webnovel

Main Love

Dua insan manusia dengan latar belakang yang berbeda. Maya Salim adalah seorang yatim piyatu berumur 20 tahun yang tinggal bersama dengan adik laki-lakinya yang masih seorang pelajar dan bibi angkatnya. Menjalani kehidupan yang sulit karena kisah kelam di masa lalunya. Marven Cakra Rahardi, seorang pewaris utama dari grup Cakra perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, yang membuatnya menjadi salah satu pria muda terkaya di Indonesia, ia merasa kesal dengan kakeknya yang mendesaknya untuk menikah dengan wanita kaya pilihannya dan selalu menghina ibu kandungnya yang hanya seorang wanita miskin. Sebuah desakan dan penghinaan, menjadi sebuah amarah berujung sebuah pernikahan kontrak. Marven melamar Maya, seorang pelayan dihadapan semua tamu kakeknya hanya untuk membuat kakeknya merasa terhina. Sandiwara cinta terpaksa dijalankan, tapi perlahan menjadi terbiasa dan berubah menjadi sebuah harapan namun dendam Maya di masa lalu selalu menghantui. Cinta yang perlahan muncul bersama keraguan. Rasa tidak percaya dengan cinta yang datang begitu cepat. Sebuah rahasia besar dibalik kisah asmara berselimut dendam masa lalu. Akankah cinta dapat menang melawan keraguan dan rasa sakit hati? (mengandung konten dewasa, mohon bijak sana dalam membaca 18++) *** hi, terimakasih karena sudah membaca novel buatan ku 。◕‿◕。 Aku akan sangat menghargai setiap review serta komen yang kalian berikan. (*˘︶˘*).。*♡ Kalian bisa menghubungi ku di : lmarlina8889@gmail.com

mrlyn · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
281 Chs

All I Do (9)

Marve membanting pintu mobilnya dengan kasar dan berlari menuju pintu masuk tempat pemakaman umum dimana kedua orangtua Maya disemayamkan namun tidak ada Maya disana, matanya menusuri kesetiap sudut namun bayangan Maya tetap juga tidak muncul.

Ia mengangkat teleponnya dan mencoba menghubungi Maya tapi Maya sama sekali tidak menjawab satupun panggilannya.

Mungkinkah Maya meninggalkannya? Mata Marve memerah ingin sekali ia menangis saat ini karena ia tidak tahu lagi harus mencari Maya kemana bahkan Dewipun mengatakan jika Maya belum pulang.

"Maya maafkan aku. " Marve tidak kuasa menahan tangis kini, kakinya lemas tapi ia tetap memaksakan langkahnya dan berjalan keluar meninggalkan area pemakaman itu tapi langkahnya terhenti seketika saat melihat seorang pria memakai setelan jas hitam kini menghadang langkahnya.

Andre.. pria ini, apa yang dilakukannya disini? apakah ia bertemu dengan Maya disini, pikiran Marve melambung jauh tapi ia tidak ingin memperkeruh suasana dengan rasa cemburunya yang tidak beralasan, mungkin saja pria dihadapannya ini hanya ingin mengunjungi makam seseorang yang dikenalnya, jadi Marve memutuskan untuk berjalan melewati Andre begitu saja tanpa menyapa.

"Jika kamu tidak dapat membahagiakannya.. maka lepaskan saja dia.."

Langkah kaki Marve terhenti seketika, ia menoleh dan Andre telah menghadap kearahnya dengan tangan yang dimasukkan kedalam saku celananya menunjukan ketenangan dirinya.

"Aku membicarakan Maya..".

Marve ingin sekali mengabaikannya namun ia tidak dapat membiarkan ia merasa bernafas dengan lega karena telah berani bertingkah seolah ia sangat memperdulikan Maya.

"Kamu hanya kenalannya.. jangan bertingkah seolah kamu sangat mengenalnya." Marve membalas dengan ucapan menekan dan menunjukan jika ia adalah suami Maya.

"Jangan pernah mengusik istriku." Matanya menatap lekat Andre yang berdiri menantang disebelah sana, terlihat ia bahkan menyeringai dan terkekeh pelan.

"Kamu salah.. aku bukan kenalannya, tapi aku cinta pertamanya."

Detak jantung Marve terhenti seketika, pria ini terang-terangan menyatakan perang padanya.

Marve mendengus kesal dan kemudian berjalan mendekat "Kamu hanya masa lalu yang tidak ada artinya sedangkan aku adalah cinta utamanya.. aku suaminya, jadi bangunlah dari mimpimu karena aku tidak akan pernah melepaskan Maya seumur hidupku." Marve berkata dengan membawa alam semesta dibelakangnya yang seakan mendukung ucapannya saat angin tiba-tiba saja berhembus kencang dan suara petir tiba-tiba datang bersambut.

Andre tersenyum, dan menatap mata Marve lekat, menembusnya dengan sebuah ancaman yang diucapkannya dengan pelan.

"Aku tidak perduli.." Bisiknya tepat ditelinga Marve sebelum akhirnya berjalan melewati Marve dengan semua amarah yang memupuk dikepala Marve.

Ia telah mengepalkan tangannya dan bersiap untuk memukul Andre tapi bayangan Maya yang belum ditemukannya mengurungkan niatnya, jadi dengan kasar ia melepaskan cengkramannya dari kerah baju Andre dan berjalan cepat meninggalkannya.

...

Marve menyapukan wajahnya dengan telapak tangannya karena begitu frustasi, mengapa pria itu tiba-tiba muncul disaat keadaan menjepitnya seperti ini, Maya telah salah paham dan bahkan ia masih belum dapat mengehubunginya.

"Sayang.. aku mohon angkatlah."

Marve melemparkan ponselnya dengan keras keatas dashboard karena Maya masih tidak kunjung mengangkat panggilannya.

Ia telah menghubungi supir yang mengantar Maya sebelumnya namun supir itu mengatakan jika Maya memintanya pulang dan menjemputnya kembali tapi saat ia kembali Maya sudah tidak berada disana.

Marve mengungat

Sementara itu, Maya duduk sendiri dipinggir danau, termenung dan membiarkan rasa sakit yang menyayat hatinya terbuang bersama lemparan batu yang di lemparkannya kedalam kolam, namun tetap saja rasa sakit dihatinya tidak dapat berkurang dan masih tetap terasa sama.

Kemungkinan orangtuanya dibunuh membuat hatinya sangat terluka hingga walaupun menangis sesegukan seperti ini tidak dapat menenangkannya.

Bahkan saat hujan menerpa tubuhnya perlahan, air matanya menetes lebih dari air hujan yang mengalir.

Sampai ia merasakan dekapan hangat menyelimuti tubuhnya.

Maya membuka matanya, saat seseorang memeluknya dengan begitu erat saat ini.

"Maafkan aku.. mas mohon jangan seperti ini dek."

Maya segera melepaskan pelukan Marve, ia telah larut dalam kesedihan memikirkan ketidak adilan yang menimpa keluarganya hingga ia melupakan masalahnya dengan Marve.

Bahkan pernikahannyapun tidak berjalan lancar.

Maya mendesah, ia menatap nanar wajah Marve yang terlihat sangat menyesal kini lalu kemudian beranjak bangun dan berjalan meninggalkan Marve yang masih bersimpuh didepan bangku taman.

Marve menangis tapi ia tidak dapat membiarkan kesalah pahaman ini terus berlarut-larut jadi ia segera mengejar langkah Maya, menariknya hingga Maya membalikkan tubuhnya lalu menciumnya dengan cepat.

Maya meronta tapi Marve memegangi wajahnya hingga akhirnya Maya menyerah dan membiarkan Marve menguasainya.

Saat Marve merasa Maya telah cukup tenang, perlahan ia melepaskan ciumannya.

Maya tersenyum, tapi bukan senyum bahagia melainkan senyum getir penuh kesedihan.

"Menciumku tidak akan menghapus fakta bahwa kamu telah bercumbu dengan wanita lain mas.." Maya memekik, matanya terlihat merah bahkan saat air hujan terus menetes menerpa tubuh mereka Maya menatap Marve tanpa gentar, ada kemarahan disorot matanya yang membuat Marve tidak dapat berhenti menyalahkan kebodohannya tadi pagi.

Hanya berlutut yang dapat Marve lakukan kini, ia melepaskan semua harga dirinya yang selalu melekat diatas pundaknya.

"Maafkan aku.. mungkin semua penjelasanku hanya terdengar seperti alibi bagimu tapi sungguh.. aku setengah mengantuk pagi itu, mataku terpejam.. aku tidak tahu bahwa akan ada yang berani memasuki kamar kita, jadi aku mengira itu kamu." Jelas Marve, ia mengatakan dengan sejujurnya, meyakinkan Maya agar Maya mau memaafkannya.

Ia menggenggam erat tangan Maya, mengusapnya lembut menyalurkan perasaan cintanya yang tidak terbendung. Seseorang diluar sana telah mengatakan dengan jelas jika ia akan merebut Maya darinya, jika Maya terus marah padanya bukan tidak mungkin Andre akan benar-benar mengambil Maya darinya.

Maya terdiam, jujur saja hatinya masih sangat sakit saat mengingat kejadian tadi pagi, tapi hatinya juga sangat terluka melihat Marve seperti ini.

Maya lepaskan tangannya, ia membangunkan Marve perlahan. Sebesar apapun rasa kecewanya pada Marve tapi cintanya pada Marve jauh lebih besar.

Ia tidak dapat melihat Marve menangis seperti ini.

"Mari kita pulang." Ucap Maya pelan setelah membangunkan Marve, ia melamgkah lebih dulu..

Kata memaafkan belum terlontar dari bibir Maya tapi setidaknya ia mau pulang bersamanya.

Marve menatap punggung mungil Maya, terlihat rapuh dan penuh kesakitan, membuat Marve tidak dapat berhenti meruntuki dirinya sendiri atas semua kebodohannya.

Ia mempercepat langkahnya, membuatnya sejajar dengan Maya dan perlahan merangkulnya erat.

Maya sendiri tidak bergeming, matanya menatao kosong kejalanan yang mulai becek karena hujan tidak kunjung reda.

"Kamu ingat saat kita berciuman dibawah lampu itu.. aku rasa kedekatan kita terjalan setelah itu karena setelah itu kamu menciumku diatas tangga." Marve memecah keheningan dengan menceritakan kisah manis mereka beberapa saat yang lalu saat Marve menciumnya dibawah lampu jalan yang kini tepat dimana mereka berada.

"Entahlah.." Maya menjawab singkat, Marve mendesah kecewa tapi ia tidak menyerah.

Setidaknya satu senyuman tipis saja.. maka ia akan merasa sedikit lega.

"Mau mas gendong? jarak rumah kita masih cukup jauh." Marve bertanya kembali dengan hati-hati. "Tidak." Maya menjawab singkat kembali dengan nada datar sama persis seperti sebelumnya.

"Dek, kamu masih marah padaku?" Marve bertanya kembali, Maya mendesah "Tentu saja." Jawabnya singkat sesingkat kilatan cahaya petir yang tiba-tiba menerangkan langit yang mendung.

Dan sedetik kemudian bunyi petir yang menggelegar terdengar mengagetkan.

Maya segera merungkut, ia bersembunyi dibalik dekapan Marve yang hangat, Marve tertawa kini "Jadi masih marah padaku ya?" Marve menggoda, Maya mengerjapkan matanya dan segera berjalan menjauh saat suara petir kembali terdengar dan dengan cepat Maya kembali berhambur memeluk Marve erat.

Marve hanya dapat tersenyum menyambut.

"Jadi sudah tidak marah lagi." Marve menggoda kembali.

"Diamlah.." Ucap Maya dengan ketus membuat Marve hanya dapat tertawa dan sedetik kemudian, ia menggendong tubuh mungil Maya dan membawanya berlari menuju rumah mereka.

"Marve kamu gila.." Maya memekik, tapi Marve tidak perduli, setidaknya Maya memeluknya lebih erat lagi kini.

Marve tersenyum begitupun dengan Maya yang akhirnya tidak dapat menahan tawanya saat Marve bertingkah seolah dia adalah pahlawan super yang tengah menggendong penduduk sipil yang baru ditolongnya.

....

....