Happy Reading ❤
Gladys sedang sibuk menyiapkan sarapan saat ada panggilan masuk ke ponselnya. Kening Gladys langsung berkerut saat melihat nomor tak dikenal menelponnya. Ia berusaha tak memperdulikan ponselnya yang terus menjerit meminta perhatiannya.
"Dys, nggak lo angkat tuh telpon lo? Berisik tau!"
"Gue nggak kenal nomornya," jawab Gladys cuek sambil memberikan roti dan susu kepada Salma.
"Siapa tahu penting, diangkat saja dulu. Kalau memang nggak penting langsung tutup saja."
Akhirnya dengan terpaksa Gladys menjawab panggilan tersebut.
"Assalaamu'alaykum Princess." Sebuah suara maskulin menyapa rungunya. Wajah Gladys langsung memucat saat mendengar suara tersebut. Suara yang selama ini setengah mati berusaha ia lupakan dan di saat ia hampir berhasil, suara itu kembali hadir menyapa rungunya. Pertemuan beberapa hari yang lalu, kemudian telpon dari Khansa masih berusaha ia cerna bahkan ia anggap sebagai suatu kebetulan yang diharapkan akan dapat dilupakan. Namun suara ini menyadarkannya bahwa ini adalah kenyataan. Sebuah kenyataan yang ia tak inginkan terjadi di kehidupannya saat ini.
"Dys, are you still there? Please anwer me, Princess."Gladys hanya terdiam tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara itu dua pasang mata di hadapannya menatap dengan rasa ingin tahu. "Princess, aku ingin bicara denganmu. Please, jangan diam saja."
"Hmm... wa'alaykumussalaam." Akhirnya Gladys bersuara. Gladys dapat mendengar pria tersebut menghela nafas lega saat mendengan suaranya. Demikian juga dua manusia yang sedari tadi memperhatikannya. Sepertinya sedari tadi mereka ikut menahan nafas saat menunggunya menjawab.
"Alhamdulillah. Terima kasih ya Dys, kamu mau menjawab telponku."
"Hmm... ada apa? Kalau tidak ada sesuatu yang penting, lebih baik kita sudahi pembicaraan ini. Masih banyak hal yang harus kulakukan pagi ini daripada mendengarkan anda. Lagipula kurasa di antara kita tidak ada urusan apapun. Jadi sebaiknya Anda tidak lagi menghubungiku," ucap Gladys dingin.
"Princess, apakah kita bisa bertemu. Ada hal penting yang ingin kukatakan padamu." Suara Banyu terdengar sedih. Ada getaran di sudut hati Gladys saat mendengarnya. Ah, tidak! Gue nggak boleh lemah! Pikirannya berusaha mengingatkan saat hatinya mulai melemah.
"Apakah anda tidak mengerti ucapanku tadi kalau di antara kita tak ada urusan apapun Jadi kurasa tak perlu kita bertemu. Waktuku terlalu berharga untuk dibuang. Apalagi hanya untuk menemui Anda. What a waste!"
"Please Princess... beri aku waktu sebentar untuk bicara padamu.." Banyu terus berusaha membujuk Gladys. "Cukup sekali kita bertemu. Setelah itu aku takkan menggangggu rumah tanggamu. Kalau memang perlu, biar aku yang menemui suamimu dan meminta ijin kepadanya."
"Suamiku? Apa maksud Anda ingin menemui suamiku?" tanya Gladys kaget. Begitu pula dua manusia yang duduk di hadapannya ikut terkejut. "Maaf, Anda sudah gila ya!?"
"Iya aku sudah gila. Aku gila karenamu," ucap Banyu nekat. "Please, beri aku kesempatan untuk bertemu."
Gladys tertawa sarkas saat mendengar ucapan Banyu. Benar-benar sudah gila nih orang. Seenaknya saja dia bicara seperti itu. "Sudahlah anda jangan ngaco! Maaf aku tak bisa memenuhi keinginan Anda yang absurd itu. Aku..."
"Mommy, I want to eat banana."
"Okay honey. Mommy will give you a banana, Just give me a second, okay?"
"Okay mommy."
"Princess, itu anakmu? Pasti dia cantik seperti kamu."
"Maaf, aku harus menutup pembicaraan ini. Assalaamu'alaykum." Gladys langsung memutus pembicaraan tanpa menunggu jawaban dari Banyu.
"What?" tanya Gladys pada dua oranng yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap keras kepalanya.
"Dys, elo mau sampai kapan kayak begini? Apakah elo masih belum bisa berdamai dengan masa lalu lo?"
"Apa itu penting? Buat gue kehidupan saat ini sudah enak. Gue nggak musti ribet memikirkan orang lain. Buat gue cukup memikirkan diri gue sendiri dan si cantik ini." Gladys mengelus kepala Salma. "Salma, do you love mommy?"
"Yes mommy.. I love you sooooo much," jawab Salma sambil tersenyum lebar dan merentangkan tangannya. Pipinya yang gembil tambah bulat karena sambil mengunyah roti. Mengingatkan Gladys pada hamster yang sedang mengunyah makanan. Gladys memberikan potongan pisang yang tadi Salma minta.
"Tuh, lo dengar sendiri kan? She loves me sooooo much," Gladys meniru gaya bicara Salma yang menggemaskan.
"Dys, elo nggak bisa terus menerus bersikap seperti ini. Elo sadarkan kalau dia bukan anak lo? Dia bukan darah daging lo."
"Apa bedanya gue dengan orang-orang di luaran sana yang bisa mencintai anak yang bukan anak kandungnya. Banyak orang tua yang sangat mencintai anak angkatnya?"
"Salma juga bukan anak angkat lo. Dia anak gue, Dys. Gue bundanya. Gue yang melahirkan dia. Kami orang tuanya, bukan elo. Bukannya gue nggak suka lo sayang Salma. Bahkan gue bersyukur banget ada elo yang ikut membantu gue mengasuh dia. Tapi gue nggak mau elo menjadikan Salma alasan untuk tidak menikah," ucap Intan panjang lebar. "Brian protes karena elo selalu menolak ajakan kencan dia dengan alasan nggak mau meninggalkan Salma."
"Iya, Dys. Kamu sudah nggak muda lagi. Menurutku cukup waktu 3 tahun buat menutup diri. Kini saatnya kamu mencari kebahagiaanmu sendiri." Haidar ikut bicara. Ya, selama ini Gladys tinggal bersama Haidar dan Intan. Lebih tepatnya Gladys yang mengajak mereka tinggal bersama di apartemen mewahnya yang kebetulan dekat dengan tempat Haidar menuntut ilmu.
"Aku bahagia kok, mas. Apalagi ada Salma yang selalu berhasil membuatku melupakan segala permasalahan hidup." Gladys mencubit pelan pipi gembil Salma. "Aku juga bahagia karena ada kalian yang sudah menemaniku selama ini. Kalian sudah seperti keluargaku sendiri. Kalian juga yang membantuku bersikap netral dan waras."
Haidar dan Intan saling berpandangan. Bukan sekali dua kali mereka berusaha membujuk Gladys untuk move on dan memulai hidup baru setelah kegagalannya menikah dengan Lukas. Namun sepertinya kini Gladys kembali menjadi Gladys yang dulu, yang tak mempedulikan pernikahan. Selama tiga tahun terakhir ini ia benar-benar mewujudkan mimpinya melakukan traveling keliling dunia disela-sela pekerjaannya. Selain memimpin cabang perusahaan milik Praditho, Gladys juga bekerja sama dengan desiner baju muslim di London. Jumlah muslim di kota ini yang mencapai 1 juta jiwa memiliki pangsa pasar tersendiri untuk hasil karya Gladys. Apalagi perusahaan sang papi memproduksi batik yang menarik perhatian konsumen disana.
"Dys, elo nggak ingin menikah? Kenapa nggak balikkan aja sama Banyu? Kayaknya kali ini dia nggak main-main deh. Buktinya dia masih cari elo. Khansa sudah menceritakan semuanya ke gue," ucap Intan.
"Gila, gue nggak mau jadi pelakor, Ntan."
"Pelakor? Memangnya Banyu sudah menikah?" tanya Intan tak percaya.
"Mas Haidar juga lihat kok istrinya Banyu. Bercadar kayak Wina gitu. Bahkan istrinya mengenal gue. Dia manggil gue kak Adis."
"Tapi Dys, panggilan Adis itu kan nggak semua orang tahu. Hanya orang-orang tertentu yanng memanggil lo dengan sebutan itu. Gue sih nggak yakin dia sudah menikah. Kalaupun sudah menikah, mungkin dia mau menjadikan elo istri kedua. Orang-orang model Banyu, apalagi istrinya bercadar, biasanya kan suka poligami."
"Untung suamimu ini nggak minta poligami ya sayang.," goda Haidar.
"Coba aja kalau berani. Bisa aku potong peralatan kamu," sahut Intan judes sambil mengangkat pisau yang sedang dia pegang. Sejak kehamilan yang kedua ini Intan menjadi lebih judes dari biasanya. Gladys tergelak melihat wajah Haidar yang langsung berubah ketakutan.
"Sudah ah, gue berangkat dulu ya. Desainer dari Shofeeya mau datang. kayaknya mereka mau ajak gue ikutan Moslem Fashion Week yang diadain oleh kedutaan. Oh iya, proyek gue yang waktu itu lolos lho. Jadi weekend besok gue mau ajak Salma jalan-jalan beli baju princess."
"Nggak perlu ditemani kan Dys? Gue dan mas Haidar mau ke spa khusus pregnant moms di pedesaan, milik keluarga teman mas Haidar. Gue titip Salma ya. Biar gue bisa istirahat. Kehamilan kali ini rasanya lebih berat daripada saat gue hamil Salma."
"Tenang saja. Salma kan anak gue juga. Pasti dia senang jalan-jalan sama gue. Kalian sekalian saja baby moon. Salma juga ada janji ketemu dokter kan?"
"Elo nggak apa-apa urus Salma sendiri?"
"Ya ampun Ntan, gue kan sudah biasa urus dia. Lagipula weekend ini gue nggak ada kegiatan kok. Gue juga butuh escape dari pekerjaan gue. Mau traveling juga malas. Bingung mau kemana lagi."
"Kesampaian ya mimpi lo untuk traveling keliling dunia. Tapi Dys, traveling itu enaknya ada yang menemani. Jadi elo bisa berbagi memori. Elo juga nggak mengaktifkan media sosial. Jadi elo mau berbagi dengan siapa?"
"Dengan kalian lah. Dengan sahabat-sahabat gue," jawab Gladys lugas.
"Sahabat-sahabat lo belum tentu selalu siap mendengar cerita-cerita lo. Kami semua memiliki keluarga kecil yang harus kami urus. Pada akhirnya elo harus menyimpan sendiri cerita-cerita lo."
"Dys, kenapa kamu nggak jadi penulis saja buat menceritakan semua pengalaman traveling kamu?" usul Haidar. "Sudah cukup 3 tahun kamu tidak aktif di medsos. Kini saatnya kamu bangkit dan kembali aktif. Buka lembaran baru dalam hidup kamu. Apakah lembaran baru itu termasuk di dalamnya menjalin hubungan dan menikah, itu terserah kamu."
"Sejak aku pindah ke sini, aku sudah memulai lembaran baru dalam hidupku. Aku bisa merasa memiliki anak tanpa harus hamil dan melahirkan. Aku bisa merasakan memiliki keluarga kecil dengan adanya kalian disini."
"Itu berbeda Dys. Memiliki kami tak sebanding dengan memiliki keluarga kecilmu sendiri," ucap Intan yang terus berusaha membujuk Gladys. "Kami takkan selamanya berada di sini, di samping elo. Pendidikan mas Haidar sebentar lagi selesai dan kami harus kembali ke tanah air. Itu artinya kamu akan sendirian disini."
"It's not a big problem for me. Gue bisa meminta Endah kesini, untuk menemani."
"Elo lupa kalau Endah sudah menikah tiga bulan yang lalu. Dia dan suaminya sempat mampir kesini saat bulan madu. Kan elo yang membiayai mereka honeymoon kesini."
"I can find a way to enjoy my life here, even without nobody in my life. I have my work."
"Kenapa elo nggak terima saja cintanya Brian? Dia serius lho suka sama el."
"He's not my type. Lagipula gue nggak suka cowok bule. Gue masih cinta produk Indonesia," jawab Gladys sambil terkekeh. "Brian terlalu moderat buat gue, Ntan. Sudah ah, gue berangkat dulu ya."
"Sayang, sudahlah jangan paksa dia. Biarkan Gladys menentukan sendiri arah hidupnya. Aku yakin suatu saat dia akan bertemu dengan jodohnya," ucap Haidar.
"Tapi mas, usia kita nggak muda lagi. Sekarang saja sudah 27 tahun. Waktu berjalan sangat cepat. Tanpa terasa tahu-tahu sudah 30, 35, 50 dan semakin lama semakin tua. Aku nggak mau melihat sahabatku ini menua sendirian. Being lonely is not her life style. Dia terbiasa di kelilingi banyak orang."
"Doakan saja dia segera bertemu jodohnya." Haidar memeluk bahu sang istri.
"Mas, gimana kalau kita undang Banyu makan malam disini?" Tiba-tiba Intan melontarkan ide.
"Nggak usah aneh-aneh. Kamu fokus saja dengan kehamilanmu, sayang. Mas nggak mau kehamilanmu terganggu karena terlalu memikirkan Gladys."
"Hehehe.. justru karena kehamilan ini membuatku semakin excited mas."
"Ya sudah, mas mau berangkat ke kampus ya. Sidang thesis semakin dekat. Mas mau fokus supaya cepat lulus dan bisa segera kembali ke Indonesia. Mas kangen sama masakan ibu dan bunda."
"Tapi mas mengijinkan kan kalau aku mau mengundang Banyu ke sini untuk makan malam?"
"Terserah kamu sayang. Hmm.. sejak kehamilanmu yang kedua, kamu semakin susah dibujuk bila menginginkan sesuatu. Mas cuma nggak mau kamu kecapekan dan stress karena mempersiapkan makan malam tersebut."
"Tenang saja mas. Nanti aku akan minta Gladys membantu persiapannya. Sekarang dia kan sudah jago masak. Nggak sia-sia selama disini ia ikut cooking class yang diadakan mahasiswa dan kedutaan."
"Tapi kamu harus siap-siap ya kalau Gladys marah akibat ulahmu," Haidar berusaha mengingatkan.
"Aku kenal Gladys, dia nggak bakal kuat lama-lama marah." Intan tersenyum manis pada Haidar. Kalau sudah begini Haidar tak bisa menolak keinginan sang istri. Itu artinya dia harus siap kalau-kalau istrinya ngambek bila ribut dengan Gladys.
⭐⭐⭐⭐