Mina meletakan secangkir kopi panas di atas meja dimana Agung telah menunggu.
"Silahkan diminum."
Agung mengangguk, ia memperhatikan bagaiman toko kue Mina, tempatnya tidak terlalu besar tapi cukup nyaman dan seperti masuk dalam suasana tahun sembilan puluhan karena banyak sekali kue tradisional berjajar rapih di balik lemari kaca.
"Jadi mengapa kamu bersembunyi?"
Mina menunduk seketika ia merasa takut mengingat akan ancaman Kania dulu, tapi sekarang sudah tidak sama lagi seperti dulu dan haruskah ia mengatakan yang sejujurnya pada Agung.
"Mina..." Agung memanggil dengan pelan sambil menyentuh punggung tangan Mina lembut.
Mina dan Agung memang pernah terjebak dalam situasi yang mengikat perasaan mereka namun karena Agung saat itu masih menikah dengan ibu Andre, Mina memutuskan hubungan diantara mereka.
Mereka sudah cukup tua saat ini, hubungan asmara sudah tidak lagi penting jadi Mina menarik tangannya dengan cepat dan menyembunyikan tangannya dibalik meja.
"Apa yang membawamu kesini mas?" Tanya Mina hati-hati.
Agung sedikit kecewa dengan penolakan Mina tapi ia menyembunyikan rasa kecewanya dan duduk bersandar agar merasa lebih nyaman.
"Maya menemuiku..."
Mina mengangkat kepalanya, dan mendengarkan dengan hati-hati.
"Aku tidak mempercayainya saat ia mengatakan jika dirinya adalah Maya, karena setahuku Maya telah tiada."
Hati Mina perlahan tersentak, matanya memerah, ia hampir menangis. Apa yang Agung bicarakan? Bagaimana mungkin Maya telah tiada.
"Terjadi sebuah kebakaran besar enam tahun yang lalu... Arya dan Maya menjadi korban kebakaran dan meninggal di lokasi kejadian."
"Apa maksudmu? Maya dan Arya baik-baik saja berasamaku selama ini, Kania hanya menyuruhku membawa mereka pergi agar ia tidak menyakiti Maya dan Arya." Ucap Mina tidak terima, ia berteriak dan mulai meneteskan air matanya karena begitu emosional.
"Tenanglah Mina... Aku rasa Kania yang mengatur semua ini, membuat Maya dan Arya seolah telah tiada agar dapat menguasai harta mereka."
Mina kembali meneteskan air matanya, ia pernah melihat pemeran antagonis di dalam sebuah drama tapi ia tidak pernah percaya jika ada orang jahat di dunia nyata.
Tapi mendengar apa yang diucapkan Agung membuat semua yang dipikirkannya salah selama ini.
Bagaimana mungkin seseorang memalsukan kematian orang lain seperti itu? Dan orang itu adalah Kania, adiknya sendiri!
"Maafkan aku.. Aku tidak mencari tahu lebih dalam tentang kasus kebakaran itu, aku terlalu syok hingga tidak mampu berpikir jernih dan membuat kalian hidup menderita selama ini."
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Agung menarik nafas, ia menyeruput kopinya dan kembali menopang tangannya.
"Akan sulit bagi Maya dan Arya untuk muncul tiba-tiba dan mengaku jika mereka adalah ahli waris dari grup Wings, Kania pasti tidak akan membiarkannya begitu saja. Untuk membalas semua perbuatan Kania, kita harus memiliki strategi yang matang."
Mina mendengarkan dengan seksama, "Rahayu memiliki saudara laki-laki, mereka berpisah sejak kecil dan setahu ku ia menetap di Beijing tapi aku sudah lama sekali tidak mendengar kabarnya, jika kita menemukannya kita bisa menyuruh Maya dan Arya melakukan tes DNA sebagai bukti jika mereka masih hidup. Maka kita dapat menuntut Kania sekaligus membongkar kasus kematian palsu yang terjadi enam tahun yang lalu."
Mina menunjukan senyumnya, akhirnya ada jalan keadilan untuk Maya dan Arya, tapi kemudian ia melihat Agung mengerutkan keningnya dan memegangi kepalanya.
Sepertinya semua tidak berjalan lancar seperti yang dipikirkannya.
"Tapi, aku masaih harus mencari keberadaan saudara laki-laki Rahayu, dan selama itu jaga diri kalian baik-baik terutama Maya dan Arya karena bukan tidak mungkin jika Kania akan kembali berbuat nekad."
"Maya telah menikah, aku yakin suaminya tidak akan membiarkannya pergi sendirian tapi Arya dia masih baru masuk kuliah bagaimana jika mereka menyakiti Aryaku..."
Mina memegangi dadanya yang terasa sesak membayangkan jika Arya mengalami hal buruk membuat hatinya terasa sakit.
"Aku akan baik-baik saja bi.. Aku akan menjaga diriku, dan selama menunggu paman Agung menemukan saudara mama, aku akan berhati-hati."
Arya yang sejak tadi telah kembali akhirnya angkat suara, ia sejak tadi menunggu dan mendengarkan apa yang bibinya dan pria berambut itu bicarakan dan ternyata mereka tengah membicarakan tentang cara merebut kembali haknya.
Arya sangat senang sekaligus khawatir, karena Agung bersedia membantunya tapi khawatir akan kegagalan yang mungkin mereka terima dan bahaya yang mengancam mereka.
***
Maya membuka baju pasien yang Marve kenakan dengan hati-hati, tangan kiri Marve hingga bahu dan juga punggungnya masih terbalut perban membuatnya merasa sedih.
"Apa sakit mas?" Tanya Maya hati-hati saat mengelap tangan Marve yang tidak di perban.
"Kamu tahu, mas jadi ingin selalu tetap seperti agar kamu dapat merawat mas seperti ini terus."
Maya kemudian mencubit pelan pinggang Marve dan mengomel, "Kamu senang aku mendorongmu terus di kursi roda, lama-lama tanganku bisa berotot." Gerutu Maya kesal.
Marve tertawa, ia kemudian menarik Maya dan membuatnya duduk di hadapannya.
"Apa pegal?" Tanya Marve menyentuh tangan Maya.
Maya tersenyum, Marve mengkhawatirkan hal yang sebenarnya hanya candaan baginya tapi karena Marve memijit tangannya dengan lembut maka Maya menikmatinya dengan senang hati.
"Sayang... yang ini juga pegal." Maya kemudian membalikan badannya dan menunjukan bahunya pada Marve.
"Woah. . kamu memanfaatkan kebaikan hati suamimu dengan baik." Marve tertawa kesal, ia kemudian menggelitik pinggang Maya hingga ia tertawa dan beranjak bangun karena merasa geli.
Maya tidak berhenti tertawa sampai ia menyentuh tangan Marve dan menggenggamnya.
"Terima kasih karena telah begitu baik padaku, mas..."
"Aku sama sekali tidak keberatan merawatmu, hanya lebih baik kamu dapat kembali menjadi normal, itu akan membuatmu lebih nyaman. Aku akan selalu merawatmu dan menyayangimu bahkan dalam keadaan kamu sehat sekalipun."
Marve tersenyum, ia begituh tersentuh dengan ucapan Maya.
"Aku sangat beruntung memilikimu dek... Sekarang aku tersadar kita bukanlah dua orang asing yang kebetulan berjodoh tapi kita memang ditakdirkan untuk berjodoh." Ucap Marve, ia meraih tangan Maya dan mengecup punggung tangan Maya.
"Benar katamu dek.. Mas harus lekas sembuh..." Ucap Marve kembali, ia kemudian menarik tangan Maya dan membawanya kesisinya.
Tangannya telah melingkar dipinggang Maya kini, ia lalu mendekatkan wajahnya dan menempelkan kening mereka.
"Aku sungguh tidak sabar lagi..." Bisik Marve.
"Semua keterbatasan ini sangat menyiksaku..." Lanjutnya sebelum akhirnya mencium Maya lembut tepat di bibirnya membuat sekujur tubuh Maya mematung.
Maya merasa ada yang berbeda dengan ciuman yang Marve berikan padanya kali ini.
Usapan lembut di punggungnya membuat sekujur tubuhnya memanas apalagi saat tangan Marve mulai menyelinap di balik pakaiannya dan tangan hangatnya mulai membelai punggung kulitnya dan memberikan desiran yang melemaskan sekujur tubuhnya.
"Jika aku sembuh aku tidak akan menundanya lagi, aku akan membuatmu menjadi istriku seutuhnya." Bisik Marve di sela ciuman yang mengikat mereka, ia menatap Maya dan mengecup leher Maya lembut dan sedikit menyesapnya sehingga membuat Maya mengerang.
Marve tersenyum saat ia berhasil meninggalkan jejak di leher Maya sementara Maya merasa sangat malu hingga ia tidak berani membalas tatapan mata Marve.
"Aku sudah tidak sabar." Bisik Marve, Maya kembali tersenyum malu dan memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Marve malu-malu, "Kamu harus sabar."
"Tapi aku tetap boleh mencium mu meskipun aku belum sembuh, kan?"
"Tentu saja." Jawab Maya berbisik.
"Kamu bisa menciumku kapanpun kamu ingin."
"Dan aku berharap jika kamu menciumku lebih dulu sekarang."
Maya tertawa pelan tapi tangannya mulai merapihkan rambut Marve dan mendekatkan wajahnya.
"Aku tidak pandai berciuman..." Bisik Maya saat jarak diantara mereka nyaris tidak ada.
"Apa begini caranya?" Maya menekan lembut bibir Marve dengan bibirnya singkat.
"Lebih dalam lagi." Bisik Marve.
Oh Tuhan, atmosfer ini membuat Maya gila, ia merasa jantungnya akan meledak karena semua kemesraan yang sangat intim ini tapi sepertinya rasa malu-malu itu sudah hilang entah kemana karena ia sangat ingin merasakan lembutnya bibir Marve dan mulai menciumnya, menyesapnya dalam sambil memegangi wajah Marve dengan kedua tangannya agar ia dapat menguasai sepenuhnya bibir Marve hingga menyatukan lidah mereka sementara Marve membiarkan Maya melakukan apapun yang diinginkannya sampai akhirnya Maya melepaskan bibirnya.
Maya tersenyum malu apalagi saat Marve menyeka sisa salivanya di permukaan bibir Maya yang basah.
"Manis sekali." Puji Marve membuat Maya kembali tersipu.
Pandangan Maya teralihkan ketelinga Marve, anting itu terlihat cocok untuk Marve.
"Anting ini, aku lebih suka berada ditelingamu, seakan aku selalu bersamamu... Aku telah jatuh cinta padamu mas, tapi simpanlah anting ini sebagai tanda hatiku untukmu."
Marve tersenyum, ia membelai rambut Maya dan menyisipkanya di sela telinganya "Lalu ini adalah hatiku..." Marve menyetuh anting Maya dan Maya mengangguk tanda setuju, sedetik kemudian ia menciumnya kembali mulai dari kening, hingga mata terus terun ke hidungnya dan kembali mendarat manis dibibir Maya.
Menyesapnya, dan menggigitnya pelan.
Tangannya menekan lembut tengkuk Maya sehingga ciuman mereka lebih dalam lagi bahkan hingga memasuki rongga mulut mereka.
"Aku mencintaimu, Maya..." bisik Marve disela ciuman hangatnya.
"Aku juga mencintaimu, Marve..." Balas Maya yang kembali merasakan esapan bibir Marve yang lembut menyentuhnya hangat.
***