Swiss
Bunga POV
Aku masih memegangi tangan Julian sambil berdoa. Sambil memohon. Sambil berbisik di telinga laki-laki itu, ketika tiba-tiba aku seperti mendengar suara Julian begitu perlahan tapi begitu jelas di telinganya.
"Jangan! Jangan! Jangan ambil matahariku"
Aku tersentak kaget. Bulu romaku langsung meremang. Aku mengangkat kepala Dan memandang ke seluruh ruangan.
Tidak. Tidak ada siapa-siapa di sini. Kamar ini -sepi. Tidak ada orang. Tidak ada dokter. Tidak ada perawat. Hanya kami berdua
Tetapi aku mendengar suara itu dengan jelas sekali! Mungkinkah hanya sebuah halusinasi pendengaran?
Aku menoleh ke arah monitor di samping kepala Julian. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi.
Kutatap Wajah Julian dengan harap-harap cemas. Tapi wajah itu pun tidak memperlihatkan perubahan apa-apa. Matanya masih terpejam. Tubuhnya masih belum bergerak.
Sudah gilakah aku, pikirku bingung. Aku mendengar suaramu dengan jelas sekali, Mas! Di manakah kamu sekarang? Katakanlah bagaimana aku dapat menolongmu!
Tapi memang tak ada lagi yang dapat kulakukan. Suara itu tidak terdengar lagi sampai pagi. Dan tampaknya, memang aku sudah tidak dapat lagi menolong Julian.
Karena dokter sudah keburu datang bersama orangtua Julian. Dan aku insaf. semuanya sudah berakhir.
Begitu datang, ayah Julian menyentuh bahuku 'dengan getir. Dia tahu, aku tidak tidur semalaman. Mataku sembap. Wajahku pucat. Rambutku kusut. Ibu Julian langsung memelukku sambil menangis.
Tetapi aku tidak membalas pelukannya, aku malah mendorong ibu Julian dengan mantap.
"Saya mendengar suaranya, Tante!" cetusku seperti orang hilang ingatan.
"Saya dengar Mas Julian minta tolong!"
Dokter menatapku sekilas sebelum menggelenggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
"Kalau Anda memerlukan tranquilliser..."
"Saya tidak berhalusinasi, Dokter!" sanggahku keras.
"Saya benar-benar mendengar suaranya! Katanya, jangan! Jangan ambil matahariku!"
Mendengar kata-katanya, ibu Julian menangis makin sedih. Suaminya langsung meraihnya. Dan tangis ibu Julian pecah dalam pelukannya.
Dokter tidak berkata apa-apa lagi. Ketika perawat menoleh padanya dia mengangguk. Dan perawat itu bergerak untuk mematikan mesin.
Tetapi aku lebih cepat lagi menerjangnya.
"Jangan!" seruku setengah histeris.
"Jangan ambil mataharinya!"
Perawat itu sempoyongan menabrak mesin karena kuterjang terlalu kuat
"Saya akan minta bantuan, Dokter," katanya pahit.
Dokter belum sempat menyahut. Belum sempat mengangguk ataupun menggeleng, ketika tiba-tiba dia tersentak kaget. Dia mendengarku memekik histeris.
"Lihat! Lihat. Dok! Jarinya bergerak!"
***
Jakarta
Flora POV
Aku tahu benar mengapa sudah dua bulan aku tidak mendapat haid. Itu juga salah satu alasanku mendesak Julian untuk segera pulang. Meskipun aku belum mengatakan apa-apa tentang kehamilannya.
Aku takut. Jullian malah akan curiga kenapa tiba-tiba aku bisa hamil padahal dia pernah bilang kalau dia belum siap menjadi seorang ayah
"Begitu banyak anak telantar di dunia ini." kilahnya kalau pembicaraan mereka sudah sampai kepada soal anak "Mengapa kita harus mempunyai anak? Lebih baik kita angkat saja salah satu dari anak-anak telantar itu. . .."
Tentu saja aku tidak menanggapi perkataan Prasetya. Karena aku tahu bukan itu alasan yang sebenarnya. Bukan anak telantar yang dipikirkan Julian. Tapi ketakutannya untuk menjadi seorang ayah! Menjadi seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab!
"Aku takut tidak dapat membahagiakan anak istriku," katanya muram ketika aku mendesaknya.
"Aku khawatir tidak punya cukup waktu untuk mereka."
"Bukan cuma kamu satu-satunya yang sibuk, Mas," bujukku sabar.
"Banyak yang lebih sibuk dari kamu. Tapi mereka punya anak juga, kan? Dan anak-anak mereka tidak telantar!"
Akhirnya Julian memang menyerah. Kami sudah berhubungan badan. Lalu lelaki itu kabur! Melarikan diri dengan alasan sibuk! Ada urusan penting. Tidak dapat ditunda.
Dan dia tidak muncul lagi. Dia menghilang begitu saja!
Sia-sia aku merubah wajahku menjadi Bunga dan menunggu di bandara. Julian tidak muncul. Padahal hari itu seharusnya dia pulang dari Swiss.
Lalu dia lenyap seperti ditelan hantu laut. Tidak ada kabar beritanya lagi.
Aku kembali ke rumahnya dengan patah hati. Jengkel. Marah. Putus asa. Sudah hampir sebulan Julian menghilang. Dan dia tidak pernah. menghubungiku lagi. Jangankan datang. Menelepon saja tidak! Orangtuanya juga tidak berkabar kepadaku
Aku merasa percuma saja aku menelepon. Percuma mencari laki-laki itu. Percuma mengejarnya lagi.
Aku bukan perempuan yang masih hijau. Pengalamanku sudah cukup banyak. Tentu saja pengalaman dengan laki-laki. Aku tahu sekali. jika seorang pria seperti Julian pergi, itu sama saja dengan memutuskan hubungan. Dan kalau dia menghilang. tak perlu dicari lagi. Percuma saja.
Jadi aku memutuskan untuk mengambil jalan terbaik untuk mengakhiri semuanya. Aku ingin mengakhiri kehamilan ini sebelum Juna mengetahuinya.
Hari itu aku sedang duduk di ruang tunggu sebuah klinik MR yang terkenal. Tentu saja terkenal di antara ibu-ibu yang ingin melakukan aborsi. Aku sudah membuat janji. Dan sebentar lagi namaku akan dipanggil. Sebentar lagi semuanya akan beres.
Semua pemberian Julian akan kuenyahkan .Termasuk cincin berlian yang sudah kugadaikan. Dan bayi dalam kandungan yang akan kulenyapkan pula.
Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya lenyap bersama cinta yang sia-sia!
Pengalamanku dengan Julian akan tinggal kenangan. Sama seperti pengalamannya dengan pria-prianya yang lain. Orangtuanya tentu saja kecewa. Tetapi mereka harus tahu, bukan cuma mereka yang kecewa! Bukan cuma mereka yang marah!
Lelaki sialan itu memang pandai menipu wanita. Mempermainkanku dan Bunga. Tapi aku menyumpahinya. suatu hari dia akan ketemu batunya!
Suatu hari Julian akan bertemu dengan seorang wanita tua yang jelek dan jahat. Dan dia jatuh cinta setengah mati sampai tak mampu meninggalkannya lagi!
Atau lebih celaka lagi, dia akan dikurung terus di rumah oleh istrinya yang jahat, jelek, dan tua itu. Syukur-syukur kalau dia dirantai di bawah tanah atau di kamar seperti adegan dalam film! Biar dia tahu rasa! Semoga sumpah serapah semua wanita yang pernah dipermainkannya akan menjadi kenyataan!
Duh, jahatnya perempuan kalau hatinya disakiti! Tapi apa bedanya dengan laki-laki? Batas cinta dan benci memang hanya secarik tirai tipis!
Aku meremas koran dengan sengit. Amarahku memang selalu timbul kalau teringat Julian. Aku baru sadar aku bukan berada di rumah ketika ibu muda di sampingku menoleh. Dan melirik koran yang kuremas.
Jangan-jangan dia mau pinjam koran. Enak saja. Orang lagi kesal! Kalau mau baca koran. beli dong! Sudah tahu nunggunya lama.
Buru-buru aku meraih koran lagi. Merapikannya Dan ketika dia sedang merapikan bagian belakang koran itu, mataku terantuk pada sebuah foto di halaman itu.
Aku hampir lupa bernapas ketika melihat foto yang terpampang di depan mataku. Foto seorang pria di atas kursi roda. Seorang wanita tegak di belakang kursinya, seolah-olah sedang mendorong kursi rodanya. Dan mataku terbelalak sampai hampir melejit keluar begitu aku mengenali foto siapa itu!
Pria di atas kursi roda itu... mirip sekali Fajar Julian Aruga!
Lekas-lekas aku membaca teks di bawah foto itu. Dan aku sampai tidak mendengar suara perawat yang memanggil namaku.
"Fajar Julian Aruga. korban yang Lake Brienz kapal yang tenggelam sebulan yang lalu. tiba di Jakarta dari Swiss bersama tunangannya, Bunga Lastri Irawati."
"Ibu Bunga!" seru perawat untuk keempat kalinya. Matanya menatapku dengan kesal.
"Anda mau masuk tidak?"
Tetapi aku tidak menyahut. Mendengar saja tidak. Seperti orang hilang ingatan. Aku bangkit dari kursi. Dan menghambur ke pintu keluar.
To Be Continued