webnovel

Tidak Menolak

Apa yang aku mau ada di dirinya. Mana mungkin aku menolak.

***

Ratu tidak ingin perasaan kecewa seseorang menghantui pikirannya lagi. Rasanya sudah cukup dihatui perasaan bersalah karena sudah menyukai orang yang seharusnya tidak dia sukai. Dia tidak ingin lebih tersiksa lagi.

"Kamu sudah selesai makannya?" tanya Prima.

Ratu melihat makanannya yang ada di mangkuk. Ternyata selama memikirkan soal Vito dan masa sekolahnya, dia jadi tidak sadar kalau makannya sudah habis.

Prima menyentuh pundak Ratu. "Enggak usah terlalu dipikirkan soal yang kita bahas tadi. Kalau kamu enggak mau, nggak masalah kok. Kita masih bisa jadi teman kan?"

Ratu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dia pun mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. Waktu Ratu ingin mengeluarkan dompetnya dari dalam tas, Prima sudah mendahuluinya. Cowok itu yang membayarkan makanannya.

"Aku yang ngajak kamu makan di sini, jadi aku yang bayar."

"Jangan Kak, enggak enak." Ratu tetap bersikeras untuk membayar sendiri.

Prima menahan tangan Ratu yang mengeluarkan dompet. "Kamu bisa ganti di lain waktu."

Artinya akan ada makan bersama lain waktu. Inilah yang Ratu hindari.

"Ayo kita pulang," ajak Prima.

Ratu pun memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas. Lalu dia mengikuti Prima masuk ke dalam mobil.

"Kak Prima."

Prima menoleh pada Ratu.

"Kalau emang Kakak mau coba dan berani terima konsekuensinya, mungkin aku juga mau coba. Kita pacaran, yang jatuh duluan dia yang kalah. Sanksinya harus nunggu sampai salah satunya ikut jatuh cinta juga. Begitu peraturannya."

"Siapa yang jatuh cinta duluan, dia yang kalah. Oke. Aku setuju." Prima mengulurkan tangannya dia mengajak Ratu untuk bersalaman.

Ratu menerima uluran tangan Prima.

"Jangan kasih tau siapa pun soal perjanjian ini ke orang lain."

"Setuju," jawab Prima.

Usai bersalaman, Prima mengantarkan Sagita pulang. Tidak perlu bertanya lagi karena Prima sudah bisa menghapal di mana rumah Ratu.

"Aku tuh sering lewat sini, tapi enggak pernah rumah kamu," kata Prima.

"Aku baru pindah beberapa bulan kok Kak."

"Jangan panggil Kak lagi, panggil nama aja."

"Kalo di kampus?"

"Sama. Panggil Prima juga, kalo ada yang marahin tinggal bilang sama aku."

"Terserahlah." Ratu membuka sabuk pengamannya. Setelah itu dia ke luar dari mobil. Sebelum melewati pagar rumahn, dia melambaikan tangan pada Prima sebelum cowok itu menjalan mobilnya lagi.

Saat dia berbalik badan, dia melihat gorden yang ada di jendela bergerak. Ratu tidak takut. Dia yakin itu bukan hal yang mistis. Pasti ada yang sedang mengintip.

Dugaan Ratu itu terbukti saat dia membuka pintu rumahnya. Di ruang tamu sudah ada Athalla dan mamanya duduk menunggunya.

"Tuh kan Ma, udah aku bilang kalau cowok itu pasti bakalan kembali lagi ngantar atau jemput Ratu."

Attalie melihat anak perempuannya tanpa menoleh pada Athalla yang terus berceloteh tentang kakak tingkatnya. Dia ingin langsung mendengar jawabannya dari orang yang bersangkutan.

Tangan Ratu memegangi tali tasnya. Lalu dia menjawab,"Tadi pergi makan dulu, soalnya lapar banget Ma."

"Kamu enggak mau kenalin dia sama Mama?" tanya Attalie. "Baru ini lho Mama liat ada cowok yang kamu biarin antar kamu sampai rumah. Biasanya cuma sampai ujung jalan."

"Terus Kak Prima udah ngantar dua kali," tambah Athalla yang tidak digubris oleh siapa pun.

"Ya udah, kalo gitu nanti aku tanyain kapan dia siap ketemu Mama," jawab Ratu dan dia pun kembali melangkah menuju ke kamarnya.

"Ratu, Mama belum selesai!" teriak mamanya.

Ratu kembali lagi ke hadapan mamanya, padahal dia sudah berada di depan pintu kamarnya. "Apa lagi sih, Ma?"

"Kamu enggak mau cerita hubungan kamu sama dia?"

Ratu memang menyetujui perjanjian untuk berpacaran itu, tapi dia masih malas untuk membahas terlalu jauh dengan orang lain. Dia tidak tau harus menjelaskan dari mana. Hubungan ini memang terlalu cepat.

"Ratu sama dia, pacaran."

"Seriusan?" tanya Athalla dengan suara yang terkejut. Cowok itu bahkan bangun dari sofa.

"Kamu dipaksa pacaran sama dia?"

Ratu mengerutkan dahinya saat mamanya bertanya begitu. Athalla juga sama bingungnya dengan Ratu. Alih-alih terkejut seperti yang dilakukan anak laki-lakinya.

"Kamu baru jadian kan sama dia?" Atthalie bertanya lagi.

"Iya," jawab Ratu sambil mengangguk.

"Kapan?" sahut Athalla bertanya, rasa penasarannya dari tadi belum ada yang terjawab.

"Kenapa kamu kayak tertekan gitu? Bukannya orang yang baru jadian itu bakalan senyum-senyum ya? Makanya Mama ngira kamu terpaksa pacaran sama dia."

Jika dikatakan terpaksa, itu tidak benar. Prima tidak memaksanya, hubungan ini terjadi karena keputusan Ratu. Kalau soal terlihat tidak bahagia itu karena Ratu masih mengharapkan seseorang untuk menjadi miliknya tapi terpaksa harus dilepaskannya.

"Ratu udah ngantuk Ma," jawab Ratu sambil memaksakan diri menguap. "Mana besok kuliah pagi."

"Ya udah sana, kamu masuk kamar."

Ratu segera berjalan memasuki kamarnya. Dia mendengar Theo juga melangkah mengikutinya.

"Git, ceritain dulu gimana bisa lo jadian sama Sandi," Theo mengikuti Sagita sampai ke kamar cewek itu.

"Nggak ada yang spesial Tee." Sagita melepaskan sepatu dan tasnya. Dia pun masuk ke kamar mandi untuk menghindari Theo.

Di dalam kamar mandi, Sagita menatap bayangan dirinya di cermin. Apa yang dikatakan mamanya memang benar, Sagita tidak tampak bahagia. Bukan seperti orang yang baru saja jadian. Apa yang salah dengan dirinya?

Hubungan ini ada atas dasar saling membutuhkan. Sandi butuh melupakan seseorang, begitu juga dengan dirinya. Sagita butuh jatuh cinta dengan Sandi agar dia bisa menyingkirkan perasaan gila ini.

Sagita pun mencuci wajahnya dengan sabun yang biasa dia pakai. Setelah itu dia mengganti bajunya dengan baju tidur yang sudah disiapkan di lemari samping wastafelnya.

"Masih di sini aja lo," kata Sagita saat dia melihat Theo yang masih berada di kamarnya.

"Gimana bisa lo sama Sandi?"

"Dia nembak gue, ya gue terima."

Sagita menaikan bahunya dan dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mungkin memang benar, wajahnya tidak terlihat bahagia karena dia mengantuk. Sebab baju juga kepalanya menyentuh bantal, mata Sagita jadi terasa berat.

"Nggak mungkin cuma gitu, bukannya dulu banyak yang nembak lo tapi enggak pernah lo terima."

Dulu mereka yang menembak Sagita menggunakan perasaannya. Kali ini berbeda. Sandi mengajaknya berpacaran menggunakan perjanjian. Sehingga kalau Sagita menyakitinya, Sandi sudah bisa mengantisipasi hal itu dari awal.

"Gue enggak mau nyesel lagi, kayak waktu SMA. Lo ingat Vito?"

"Cowok tingkat empat yang samperin lo pas perpisahan itu ya?"

"Emm," gumam Sagita. "Dia ganteng banget pas itu dan gue berasa nyesel udah nolak dia pas dia jelek. Sekarang ada Kak Sandi, ganteng, pinter, tinggi. Apa yang gue mau ada dirinya, mana mungkin gue nolak."

"Sandi baru putus sama Kiran, lo yakin dia enggak jadiin lo pelarian? Kalian kan baru kenal."

Sagita memejamkan matanya, walau pun belum mengantuk dia ingin berpura-pura tertidur saja. Malam ini dia masih malas membahas banyak soal itu.

Kalau pun Sagita dijadikan pelarian oleh Sandi, itu bukan masalah besar untuknya. Sandi pun menjadi pelarian untuk Sagita.

"Yah dia tidur," keluh Theo dan setelah itu terjadi keheningan.

Sagita tidak juga mau membuka matanya. Dia ingin menunggu dulu beberapa saat. Namun tidak lama kemudian, Sagita merasa tempat tidurnya bergoyang. Seperti ada seseorang yang duduk di belakangnya.

"Kalo Sandi nyakitin lo, kasih tau gue biar gue yang ngasih balasannya. Ingat ya, lo enggak sendiri. Gue bakalan selalu jadi orang yang ngedukung lo."