Happy Reading ❤
"Mas, pulangnya masih lama kan?" tanya Aidan pada Banyu. Kini mereka berada di apartemen Aidan.
"Hmm.. belum tau Dan. Tergantung situasi dan kondisi."
"Mas Banyu jadi mau menemui kak Adis?" tanya Sita sembari menyediakan teh dan kue-kue kecil buatannya.
"Ta, sini kamu duduk dekat ibu. Kamu jangan terlalu capek. Kandunganmu semakin besar lho." Aminah menunjuk kursi di sampingnya. "Biar malam ini ibu yang masak buat kalian."
"Eh, jangan bu. Biar Sita yang masak. Kata ummi, kita harus memuliakan tamu. Apalagi ibu kan mertua Sita."
"Justru karena ibu ini mertua kamu, berarti ibu bukan tamu."
"Ibu nggak suka masakan Sita ya?" tanya Sita sedih. Raut wajahnya langsung menggelap. Kehamilan yang memasuki usia 7 bulan benar-benar membuat moodnya mudah berubah.
"Ya ampun kok kamu sensi sih sayang," Aidan mendekati dan memeluk bahu istrinya. "Ibu bukan nggak suka sama masakan kamu, tapi ibu kasihan melihat kamu harus berdiri lama-lama. Kamu itu suka lupa kalau lagi hamil. Padahal perut kamu itu kan pasti berat banget."
"Tapi selama ibu disini, Sita belum pernah memasak sesuatu yang istimewa buat ibu. Karena kemarin aku bolak balik ke rumah sakit, aku cuma masak yang simpel-simpel aja. Hari ini aku mau masak rawon kesukaan ibu."
"Ya sudah, biar Sita yang masak. Hari ini ibu akan jadi sous chef nya. Gimana? ibu juga sudah lama kepengen banget masak bareng menantu," Aminah mengalah sambil mengelus sayang kepala Sita.
"Dulu ibu senang banget waktu nak Adis belajar memasak di rumah kita. Walapun tangannya terluka dan beberapa kali terpercik minyak panas tapi dia nggak pernah menyerah. Dulu kita biasa masak ramai-ramai di dapur mungil kita. Ibu, nak Adis, Aidan dan Nabila. Sayang kegiatan itu nggak bisa lagi dilakukan sejak.... Ah, sudahlah. Malas ibu membahasnya."
Banyu hanya tersenyum pahit mendengar ucapan ibunya. Ia masih ingat dulu berkali-kali mentertawakan Gladys yang terlihat kikuk saat berada di dapur, tapi gadis itu tak pernah menyerah. Sejak pulang dari Bali, gadis itu rajin berkunjung ke rumah mungil mereka untuk belajar memasak. Bahkan saat dirinya lebih disibukkan dengan urusan Senja, gadis itu tetap rajin berkunjung untuk belajar memasak. Kunjungan gadis itu berhenti saat memutuskan tak lagi mengejar dirinya agar hubungan dengan Pramudya membaik.
"Hayooo.. mas Banyu senyum-senyum sendiri ingat siapa? Pasti ingat kak Adis ya?" ledek Aidan yang terlihat sudah rapi hendak pergi bekerja.
"Ah kamu, bisa saja Dan. Iya, mas Banyu ingat saat Gladys belajar masak. Lucu melihatnya."
"Mas, kemarin sudah coba hubungi kak Adis?" Banyu mengangguk. "Lalu?"
"Dia nggak mau bertemu. Belum selesai kami bicara, dia keburu sibuk urus anaknya. Ah, sudahlah. Mungkin memang kami tidak ditak...." Sebuah notifikasi pesan masuk muncul di ponsel Banyu. Dari sebuah nomor yang tak dikenal. Banyu mengernyitkan dahi saat membaca pesan tersebut. Namun tak lama senyumnya mengembang.
"Bu, mas Banyu kenapa sih dari tadi senyum-senyum sendiri?" bisik Sita pada Aminah. Mereka memperhatikan Banyu heran.
"Dan, kamu mau ke kampus atau ke tempat kerja? Mau bareng mas Banyu? Mr. Messut mengajak lunch meeting di lokasi resto yang nggak jauh dari kampus kamu."
"Yang, Mr. Messut itu siapa sih?" tanya Sita kepo. "Sebenarnya apa sih bisnis mas Banyu?"
"Macam-macam sayang. Aku juga nggak hafal apa aja bisnis yang dijalankan oleh ayah dulu. Nggak tertarik juga," jawab Aidan.
"Kali ini kamu harus tertarik Dan. Mr. Messut kemarin menawarkan membuka resto fussion Turki dan Indonesia. Gimana menurutmu, Dan?"
"Aidan belum siap mas. Lagipula Aidan maunya bisnis di Indonesia saja, biar dekat dengan keluarga," jawab Aidan.
"Kamu belajar mengelola resto tersebut selama kamu belajar. Nanti kalau dirasa ilmu kamu sudah cukup, kamu pulang dan buka cabangnya di Indonesia. Bagaimana?"
"Coba saja sayang," dorong Sita. "Lumayan dapat pengalaman."
"Kalau kamu setuju mas Banyu akan bahas lebih lanjut dengan Mr. Messut. Kalau kamu nggak setuju, mas akan menunda pembicaraan mengenai resto ini."
"Nanti dulu deh mas. Sita sudah mau melahirkan. Dia pasti akan butuh bantuan untuk menjaga dan mengasuh anak. Kalau Aidan terjun ke bisnis resto, Aidan nggak akan punya waktu untuk istri dan anak. Padahal Aidan sudah janji pada abi dan ummi, nggak akan menelantarkan anak dan istri. Apalagi disaat jauh dari Indonesia." Banyu dan Aminah memandang kagum pada Aidan yang memiliki pemikiran dewasa seperti itu.
"Duuuh.. suamiku so sweet banget siih," puji Sita sambil menatap Aidan dengan tatapan penuh cinta. "Nggak salah memang aku pilih kamu, Yang. Padahal dulu yang naksir aku banyak banget lho."
Aidan langsung manyun mendengar ucapan Sita. Mereka berdua dulunya teman sekolah, yang terbiasa bertenu setiap hari. Dari yang awalnya hanya berteman, lama kelamaan muncul rasa suka. Aidan tahukalau banyak yang naksir Sita, tapi hal itu tak membuatnya mundur. Ia tak berusaha mendekati Sita, namun ia memilih mendekati ustadz
"Baiklah. Mas menghormati keputusanmu. Mas yakin kamu sudah memikirkan semuanya matang-matang. Mas nggak menyangka adik mas bisa sedewasa ini dalam berpikir," puji Banyu sambil menepuk-nepuk bahu Aidan. "Nggak heran ustadz Arman mempercayai dan menerimamu sebagai menantu."
⭐⭐⭐⭐
"Miss Adis, there's a phone call from home. Do you want to take it?" tanya Janet melalui intercom
"Okay Janet. I'll take it from here. Thank you."
"Assalaamu'alaykum.. Dys, pulang kantor nanti elo jadi belanja?"
"Wa'alaykumussalaam. Insyaa Allah jadi. Mas Haidar sudah transfer uangnya daftar belanja juga sudah elo kirim. Ada yang kurang?"
"Tolong beliin baby cream buat Salma ya. Oh iya, mas Haidar minta tolong dibelikan shaving cream. Dia baru lihat kalau shaving creamnya sudah habis," jawab Intan.
"Ada lagi yang lain? Susu hamil lo masih ada?"
"Oh iya, susu gue habis. Hmm.. sudah semua kayaknya. Kata mas Haidar, kalau uangnya kurang nanti dia transfer. Sorry ya gue ngerepotin elo terus."
"Santai aja. Bumil duduk manis saja di rumah. Biar gue yang belanja. Tolong bilang sama mas Haidar, nanti jemputnya sekitar jam 8 aja. Jangan sampai terlambat. Gue malas nunggu dengan belanjaan segitu banyaknya."
"Iya tenang aja, nanti pasti dijemput kok. Nggak bakalan telat jemputnya," sahut Intan. Gladys hanya geleng-geleng kepala setelah menutup pembicaraan dengan sahabatnya ini. Ia tahu benar bahwa Haidar paling sulit tepat waktu karena biasanya sebelum berangkat Intan akan memberi banya wejangan.
⭐⭐⭐⭐
"Hmm.. kayaknya sudah semua deh," gumam Gladys sembari mencocokan belanjaan dengan daftarnya. Bolak balik ia melihat daftar belanja. Tiba-tiba.... "Oh iya, susunya Intan dan shaving creamnya mas Haidar belum. Ya ampun, pelupa banget sih gue. Hmm.. mana ya?"
Gladys berjalan di lorong sambil meneliti barang yang akan dibeli. Nah itu dia susunya, batin Gladys sambil tersenyum girang. Ya, tapi kenapa tempatnya tinggi banget sih? omelnya dalam hati saat dilihatnya susu yang dicarinya terletak di rak paling atas. Disaat Gladys berjinjit berusaha menggapai kaleng susunya, tiba-tiba dari belakang ada tangan yang menolong mengambilkannya. Senyum Gladys langsung mengembang saat itu juga. Namun senyumnya langsung menghilang saat mencium wangi maskulin yang sangat dikenalnya. Ah, nggak mungkin. Banyak pria yang memakai parfum seperti ini. Sadar Dys, elo masih belum bisa melupakan pertemuan saat itu ya? tanya hatinya. Tanpa sadar Gladys menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kalau tidak sampai, sebaiknya kamu minta tolong petugas untuk membantu. Nggak usah pakai jinjit-jinjit atau lompat-lompat begitu."
Deg... deg... deg... Suara ini... Gladys tak berani membalikkan badannya karena ia tahu begitu ia berbalik maka ia akan langsung berhadapan dengan wajahnya. Wajah yang selama 3 tahun terakhir ini berusaha ia lupakan. Wajah yang selama 3 tahun ini masih rajin mendatanginya dalam mimpi. Wajah yang selama 3 tahun ini masih ia rindukan, walaupun ia telah berusaha sekuat tenaga melupakannya.
"Hmm... susu untuk ibu hamil. Sudah berapa bulan? Tuh, apalagi hamil muda. Jangan kebanyakan jingkrak-jingkrak. Bahaya buat janinnya." Gladys masih berdiri membelakangi sambil menutup matanya. "Nggak jadi nih susunya? Ya sudah, aku kembalikan lagi ya."
"Eh, jangan dikembalikan. Nanti aku susah lagi mengambilnya. Nggak niat banget sih nolonginnya," omel Gladys sambil berbalik. Saat berbalik dilihatnya pria itu masih memegang kaleng susu tanpa ada niat mengembalikan ke rak semula. Pria itu menatapnya sambil tersenyum. Tatapan pria itu penuh kerinduan.
"Nah, gitu dong. Mana enak ngobrol sama punggung."
"Siapa yang mau ngobrol sama kamu? Nggak usah ge-er. Minggir, jangan menghalangi jalanku," Gladys buru-buru melangkah meninggalkan Banyu.
"Susunya bagaimana? Kasihan debaynya kalau nggak jadi minum susu," panggil Banyu. Ia melangkah mendekati Gladys.
"Ngapain kamu ikutin aku?" tanya Gladys galak.
"Mau kasih susu ini ke kamu," jawab Banyu santai sambil menyerahkan kaleng susu yang tadi diambilnya. "Kalau lagi hamil jangan galak-galak. Nggak baik buat janinnya. Kalau hamil itu yang ramah biar nanti anaknya juga ramah."
"Nggak usah sok tau!" sentak Gladys.
"Lho, aku memang tahu kok." Hati Gladys teriris saat mendengar hal itu. Oh iya, dia sudah punya istri. Dia pasti tahu tentang kehamilan.
"Makasih." Akhirnya Gladys menerima kaleng tersebut lalu buru-buru melangkah meninggalkan Banyu. Ia meneruskan langkahnya menuju lorong kebutuhan pria. Banyu berjalan mengikutinya tanpa banyak bicara. Tentu saja Gladys merasa jengah diikuti seperti itu. Belum lagi jantungnya yang sedari tadi terus berulah.
"Ngapain kamu ngikutin aku?" tanya Gladys judes saat dirasanya Banyu terus mengikutinya.
"Lho, siapa yang mengikuti kamu? Kok ge-er sih?" jawab Banyu sambil tersenyum jahil.
"Nggak usah senyum-senyum begitu!" omel Gladys. Astagaaa.. kenapa sih dia harus senyum seperti itu, omel Gladys. Sabar wahai jantung.
"Kenapa? Takut jatuh cinta lagi sama aku?" goda Banyu sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Dih.. nggak berubah ya. Masih ge-eran aja!" Gladys melanjutkan langkahnya, namun Banyu masih mengikutinya. Gladys berbalik hendak mengomeli saat dilihatnya Banyu berhenti di tempat khusus skin care pria.
"Kenapa? Mau ngomel? Ini kan lorong khusus kebutuhan pria. Jadi nggak ada larangan dong kalau aku kesini. Justru kamu yang aneh. Ngapain kamu berdiri di depan pakaian dalam pria?" tanya Banyu sambil menampilkan kembali senyum jahilnya.
"Eh.. aku.. ya terserah aku dong mau berdiri dimana? Aku kan juga ada keperluan. Aku mau cari shaving cream." Balas Gladys sambil mengambil sebuah kemasan yang dia yakin shaving cream yang biasa dipakai Haidar.
"Kamu nggak salah ambil kan? Nggak usah malu-malu lah. Kita sudah sama-sama dewasa, wajar kalau membutuhkan barang itu. Tapi kamu kan masih muda. Kenapa kalian membutuhkan pelumas?" tanya Banyu dengan nada meledek. "Apakah 'hubungan' kalian selama ini kurang lancar sehingga kalian membutuhkan itu?"
"Kamu jangan sembarangan ngomong ya!" tegur Gladys emosi. "Kenapa juga aku membutuhkan pelumas?"
"Jangan emosi dulu. Coba kamu perhatikan apa yang ada di tangan kamu," bisik Banyu sambil berjalan melewati Gladys yang sontak langsung memperhatikan barang yang baru saja diambilnya.
Astagaaa! Pantas saja dia ngomong kayak begitu. Ternyata Gladys salah sambil. Alih-alih mengambil shaving cream, Gladys malah mengambil 'pelumas' untuk hubungan suami istri. Muka Gladys merah padam saat melihat tulisan yang tertera. Buru-buru ia kembalikan barang tersebut dan ia langsung mengambil shaving cream yang kebetulan warna kemasannya mirip dengan pelumas tadi. Dalam hati Gladys mengomel panjang pendek akibat keteledorannya. Dasar bego!! Lalu ia pun buru-buru menuju kasir.
Setelah selesai membayar Gladys keluar dari supermarket dan berjalan menuju tempat penjemputan. Dilihatnya jam di ponsel menunjukkan pukul 8 lewat 15 menit. Pasti tak lama lagi mas Haidar akan tiba, pikir Gladys. Dikeluarkannya sebungkus coklat dari dalam tasnya. Tadi setelah shalat maghrib ia langsung pergi belanja. Selesai belanja ia baru merasakan cacing-cacing di perutnya sudah mulai protes. Untunglah ia masih menyimpan sebatang coklat di dalam tasnya. Baru saja ia menggigit coklatnya, tiba-tiba sebuah mobil range rover keluaran terbaru berhenti di depannya. Gladys tak mempedulikan mobil tersebut, tiba-tiba klakson mobil tersebut berbunyi. Gladys heran, siapa sih iseng banget main-main klakson. Selagi ia misuh-misuh, jendela mobil terbuka dan tampaklah wajah Banyu.
"Ayo bareng aku saja, Dys," ajak Banyu. "Sudah malam. Nggak baik perempuan malam-malam sendirian di luar."
"No, thank you. Aku menunggu dijemput," tolak Gladys. Diliriknya jam di tangannya. Sudah jam setengah 9 malam. Mana sih mas Haidar? tanyanya dalam hati.
"Suamimu mungkin lupa kalau harus jemput kamu. Atau mungkin dia sedang banyak pekerjaan," ucap Banyu yang kini sudah turun dari mobil dan berdiri menjulang di hadapan Gladys.
"Suami? Eh...?" Gladys terlihat bingung. Lalu ia pun menelpon Intan.
"Assalaamu'alaykum. Ntan, mas Haidar sudah jalan kan?" tanya Gladys tanpa menunggu Intan menjawab salamnya.
"Wa'alaykumussalaam. Astaghfirullah, maaf Dys gue lupa ngabarin. Mas Haidar masih di kampus. Dia sedang membahas thesisnya dengan dosen pembimbingnya."
"Ya ampuuun.. kok lo bisa lupa sih ngabarin gue? Terus gue pulangnya gimana? Gue kan nggak mungkin naik bis dengan bawaan sebanyak ini," omel Gladys.
"Sorry Dys. Elo naik taksi aja deh. Sekali-sekali nggap apa-apa."
"Ntan, lo kan tahu gue nggak berani pulang naik taksi malam-malam begini," bisik Gladys. "Nanti kalau gue diculik gimana?"
"Ya ampun Dys, siapa juga yang mau culik elo," Intan cekikikan di ujung sana. "Yang ada tuh penculik langsung menyerahkan diri sendiri ke kantor polisi gara-gara nggak kuat menghadali mulut tajam lo."
"Sialan lo! Terus gue gimana dong?"
"Elo mau nunggu mas Haidar? Dia selesai kira-kira jam 9an."
"Hah?! Jam 9? Berarti butuh 15 menit buat mas Haidar untuk sampai disini. Supermarketnya sudah mau tutup. Gue harus menunggu dimana?"
"Ayo kamu bareng aku saja," Tanpa banyak bicara Banyu menarik tangan Gladys dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Ternyata saat Gladys menelpon Intan, barang-barang belanjaannya sudah dimasukkan ke dalam mobil oleh Banyu.
"Apaan sih kamu narik-narik aku? Kalau kamu memaksa maka aku akan berteriak dan memanggil security supaya kamu di tangkap," ancam Gladys. Namun kali ini sepertinya Banyu tak mau kalah. Dengan mudah ia memerangkap tubuh mungil Gladys. Tubuh gadis itu terperangkap di antara mobil dan Banyu.
"Silahkan kamu berteriak. Aku nggak keberatan. Itu artinya aku bisa menciummu. Aku nggak peduli walaupun kamu itu istri orang." Kali ini Banyu mengancam Gladys. Ancaman itu berhasil membungkam mulut Gladys.
"Good girl. Sekarang silahkan kamu masuk ke dalam mobil. Atau kamu mau aku gendong supaya bisa naik ke mobilku karena sepertinya mobil ini terlalu tinggi untuk tubuh mungilmu." Banyu memamerkan smirknya. S**t, kenapa dia terlihat seksi saat tersenyum seperti itu, batin Gladys. Astaga Dys, ingat dia itu sudah punya istri, omel sang otak.
"Jangan macam-macam! Sekali saja kamu melakukan gerakan yang kuanggap mencurigakan, maka aku benar-benar berteriak," ancam Gladys.
"Baiklah Princess, aku nggak akan bertingkah aneh." Banyu menjalankan mobilnya setelah dilihatnya Gladys sdh memakai seatbeltnya. Tanpa sadar Banyu tersenyum melihat penampilan Gladys malam itu. Kini gadis itu telah menutup auratnya. Alhamdulillah, bisik hati Banyu bersyukur atas perubahan Gladys. Tambah cantik, bisik hatinya.
"Ngapain kamu senyum-senyum? Jangan aneh-aneh ya."
"Kamu cantik. Bukan cantik, tapi tambah cantik. Bahkan sangat cantik dengan aurat tertutup seperti ini," puji Banyu.
⭐⭐⭐⭐