webnovel

Father of The Wolf

Awan hitam yang terus menggumpal akhirnya memuntahkan hujan, menghantam bumi bagaikan ribuan anak panah dengan diriku sebagai sasaran hidup. Aneh sekali memang. Bagaimana bisa cuaca yang tadinya sangat cerah tiba-tiba berubah menjadi hujan lebat? Sudahlah, itu bisa kupikirkan nanti. Tanpa payung atau mantel hujan, mencari tempat berteduh adalah satu-satunya pilihan. Beruntunglah aku sedang berada di hutan yang dipenuhi pohon besar. 

Aku segera berlindung di bawah salah satu pohon sambil menggigil kedinginan. Sekujur tubuhku basah kuyup, namun setidaknya sekarang aku dinaungi atap alami. Hanya tinggal menunggu kapan hujan ini…

BLARRRR!!!

Jantungku serasa mau copot saat sambaran petir yang memekakkan telinga menghantam bagian atas pohon tempatku berlindung. Pandanganku dipenuhi cahaya putih menyilaukan dan nafasku sesak. Rasa panik dan takut menyusul dengan cepat, membuatku mengabaikan logika dan bertindak mengikuti naluri. Aku berlari secepat mungkin, meninggalkan pohon yang perlahan-lahan mulai terbakar. 

Berlari di tengah hujan lebat dalam keadaan nyaris tak bisa melihat apapun adalah sesuatu yang sangat ceroboh. Itulah kenapa aku tidak sempat menghindar saat sebuah sosok seolah muncul begitu saja dihadapanku. Kami bertabrakan dengan cukup keras dan aku berakhir di tanah dalam posisi terduduk. 

"Maafkan saya! Saya tidak melihat…"

Tenggorokanku tercekat saat akhirnya bisa melihat lebih jelas sosok yang kutabrak. Bukan hanya karena dia masih berdiri, namun ekspresinya membuat darahku seolah membeku. 

Seorang pemuda yang mengenakan mantel hujan hitam menatapku tanpa berkata apa-apa. Tatapannya terasa dingin menusuk, namun bukan kemarahan yang kulihat disitu. Dia menatapku bagaikan...bagaikan…seekor serigala yang sedang mengamati mangsanya.

Kilatan petir menggelegar beberapa saat kemudian seolah membenarkan apa yang kupikirkan. Seekor serigala besar berdiri di tempat pemuda itu walau hanya sepersekian detik. Jantungku berdegup kencang, mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Tapi pemuda itu hanya meninggalkanku begitu saja tanpa membantuku berdiri ataupun meminta maaf. Setelah dia akhirnya menghilang dari pandangan, kupaksakan untuk berdiri sendiri sebelum mulai mengatur pernafasan untuk mengembalikan ketenanganku. 

Apa yang baru saja kulihat??!!!  Seorang pemuda? Seekor serigala? Serigala jadi-jadian???!!! 

            Aku masih memikirkan pertemuan dengan si pemuda misterius sebelum akhirnya menyadari bahwa, hanya beberapa meter dari tempatku berada, ada sebuah gerbang merah yang nyaris serupa dengan pintu masuk Aster Biru. Siapa sangka kepanikan tadi malah membawaku tepat di depan bangunan sekolah bermenara bata merah yang menjadi tujuan awalku. Hanya saja, setelah mempertimbangkan apa yang baru saja kulewati, kembali ke Aster Biru sepertinya adalah keputusan yang lebih tepat. Hujan yang tadi begitu lebat pun telah berhenti begitu saja. Cuaca aneh, nyaris tersambar petir, diakhiri dengan bertemu sesuatu yang mengerikan. Penjelajahan hari ini cukup sampai disini saja. 

            Baru saja aku akan melangkah pergi, terdengar suara pintu gerbang di belakangku yang perlahan terbuka. Aku yakin tidak ada seorangpun sebelumnya, namun kini kudengar langkah seseorang mendekat. Aku menoleh untuk melihat sang pemilik langkah. Di sana, tepat beberapa meter dari tempatku berdiri, terlihat seorang pria dewasa bertubuh kurus dan tinggi. Rambut hitam sebahunya disisir rapi ke belakang dengan polesan pomade yang membuatnya bersinar. Dia mengenakan setelan rapi berwarna hitam lengkap dengan dasi.  Matanya menatapku tanpa berkedip dan sebuah seringai licik terbentuk di wajah kurusnya. Seringai yang mampu membuat siapapun merasa terintimidasi.

            Kuputar tubuhku untuk menghadap ke arah pria yang seringainya membuatku bergidik itu.

            "Eh, selamat…pagiiii," Pria itu membungkuk memberi salam mirip dengan yang dilakukan Aster Biru. Lalu secara tidak terduga, dia menengadahkan kepalanya dan menyeringai lagi. Hampir saja aku refleks meninju wajah licik itu. Demi kesopanan, aku pun membalas salamnya.

            Pria itu lalu berjalan mengelilingiku, seperti sedang membaca diriku. Sungguh tidak nyaman rasanya, tapi anehnya aku tidak bisa bergerak.

            "Hendak kemana Anda, Nona? Sepertinya Anda bukan dari sini. Tersesat?" Pria itu mulai berbicara.

            Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Saya dari sekolah sebelah. Sepertinya saya harus kembali. Permisi."

            Pria itu menghalangi jalanku dan berkata dengan nada mencibir. "Oooh, SMU AS-TER BI-RU, milik Wodin, hah?"

            Ada masalah apa dengan pria ini? Kenapa sinis sekali? Lalu dia menyebut Pak Wodin dengan sebutan Wodin saja. Aku tidak menjawab pertanyaan retorisnya.

            "Hmmm, menarik sekali. Guru baru dari luar Lorin. Apa kau tahu seperti apa SMU Aster Biru itu, Nona?" lanjutnya, masih dengan nada bicara dan seringai menyebalkan. 

            "Tentu saja. Bagaimana mungkin saya memutuskan untuk mengajar di SMU Aster Biru kalau tidak tahu seperti apa sekolah itu?" balasku walaupun sebenarnya bingung dengan apa yang dia maksud. 

            "Aaaah, yakin? Sudah berapa lama Anda berada di Aster Biru?" 

Kenapa setiap selesai berbicara, dia harus menyeringai sih? Dasar psycho. 

            "Maksud Anda?" tanyaku tidak sabar. 

            "Anda tahu tentang sihir di sana? Ya, sihir. Anda tahu lah...hal-hal yang terkait dengan magic? Atau masih perlu saya perjelas lagi agar Anda bisa paham, hmmm?"

            Walau sudah dihina terang-terangan, aku tak bisa membalas kata-katanya. 

            "Anda tidak tahu apa yang ada di sana, Nona. Ketidaktahuan adalah awal dari malapetaka. Datanglah ke sekolah ini jika suatu saat Anda butuh bantuan. Ingatlah nama saya, Raden Mas Lukman Oemar Kurniawan dari Bara Salju," ujarnya sebelum berbalik dan berjalan menuju gerbang merah. 

Saat kukira urusanku dengan pria bernama Lukman ini akhirnya selesai, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan tertawa. 

"Pemuda yang Anda temui tadi adalah putra sulung saya. Semoga dia memberi kesan pertama yang baik."

 Setelah menyeringai untuk terakhir kalinya, dia pun kembali berjalan sebelum menghilang di balik gerbang yang menutup. 

            Apa yang dia bicarakan tadi? Sihir? Keselamatanku? Pemuda barusan adalah anaknya? Apa aku salah mengambil keputusan untuk mengajar di Aster Biru? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalaku seketika. Aku harus segera kembali dan meminta penjelasan dari Pak Wodin mengenai hal ini. Jika memang ada sesuatu yang membahayakanku, lebih baik aku pergi dan tak pernah kembali lagi. 

         Perjalanan kembali ke Aster Biru boleh dibilang berlalu tanpa insiden, kecuali hujan yang kembali turun tanpa peringatan. Benar-benar cuaca yang luar biasa menyenangkan… 

***

   Pak Wodin ternyata sudah menungguku di depan gerbang Aster Biru. Wajahnya terlihat cemas saat dia menghampiriku. Entah apa yang akan dia katakan setelah melihat penampilanku yang acak-acakan, tapi aku tak peduli. Aku butuh jawaban. 

            "Ms. Levita, Anda….Anda dari….," tatapan Pak Wodin beralih dariku ke arah hutan hujan. Pasti dia tahu kemana aku pergi barusan. 

            "Dengar, Ms. Levita. Anda tahu betapa berbahaya….pergi tanpa memberitahu seorangpun?" Pak Wodin berkata dengan tegas, walau aku bisa mendengar kecemasan pada suaranya. 

            "Maaf, Pak Wodin. Saya hanya ingin melihat sekitar, tidak tahu akan berbahaya. Selain itu, saya juga punya banyak pertanyaan yang…"

            "Mari saya antar ke ruang seragam. Di sana ada seragam guru wanita yang biasanya dipakai untuk acara khusus," potong Pak Wodin. "Kita bisa bicara setelah Anda ganti baju dan beristirahat." 

Sebenarnya aku sedikit kesal karena ingin mendapatkan jawaban secepat mungkin. Namun aku bisa menahan diri dan hanya mengangguk sebelum mengikuti Pak Wodin. 

            Ruang penyimpanan seragam guru SMU Aster Biru terasa sangat luas seperti di dalam sebuah butik. Di dalamnya ada 4 buah lemari kaca yang memperlihatkan seragam guru Aster Biru. Masing-masing lemari memiliki label bertulisan Tirsdagr, Odensdagr, Thorsdagr dan Friadagr. Setelah memilih seragam berukuran pas berwarna merah maroon dari Friadagr, aku tak membuang waktu dan bergegas menemui Pak Wodin. 

Ada segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban, dan aku paling tidak suka dibohongi…