas sana masih ada kehidupan! Dan kalau sinar matahari dapat menerobos masuk, berarti lumpur ini masih mungkin dilalui... aku masih punya harapan untuk menembus ke atas... menghirup udara bebas di luar sana....

Lalu aku mendengar suara itu. Suara yang kukenal. Suara yang selalu menerpa telingaku. Lapat-lapat tapi tak pernah hilang sama sekali.

Suara yang memanggil-manggil namaku. Dari mana suara itu berasal? Kalau aku mengikuti arah suara itu... akan selamatkah? Akan berhasilkah aku keluar dari lumpur yang menyesakkan napas ini?

Semuanya terlalu gelap. Terlalu sunyi. Terlalu misterius.

Tapi paling tidak suara itu memberinya secercah harapan. Aku tidak sendirian. Masih ada orang di dekatku. Orang yang kukenal. Di mana dia?

Aku berjuang sekuat tenaga untuk mengangkat tubuhku ke atas. Entah mengapa tubuhku kini terasa sangat berat. Tangan dan kakiku yang biasanya begitu lincah berenang kini bagaikan sebatang kayu yang lumpuh. Mati. Sulit digerakkan. ' Tapi dia belum putus asa juga. Aku masih pantang menyerah. Suara yang kudengar itu masih terus memanggil-manggil. Aku hanya tinggal mencari dari mana suara itu berasal.

Lalu sinar. itu... sinar yang menerobos dalam kegelapan.... Sinar matahari itu seperti secercah harapan yang memacu semangatnya. Sebelum ajal berpantang mati. Semuanya masih mungkin selama umurku belum sampai di batas yang ditentukan....

Namun tiba-tiba saja aku tersentak kecewa. Sinar itu tiba-tiba meredup. Kian gelap. Hampir lenyap. Meninggalkan kegelapan kembali menguasai.

"Jangan!" Aku ingin berteriak.

"Jangan! Jangan ambil matahariku!"

Tetapi suaraku tersekat di tenggorokan. Terbenam dalam pekatnya lumpur yang mengurungnya. 

To Be Continued