webnovel

Meet The Faculty

Aku mengikuti Pak Wodin dan Ms. Gyna menyusuri sebuah koridor hingga akhirnya kami tiba di hadapan sebuah pintu geser kayu berukiran bunga aster berwarna biru di bagian tengahnya. Sebelum Pak Wodin membuka pintu itu, aku sudah merasa akan disambut pemandangan yang, untuk kesekian kalinya selama berada di sini, pasti membuatku takjub. Dan dugaanku ternyata tidak meleset. 

Ruangan megah berdinding tinggi dengan sebuah meja bundar besar tepat di tengahnya terbentang di hadapanku. Sejumlah rak yang sarat dengan ratusan buku bersandar pada tiap sisi dinding, seolah mengelilingi meja tersebut. Terlepas dari kenangan buruk di tempat mengajarku sebelumnya, aku selalu menganggap ruang guru sekolah itu sebagai sesuatu yang tidak mungkin bisa diimbangi, apalagi dilewati oleh sekolah manapun. Hanya dalam hitungan detik, ruang guru Aster Biru membuatku berubah pikiran. 

 Tujuh orang guru yang saat itu duduk dibalik meja bundar dengan segera berdiri nyaris serentak saat melihat kami memasuki ruangan, sebelum kemudian membungkuk dan memberi salam.

"Salam, Bapak Wodin," ucap mereka bersamaan. 

"Salam. Selamat pagi semua dan semoga semua dalam keadaan sehat," jawab Pak Wodin usai memberi salam. 

Aku melihat Pak Markus, sang Wakil Kepala Sekolah, berada di antara para guru. Walaupun mulut beliau tertutupi oleh kumis dan jenggot tebal, kehangatan yang terpancar dari kedua matanya membuatku yakin bahwa dia sedang tersenyum ramah seperti yang lain. 

Bu Frida, sang guru BK yang sudah kutemui sebelumnya, berdiri tepat di sebelah Pak Markus. Aku masih bisa merasakan aura bijaksana namun tegas dari beliau dibalik senyumnya yang menawan. 

 Seorang pria dengan kumis dan jenggot tipis yang juga berpakaian nyentrik berdiri di sebelah kanan Bu Frida. Berbeda dengan rekan-rekannya yang berpakaian rapi, dia mengenakan sepatu boots hitam bergaya punk, celana pensil biru muda, t-shirt hitam yang bagian depannya dihiasi motif grafiti dan rompi denim berwarna hijau tosca. Seorang seniman yang ingin menegaskan eksistensinya di antara rekan sejawat, pikirku. 

Mataku beranjak ke sebelah kanan pria yang seperti seniman itu. Seorang pria muda yang mengenakan tracksuit dengan ekspresi penuh vitalitas, seolah tidak mengenal apa itu rasa lelah. Hanya dengan melihat sekilas saja, sudah jelas bahwa dia guru olahraga. 

Di sebelah kanan beliau, seorang wanita berkacamata tebal dan tampak serius memicingkan mata menatapku. Dia berkali-kali membetulkan posisi kacamata dan memajukan kepala untuk melihatku dengan lebih jelas; ciri seseorang dengan rasa ingin tahu yang besar namun penuh perhitungan. 

Pria yang memakai baju batik di sebelah kanan guru wanita berkacamata tebal adalah seorang pria dengan aura berwibawa yang mengingatkanku pada seorang punggawa kerajaan yang pernah kulihat saat berwisata ke salah satu Keraton di Yogya. Beliau menganggukkan kepala dan tersenyum ramah ketika mata kami bertemu. 

Akhirnya guru terakhir yang berdiri di posisi paling kiri, seorang wanita bertubuh tinggi dan berkulit putih. Rambutnya yang coklat terang diikat gaya ekor kuda. Beliau memakai kemeja putih yang setengah bagian bawahnya dimasukkan ke dalam celana. Lipstik merah terang menghiasi bibir beliau, mengingatkanku akan seorang penyanyi country muda dari Amerika. 

"Perkenalkan guru baru kita, Ms. Levita Natsir, yang akan mengajar ilmu sosial. Ms. Levita, mari saya perkenalkan guru-guru kebanggaan Aster Biru, dari ujung kanan sampai ujung kiri." Bapak Wodin mulai memperkenalkan para guru Aster Biru.

"Paling ujung kanan, Ms. Levita pasti sudah tahu. Beliau Wakil Kepala Sekolah, Bapak Markus. Lalu Bu Frida, guru BK; Mr. Kevin Supriadi, guru kesenian; Mr. Teguh Alfianto, guru olahraga; Ms. Rowana Ranskova, guru matematika; Mr. Aslan Kuncoro, guru Bahasa Indonesia; dan terakhir Ms. Emma Lasmini Kuncoro, guru Bahasa Inggris yang juga istri Mr. Aslan." Perkenalan kemudian diakhiri dengan saling memberi salam a la Aster Biru sebelum Pak Wodin mengarahkanku ke sebuah kursi di sebelah Ms. Emma.

"Ini meja dan laptop kerja Ms. Natsir. Silahkan dibaca file-file yang ada di sana. Sebentar lagi jam pelajaran dimulai dan semua guru akan sibuk. Saya sendiri akan kembali ke ruangan saya untuk mengerjakan sesuatu. Anda boleh melakukan apa saja yang menurut Anda perlu; anggap saja kesempatan untuk lebih membiasakan diri dengan lingkungan kerja baru. Kita akan bertemu lagi di jam makan siang," Pak Wodin berkata nyaris bersamaan dengan berbunyinya bel tanda masuk. 

Semua guru langsung menuju kelas mereka, meninggalkanku sendiri di ruang guru yang luar biasa megah ini. 

            Aku mulai berjalan mengelilingi ruang guru dan mengamati buku-buku  yang tersusun rapi di rak. Semuanya terlihat dalam kondisi baik seolah baru saja keluar dari percetakan.  Sebuah buku hijau tosca dengan cepat menyita perhatianku. Sejarah Kota Lorin tertulis di bagian depannya, beserta nama sang penulis: William Oktavian Dinarya. Entah karena buku ini ternyata ditulis oleh Pak Wodin atau aku memang menyukai apapun yang berbau sejarah, tak butuh waktu lama bagiku untuk mulai membaca isinya.

Halaman pertama berisi foto tampak atas sebuah kota besar disertai berbagai nama tempat dan informasi penting terkait lokasi tersebut. SMU Aster Biru berada tepat di bagian tengah kota. Jembatan Pelangi yang tadi pagi kulewati berada di dekatnya. Kulihat secara menyeluruh foto yang menarik ini. Kota Lorin yang tertata rapi dan setiap bangunannya mencerminkan nilai arsitektur yang tinggi membuatku berpikir bahwa ada peradaban tinggi berada sangat dekat sekaligus sangat jauh; dekat karena sekarang aku adalah bagian dari peradaban ini sekaligus jauh karena aku tidak sepenuhnya akan berada di sini. 

Halaman selanjutnya menampilkan foto sebuah hutan. Kubaca sekilas bahwa di dalamnya ada berbagai macam pohon, namun tidak ada binatang buas. Letaknya sendiri berada dekat sekali dengan SMU Aster Biru. Hutan di tengah kota? Menarik sekali. 

 Beberapa foto yang sepertinya bangunan sekolah lain juga berada tidak jauh dari Aster Biru. Lalu ada pasar, rumah sakit, mall, taman bermain, pusat kerajinan dan penempaan besi, area industri berat, bahkan sebuah stasiun televisi dan pusat percetakan surat kabar. Seperti apa tempat-tempat yang ada di buku ini? Bisakah aku kesana?

            Masih ada lumayan banyak waktu sebelum jam makan siang tiba. Sepertinya melihat-lihat keadaan di sekitar Aster Biru adalah pilihan yang tepat untuk dilakukan sekarang. Tempat-tempat yang kulihat di foto juga tampaknya tidak terlalu jauh. Sambil menunggu waktu pertemuan kembali dengan Pak Wodin, aku akan sedikit menjelajahi wilayah sekitar. 

 Dua Siberian Husky yang kulihat tadi pagi masih terikat di dekat gerbang depan saat aku tiba disana. Mereka mondar mandir seperti mengawasi sekitar. Apakah aman melewati mereka? Oh, mereka terantai dengan baik. Sambil memberanikan diri, aku melangkah sewajar mungkin untuk tidak menarik perhatian. Gerbang terbuka secara otomatis ketika aku mencapai radius sekitar lima meter dan, setelah melirik sekilas pada sepasang anjing gagah namun menyeramkan yang masih tampak waspada, aku melangkah keluar wilayah Aster Biru di bawah sorotan sinar matahari pagi yang hangat. 

            Seperti yang tergambar di peta, Jembatan Pelangi berada tidak jauh dari gerbang. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak di atasnya sambil menikmati udara segar. Sungai yang sangat jernih mengalir di bawah jembatan ini. Permukaan air yang begitu bening membuatku bisa melihat ikan-ikan yang berenang dengan sangat mudah. Wah, lain kali aku harus membawa alat pancing sepertinya. 

            Perjalanan menyusuri Jembatan Pelangi membawaku tiba di jalan beraspal bercabang dua. Salah satunya menuju luar wilayah sekolah dan memasuki jalan besar, yang satunya menuju ke sebuah jalan setapak yang di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon rindang, bagaikan sebuah hutan kecil. Rasa penasaran akhirnya membuatku menyusuri jalan setapak yang ternyata cukup panjang itu.

            Di kejauhan, sebuah bangunan megah bercat perak dengan menara bata merah tiba-tiba muncul di hadapanku. Sepertinya salah satu sekolah lain yang sebelumnya kulihat di buku Pak Wodin. Aku baru saja akan melangkah mendekati bangunan itu ketika angin mulai berhembus kencang dan langit berubah gelap pertanda hujan deras yang akan segera turun. Sekarang aku dihadapkan pada dua pilihan; mendekat atau kembali ke Aster Biru?