webnovel

Menikahi Barista Ganteng

Cielo William adalah seorang gadis yang cantik dan bergelimang harta. Hidupnya tampak begitu sempurna karena di usianya yang matang, ia sukses menjalankan bisnis Hotel Poseidon milik ayahnya dan ia pun memiliki seorang kekasih yang tampan, serta kaya raya. Justin Sugiatno, kekasih Cielo yang sempurna dan ia sangat tergila-gila pada pria itu hingga orang tua mereka pun setuju untuk menjodohkan mereka. Awalnya kisah cinta mereka berjalan baik hingga akhirnya Cielo bertemu dengan seorang pria yang menyebalkan. Graciello Andreas, seorang karyawan di Hotel Poseidon, telah membuat perasaan Cielo jungkir balik. Setiap kali mereka bertemu, selalu saja terjadi masalah dan Cielo sangat kesal pada pria itu. Cielo dan Justin akan segera bertunangan, tapi sesuatu terjadi. Justin mabuk, dan pria itu nyaris menodai Cielo. Graciello pun datang untuk menolongnya. Semenjak kejadian itu, Cielo pun tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan Justin, tapi ia terlalu takut untuk mengakuinya pada orang tuanya. Terpaksa, Cielo melakukan kawin kontrak dengan Graciello supaya orang tua Cielo percaya dan menjauhkan Justin dari hidupnya. Demi setumpuk uang untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang barista, Graciello pun setuju melakukan kawin kontrak tersebut. Apa yang akan terjadi jika kucing dan anjing disatukan dalam satu ranjang yang sama? Ikuti kisah perjalanan cinta Cielo. Hanya di Webnovel. PS: Buku ini adalah sekuel dari buku Terima Aku Apa Adanya.

Santi_Sunz · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
402 Chs

25. Sang Sekretaris

Udara dingin dari AC seketika membuat bulu kuduk Ello berdiri. Ia melangkah ragu-ragu sambil mengedarkan pandangannya. Karena ini masih pagi, tempat itu jadi sangat sepi.

Ello tidak yakin jika Ibu Cielo berada di dalam ruangannya. Kemungkinan besar jika wanita itu masih terlelap di ranjang mewahnya.

Ello celingak-celinguk melihat ke segala arah. Tiba-tiba, seseorang berjalan menghampirinya sambil menenteng tas tangan dan mengenakan rok sepan yang ketat. Senyumannya begitu manis hingga membuat Ello jadi ikut tersenyum.

"Pagi, Bu," sapa Ello sopan.

"Pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu ramah.

"Uhm, kemarin itu Ibu Cielo menyuruh saya untuk ke sini, katanya untuk mengambil surat. Lalu Pak Abi juga menyuruh saya untuk mengambil surat itu di sini. Apa Ibu Cielo sudah datang?"

"Oh, Mas ini yang namanya Graciello Andreas itu ya," tebak sang wanita.

"Betul, Bu," ucap Ello semangat.

"Kemari, ikut saya," kata wanita itu.

Lalu Ello menurut. Mereka berjalan menuju ke meja kerja yang berada persis di depan ruangan direktur. Ada terdapat beberapa telepon di meja, sebuah komputer, dan mesin fotokopi mini di belakangnya yang juga merangkap sebagai mesin fax dan printer.

"Kalau boleh saya tahu, Ibu ini siapa namanya?" tanya Ello. Seingatnya, Ibu Cielo pernah mengatakan jika ia harus menemui seseorang, tapi ia lupa namanya.

"Oh, nama saya Septiani. Saya sekretarisnya Ibu Cielo. Kebetulan Ibu Cielo belum datang. Dia sedang sarapan bersama rekan bisnisnya di Singapura sekarang. Saya baru mendapat laporannya kalau beliau baru saja mendarat dengan selamat."

"Ah, begitu ya," ucap Ello sambil mengangguk perlahan.

Ternyata wanita itu bangun bahkan lebih pagi lagi dari Ello. Untuk sarapan saja, sang bos memilih tempat yang ribet. Untung saja, Ello tidak pernah berurusan dengan bisnis seperti itu. Pasti akan sangat melelahkan.

Wanita bernama Septiani itu sedang mengklik sesuatu di layar komputernya dan kemudian, sebuah kertas pun diprint dan keluar dari mesin fotokopi mini itu. Septiani mengambil kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih dengan logo perusahaan.

"Ini, Mas Graciello suratnya sudah selesai," kata Septiani ramah.

"Ah, terima kasih banyak, Bu." Ello mengangguk sopan.

"Panggil saya Septi saja, Mas. Sepertinya saya lebih muda usianya dari Mas Graciello."

"Yang benar? Saya jadi merasa tidak enak hati," ujar Ello yang menahan diri untuk tidak terbatuk-batuk.

"Iya, Mas. Saya ini baru juga usia dua puluh empat."

"Oh," ucap Ello dengan mulut berbentuk O yang bulat.

"Mas, namanya mirip sama Ibu Cielo. Dipanggilnya apa, Mas?"

"Mirip ya," ujar Ello sambil terkekeh. "Saya biasa dipanggil Ello."

"Owalah Mas Ello." Septiani terkikik pelan. "Mas ini tampan sekali. Oops. Aduh saya jadi malu. Mulutnya terlalu lancar kalau bicara. Lupa remnya belum diminyaki."

Ello pun tertawa. "Bu Septi ini bisa saja. Eh, Septi. Aduh saya tidak enak menyebut nama."

"Tidak apa-apa, Mas. Biar kita lebih akrab," ucap Septi sambil mengedipkan matanya beberapa kali hingga bulu matanya melambai-lambai.

Ello tersenyum semanis mungkin supaya wanita itu tidak sakit hati, padahal Ello sama sekali tidak ingin tersenyum.

"Begitu ya. Baiklah. Uhm, omong-omong terima kasih banyak suratnya ya. Saya harus segera menemui Pak Abi dan menyerahkan surat ini," kata Ello sambil mengangkat amplop di tangannya.

"Ah, iya. Mas Ello sedang buru-buru ya. Lain kali mampir ke sini lagi ya."

"Iya. Sampai bertemu lagi." Ello melambaikan tangannya sambil mengangguk canggung.

"Iya, Mas. Dadah. Sampai bertemu lagi." Septiani tersenyum manis sambil melambai.

Ello pun langsung pergi dari sana dan bergegas ke ruangan Pak Abi. Ia sungguh tak menyangka jika sang sekretaris malah menggodanya. Namun, wajah wanita itu memang lumayan cantik dan sangat ramah, sangat berbeda dengan sang bos.

Ello membayangkan seperti apa rasanya menjadi sekretaris dari bos yang judes. Untung saja, ia tidak pernah bercita-cita menjadi seorang sekretaris.

Tanpa ragu lagi, Ello pun mengetuk pintu ruangan Pak Abi. "Masuk!" seru Pak Abi dari dalam.

Ello memutar gagang pintu dan masuk ke dalam sana. Pak Abi sedang menyesap minuman dari cangkirnya. Lalu Ello diminta untuk duduk.

"Ini suratnya, Pak," kata Ello sambil menyerahkan surat dari Septiani.

Pak Abi membuka isinya dan membacanya beberapa saat sambil menggunakan kacamata bantuan yang bertengger di hidungnya.