webnovel

Main Love

Dua insan manusia dengan latar belakang yang berbeda. Maya Salim adalah seorang yatim piyatu berumur 20 tahun yang tinggal bersama dengan adik laki-lakinya yang masih seorang pelajar dan bibi angkatnya. Menjalani kehidupan yang sulit karena kisah kelam di masa lalunya. Marven Cakra Rahardi, seorang pewaris utama dari grup Cakra perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, yang membuatnya menjadi salah satu pria muda terkaya di Indonesia, ia merasa kesal dengan kakeknya yang mendesaknya untuk menikah dengan wanita kaya pilihannya dan selalu menghina ibu kandungnya yang hanya seorang wanita miskin. Sebuah desakan dan penghinaan, menjadi sebuah amarah berujung sebuah pernikahan kontrak. Marven melamar Maya, seorang pelayan dihadapan semua tamu kakeknya hanya untuk membuat kakeknya merasa terhina. Sandiwara cinta terpaksa dijalankan, tapi perlahan menjadi terbiasa dan berubah menjadi sebuah harapan namun dendam Maya di masa lalu selalu menghantui. Cinta yang perlahan muncul bersama keraguan. Rasa tidak percaya dengan cinta yang datang begitu cepat. Sebuah rahasia besar dibalik kisah asmara berselimut dendam masa lalu. Akankah cinta dapat menang melawan keraguan dan rasa sakit hati? (mengandung konten dewasa, mohon bijak sana dalam membaca 18++) *** hi, terimakasih karena sudah membaca novel buatan ku 。◕‿◕。 Aku akan sangat menghargai setiap review serta komen yang kalian berikan. (*˘︶˘*).。*♡ Kalian bisa menghubungi ku di : lmarlina8889@gmail.com

mrlyn · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
281 Chs

Love Rain

Tetesan hujan perlahan membasahi bumi, dari jendela ruang kerjanya, Andre masih memandang keluar jendela meskipun kini kaca jendelanya dipenuhi tetesan air hujan yang deras dan membuatnya tidak dapat melihat apapun diluar sana tapi ia tetap menunggu Maya melintas meskipun sudah sejak siang tadi hingga malam kini ia tetap tidak melihat Maya melintas bahkan jika hanya sebuah bayangannya.

"Maya.. " Andre menunduk sedih, kenyataannya jika cinta pertamanya telah menikah dengan pria lain membuat luka dalam hatinya semakin lebar.

"Sampai kapan kamu mau berdiri disana?" Tanya Agung yang datang dengan secangkir teh panas yang kini diletaknannya idatas meja kerja Andre.

"Maya-ku masih hidup ayah, percayalah padaku." Suara itu terdengar menyakitkan bagi Agung, ia masih tidak mempercayai ucapan putranya tapi melihat Andre yang seperti telah kehilangan separuh jiwanya membuatnya berharap jika Maya masih hidup namun ia melihat jasad Maya dan Arya dengan mata kepalanya sendiri dan tidak mungkin Maya masih hidup.

"Besok kembalilah ke rumah ibumu. Berada disini hanya akan membuatmu perlahan menjadi gila Andre." Agung tidak tahu bagaimana caranya membuat Andre mengerti. Agung berpikir membiarkan Andre kembali ke Indonesia setelah sekian tahun kepergian Maya maka Andre akan melupakannya namun semenjak kedatangannya kembali ke Indonesia, Andre justru semakin terhanyut dalam pikiran akan Maya yang dianggapnya masih hidup. Untuk itu Agung menyuruh Andre kembali ke Amerika dimana ibunya tinggal disana mungkin akan menyembuhkan luka dihati Andre.

"Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum aku membawa Maya kembali bersamaku." Jawab Andre yang tegas, menegaskan jika ia tidak akan pergi kemanapun meskipun ayahnya memintanya untuk kembali tinggal dengan ibunya. Andre kemudian pergi meninggalkan ayahnya yang kini berteriak memanggil namanya namun Andre mengabaikannya.

....

Di lain tempat Maya dan Marve segera berlari ketika hujan tiba-tiba saja turun dengan deras membuat baju mereka seketika menjadi basah.

Jalan yang berpasir membuat Maya dan Marve kesulitan untuk berlari menuju mobil mereka hingga ketika mereka memasuki mobil, baju mereka sudah basah kuyup dan tidak ada satu sudut pun yang tidak terkena tetesan air hujan.

Mereka kemudiam tertawa saat menyadari penampilan mereka kini.

"Eyeliner mu luntur. Kamu terlihat seperti hantu sekarang." Goda Marve tertawa, Maya lantas dengan cepat melihat ke arah cermin dan menyeka sisa tinta hitam dibawah matanya.

"Sayang sekali, aku memakan waktu hingga satu jam untuk membuatnya." Gerutu Maya kesal.

"Itukah sebabnya kamu sangat lama keluar kamar tadi pagi?"

Maya mengangguk malu tapi Marve hanya tertawa dan mengusap rambut basah Maya.

"Matamu tetap indah meski tidak menggunakan garis mata." Ucap Marve tersenyum.

"Sungguh?" Tanya Maya, ekspresinya tiba-tiba berubah.

Maya kemudian mendekatkan wajahnya pada Marve yang mulai gugup kini.

"Kalau begitu, bisakah kamu menyuruh Veronica berhenti mengusikku?" Tanya Maya sambil mengedipkan matanya, berharap jika Marve akan luluh dan menuruti permintaannya.

Tapi diluar dugaan, bukannya menurut, Marve malah menunjukan ekspresi jengkelnya kini karena ternyata dibalik senyum menggoda dan tatapan mempesona itu hanya sebuah rayuan agar dirinya mau memberhentikan Veronica dan sesaat kemudian Marve tersenyum penuh arti membuat Maya seketika menjadi gugup. Marve selalu dapat membalikkan keadaan dengan sangat mudah.

"Tidak.. dia akan tetap menjadi gurumu setelah itu ia dapat menjadi asistenmu. Ia sangat kompeten." Ucap Marve dengan penuh semangat.

"Mimpi buruk." Gumam Maya lemas.

Marve kemudian meraih selembar tisue dan menyeka sisa eyeliner yang luntur dibawah mata Maya.

Tubuh Maya kembali membeku, setiap sentuhan lembut yang diberikan Marve menyentuh hatinya yang terasa lemah kini.

Matanya tidak dapat melepaskan wajah Marve yang dengan telaten menyeka wajah Maya yang terkena lunturan eyeliner.

"Mari kita pulang." Ajak Maya, suaranya terdengar bergetar. Maya sangat gugup karena wajah Marve berada sangat dekat dengan wajahnya.

Marve kemudian melihat arlojinya yang basah dan waktu sudah hampir tengah malam kini maka ia pun menyalakan mesin mobilnya meninggalkan pantai menembus derasannya hujan.

...

Hujan sangat deras, dapat terasa jika angin juga berhembus kencang.

Mobil Marve melaju menembus lebatnya hujan, saat belum keluar dari area pantai ada segerombol orang ditengah jalan sehingga Marve harus menghentikan mobilnya.

Kini ada salah satu pria dari gerombolan orang itu yang menghampiri mobil Marve dan mengetuk kaca mobilnya.

Maya mulai ketakutan kini dan mencengkram lengan baju Marve yang masih basah.

Jendela terketuk lagi sehingga Marve perlahan menurunkan kaca mobilnya meski ia juga merasa risau dengan siapa pria yang kini menghadang jalannya.

"Ada apa pak?" Tanya Marve hati-hati, pria itu berbadan tegap dengan kumis tebalnya membuat wajahnya sangat garang.

Perasaan risau kini semakin menyelimuti hati Maya dan Marve terlebih pria itu memegang kapak besar.

"Sebaiknya jangan lewat sini, ada pohon tumbang hingga jalan tertutup." Ucap Pria itu dengan suara ramah menghilangkan kecemasan yang sejak tadi menghantui Maya dan Marve.

"Apa ada jalan lain pak?" Tanya Marve.

"Ini satu-satunya jalan utama, lebih baik cari penginapan di dekat sini saja." Saran pria itu sebelum pergi meninggalkan mobil Marve.

Kini Marve dan Maya saling menatap bingung, jalan tertutup jadi mereka harus menginap dengan baju basah seperti ini?

...

Tidak ada pilihan selain menginap.

Maya dan Marve telah sampai di penginapan, tempatnya sangat kecil dan sederhana, bahkan ranjangnya terlihat sangat sempit namun ini satu-satunya penginapan yang ada.

"Ganti pakaianmu dulu jangan sampai masuk angin." Ucap Marve karena baju yang mereka kenakan masih meneteskan air.

"Aku tidak punya baju ganti." Jawab Maya, sejujurnya ia sudah sangat kedinginan namun ia tidak mungkin melepaskan pakaiannya begitu saja.

Marve kemudian mencari sesuatu yang bisa mereka kenakan namun Marve hanya menemukam satu jubah mandi dan sebuah handuk di dalam lemari penyimpanan.

"Pakai ini, ini cukup tebal." Marve menyerahkan jubah mandi pada Maya, dengan ragu Maya meraihnya karena ia sudah sangat tidak tahan dengan rasa dingin yang membuatnya menggigil.

Setelah itu Maya segera kekamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan jubah mandi.

Kini tubuhnya lumayan hangat namun jubah mandi yang dikenakannya sangat kecil hingga memperlihatkan pangkal paha Maya.

Marve yang merasakan suasana mulai berbeda segera memalingkan wajahnya dan segera memasuki kamar mandi tanpa berkata apapun.

Setelah keluar dari kamar mandi Marve hanya mengenakan sehelai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

Otot perutnya yang kekar terlihat dengan jelas dan berbaris rapih seperti sebuah balok yang tersusun sejajar, belum lagi otot lengan Marve dan juga bahu bidangnya yang rasanya seluas samudera membuat Maya ingin sekali menyandarkan wajahnya disana.

Oh Tuhan, pikiranku tidak akan bisa jernih jika Marve berpenampilan seperti itu.

Maya baru akan menurunkan pandangannya kebawah tapi sepertinya Marve menyadari mata nakalnya sehingga Maya langsung memalingkan wajahnya.

"Apa tidak ada jubah mandi lagi?" Tanya Maya untuk menghilangkan rasa canggungnya.

"Jangan salah mengerti, hanya ini yang dapat aku kenakan."

Maya mengerti, ia hanya mengangguk dan kemudian memalingkan wajahnya kembali sebelum ia hilang kendali.

...

Rasa kantuk kini menghinggapi mereka namun Marve tidak berani menyentuh tempat tidur dan begitupun dengan Maya ia hanya duduk ditepi ranjang yang tidak besar ini.

"Tidurlah, ini sudah larut. Besok pagi kita baru akan kembali." Ucap Marve.

"Kamu tidak tidur?"

"Aku akan tidur di lantai."

Di luar masih hujan deras dan udara terasa sangat dingin, tidak mungkin Maya membiarkan Marve tidur di lantai dengan udara sedingin ini mungkin Marve akan sakit, maka dengan sedikit pertimbangan akhirnya Maya meminta Marve untuk tidur disebelahnya.

"Tidurlah disini bersamaku Marve." Ucap Maya menepuk ranjang tepat disebelahnya.

wajah Marve seketika berubah menjadi lain, mungkinkah Maya mengajaknya tidur bersama? Marve masih berpikir dengan keras sampai Maya menyadari jika kalimat yang diucapkannya mungkin membuat Marve salah mengerti.

"Maksudku..." Lidah Maya menjadi keluh kini, bagaimana ia bisa mengatakan hal semacam itu? "Maya mungkin Marve akan mengira kamu menggodanya, dasar gadis bodoh". Maya Memaki diriya sendiri dalam hati, dan kini suasana bertambah canggung.

"Maksudku kamu akan sakit jika tidur di lantai, tidurlah denganku."

Maya mengedipkan matanya yang tidak terasa gatal namun kalimat tadi bukan sebuah alasan, ia malah memperburuk ketegangan diantara mereka "tidurlah denganku?" oh Maya, kebodohanmu sungguh mutlak.

Marve kemudian berjalan perlahan kesisi lain tempat tidur dan duduk disebelah Maya, kaki mereka masih menggantung diatas lantai sedangkan mereka tidak saling memandang sama sekali sampai suara petir yang terdengar seperti menghantam atap penginapan mereka membuat mereka terperanjak dan akhirnya saling memeluk erat karena rasa takut.

Suara gemuruh terus bersambut seperti paduan suara diatas langit yang menggelegar sampai Maya dan Marve menyadari jika mereka saling memeluk kini dan sedetik kemudian mereka saling menjauh.

Udara yang dingin tidak lagi terasa dingin melainkan berubah menjadi panas kini bahkan kening mereka berkeringat.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Marve berpikir karena suasana ini membuatnya hampir tidak bisa bernafas sekarang.

"Terima kasih."

Marve menoleh saat Maya tiba-tiba saja berterima kasih padanya, ia sedikit bingung mengapa Maya tiba-tiba saja berterima kasih padanya.

"Kamu sangat baik pada keluargaku. Terima kasih banyak." Ucap Maya kembali.

"Keluargamu adalah keluargaku sekarang." Jawab Marve membuat hati Maya tersentuh dan menghangat.

"Tapi pernikahan kita adalah sebuah kontrak yang memiliki batas waktu."

"Bukankah kita sudah sepakat untuk saling tidak membatasi diri." Marve terlihat tidak senang kini.

Marve hanya membuat peraturan baru bukannya menghilangkan kontrak diantara mereka tapi Maya tidak berani mengatakannya secara langsung dan memutuskan untuk diam.

"dan bagiku pernikahan tetaplah sebuah pernikahan."

Kini Maya menoleh dan menatap Marve lekat, pernikahan adalah sebuah pernikahan dia bilang lantas apakah itu artinya kontrak diantara mereka sudah tidak berlaku lagi? Maya terus bertanya-tanya dalam hati.

"Kita masih memiliki waktu beberapa bulan lagi sampai saat itu tiba, jika tidak ada cinta diantara kita maka kita dapat berpisah dengan baik-baik." Ucap Marve tersenyum.

Rasanya sungguh mudah Marve mengatakan hal seperti itu, artinya jika hanya aku yang jatuh cinta padanya maka kontrak akan tetap berjalan hanya saja aku pasti terluka.

Maya seketika merasa sedih.

"Maka lebih baik kita tidak perlu bermain api Marve. Aku takut kehilangan hatiku." Ucap Maya, ia kemudian berbaring dan menutupi dirinya dengan selimut tipis dan tidur dengan membelakangi Marve.

Marve merasa menyesal kini, harusnya ia tidak membahas akan perpisahan jika ia sendiri tidak berniat berpisah dengan Maya.

"Aku lebih takut kehilanganmu." Bisik Marve setelah memeluk Maya dari belakang.

Maya hanya diam tanpa mengucapkan apapun dan memejamkan kedua matanya membiarkan kehangatan tubuh Marve yang memeluknya menghangatkannya dan juga hatinya.

"Cinta tidak datang dengan waktu yang begitu singkat Marve, kamu mungkin hanya terbawa suasana." Ucap Maya lagi, tapi Marve tidak membalasnya dan malah mempererat pelukannya.

Mungkinkah Marve telah jatuh cinta padanya? hati dan pikiran Maya dipenuhi dengan pertanyaan bagaimana sesungguhnya perasaan Marve padanya.

Marve begitu perhatian padanya, sikapnya perlahan menghangatkannya tapi Marve mengatakan perpisahan dengan mudahnya membuat ia tidak dapat menemukan satupun jawaban dari semua pertanyaan yang muncul dibenaknya.

Mungkinkah cinta dapat datang dengan waktu sesingkat itu di hati Marve? atau mungkin ia yang sebenarnya telah jatuh cinta pada Marve dengan waktu sesingkat ini?

***

Hallo, aku Mrlyn...

Main love sekarang juga ada versi bahasa Inggrisnya loh, yuk bantu aku agar bisa masuk pasar global biar author Indonesia bisa bersinar gak hanya di Webnovel lokal tapi juga di Global.

ฅ^•ﻌ•^ฅ Tolong bantu aku ya, masukin judul ini di perpustakaan kalian Ꮚ˘ ꈊ ˘ Ꮚ

(☞^o^) ☞

The CEO's Main Love (ノ゚0゚)ノ→

Demon Heart: Trying to break the fate(☉。☉)→

Crazy Boss Bitch←(>▽<)ノ

Oh My CEO english version (。◕‿◕。)➜

Terima kasih buanyakkkkk〜(꒪꒳꒪)〜

mrlyncreators' thoughts