webnovel

06

Nial sudah selesai menata warna. Ia mulai menajamkan warna putih di bagian atas dan hijau di bagian bawah. Gambarnya tak jauh berbeda dari anak-anak usianya. Tidak begitu bagus namun juga tidak begitu buruk. Ia mulai menggambar di atas buku gambar yang tidak begitu besar hanya seukuran penggaris dengan lebar dua puluh lima senti. Ia memangku buku gambar dan sesekali ia memindahkan buku itu tatkala kailnya bergerak-gerak. Ia melakukan itu berkali-kali tanpa kerepotan, kakek Zul memandangi Nial dan mengutarakan rasa penasarannya.

“Kamu suka menggambar?” Tanya kakek Zul. Nial menoleh setelah ia melempar umpan baru kemudian mengangguk.

“Iya kek. Nial suka sekali menggambar, meskipun tidak begitu bagus. Nial suka menggambar sejak masih berada di Taman kanak-kanak.” Jawab Nial sambil melanjutkan gambarnya. Nial menggambar danau yang berada di depannya. Berlanjut pada pohon-pohon di seberang sekaligus pemandangan orang-orang yang memancing di sekitar danau. Hanya ada beberapa orang yang ikut tergambar di bagian paling bawah. Itu bukan Nial, tapi beberapa orang laki-laki bujang yang duduk tak jauh darinya. Ia menggambar mereka secara spesifik, api unggun untuk membakar ikan. Karpet untuk menyantap hasil tangkapan yang sudah matang beberapa jenis makanan lain yang berada di atasnya. Dan tak lupa pula ia melukis laki-laki yang memancing, menghidupkan rokok di mulutnya dan juga beberapa orang lain yang duduk di sisi api unggun. Gambar itu tidak begitu jelas, tapi cukup di mengerti maknanya.

“Kakek senang melihat gambar-gambar dan lukisan tapi kakek tidak pernah bisa memiliki bakat di sana.” Ungkap kakek Zul sambil menatap Nial. Nial masih sibuk mewarnai gambar, tapi pancing mengalihkan perhatiannya. Ia segera menarik pancing dan mendapatkan ikan sedang, ia memasukkan ikan itu ke dalam ember dan kembali menyelesaikan gambarnya. Hanya perlu sedikit tambahan lagi warna untuk menciptakan gambar yang menarik di sana.

“Apa kakek sudah mencobanya?” Tanya Nial. Kakek menggeleng dan tertawa.

“Tidak Ni, kakek tidak pernah memiliki keberanian untuk mencoba.” Jawab kakek Zul. Membuat Nial menatap kakek dan ikut tertawa ringan sebentar. Nial menyelesaikan gambarnya dan mengembalikan buku serta peralatan menggambarnya ke dalam tas.

“Dulu kakek adalah orang yang pemalu. Banyak mengagumi hal-hal tanpa pernah mencobanya.” Sambungnya lagi.

“Tapi, kakek terlihat berbeda hari ini. Sepertinya bertolak belakang dengan kakek yang dulu.” Jawab Nial.

“Oh itu, berbeda cerita lagi Ni” Jawab kakek Zul cepat. Benar juga apa yang Nial katakan penampilan dan masa lalu mungkin memang bisa berbeda. Akan lebih seru jika kakek Zul mau bercerita tentang itu. Tapi Nial tidak ingin bertanya meskipun ia penasaran dengan kisah di balik itu.

“Mungkin kau akan tau nanti” Sambungnya lagi. Nial jadi penasaran dan semakin penasaran. Ia memberanikan diri untuk bertanya mengapa hal itu mungkin terjadi.

“Bagaimana caranya kek?” Tanya Nial cepat. Kakek Zul terdiam sejenak, ia menarik pancing membiarkan udara hening sesaat. Nial jadi ikut terdiam dan meletakkan ikan hasil tangkapannya di dalam ember. Ia jadi takut salah bicara atau mungkin ia salah bertanya.

“Itu masalah orang dewasa. Kau akan melakukan segalanya demi uang, ketika kau dewasa nanti kau pasti mengerti” Kakek Zul melemparkan umpan lagi. Kalimat itu terdengar menyakitkan di hati Nial, ia belum mengerti banyak soal permasalahan orang dewasa. Kalimat Kakek Zul barusan membuatnya termenung beberapa saat. Tapi kail miliknya bergerak-gerak membuat dirinya kembali sadar dari lamunan ia juga teringat untuk membawakan ibu makan siang. Ia bergegas menarik pancing serta hendak izin berpamitan pada kakek Zul untuk menyelesaikan acara memancingnya sejenak. Nial menjelaskan beberapa kalimat cukup panjang membuat kakek Zul mengangguk pertanda mengiyakan.

“Nial pamit sebentar kek” Nial kemudian membawa tas gendong miliknya dan berlari secepat yang ia bisa. Kali ini ia bisa berlari cukup cepat tanpa khawatir ada pecahan kaca yang terinjak. Sandal pemberian Kakek Zul benar-benar elastis dan nyaman di pakai, sayangnya Zul tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan harganya. Ia terburu-buru untuk segera tiba di rumah dan menyiapkan makanan untuk ibu.

Ayah kembali menyapa Nial saat ia menginjakkan kaki di ruang tengah. Ayah seolah sudah hafal irama langkah kaki Nial, ia selalu menyapa Nial dengan kata-kata yang sama.

“Kamu sudah datang Ni!” Suara ayah terdengar lantang dari ruang tengah. Nial mengangguk menghampiri ayah dengan senyuman lebar sambil mengeluarkan hasil menggambarnya di danau tadi. Ayah memujinya habis-habisan membuat Nial mendekat ke arahnya mendengarkan semua pujian itu. Nial memeluk ayah dan berkata ia menyayanginya dan tak lupa pula ia berdoa untuk kesembuhan ayahnya. Momen ini membuat Nial semakin yakin untuk membahagiakan orang tuanya. Apa pun yang ia miliki hari ini belum tentu akan ada lagi besok pagi.

“Nial belum selesai memancing Yah, Nial hanya ingin mengantar makan siang ibu.” Jelasnya. Ia mengembangkan senyum sambil beranjak dari ruang tengah menuju lesehan tempat mereka biasanya makan. Ia mulai memasukkan lauk dan juga beberapa ikan yang ada. Ia mengencangkan dua pengait rantang di kanan dan kiri agar pengemasan lebih aman. Ia memasukkan semua nasi yang tersisa, ia berinisiatif untuk memasak nasi lagi sebelum berangkat. Tapi urung, beras yang berada di dalam karung kecil itu sudah habis. Ia kemudian bergegas menuju tempat kerja ibu setelah semuanya siap.

Nial berlari lagi seperti sebelumnya. Kali ini ia bisa berlari lebih cepat dari biasanya karena ia tidak lagi mencemaskan kerikil tajam yang akan menghantam kakinya ketika ia berlari. Terik matahari begitu menyengat permukaan kulit Nial, tapi itu sudah sangat biasa baginya. Yah terlalu biasa bahkan ia masih bisa menengadahkan wajah untuk sekedar menghibur diri selama perjalanan.

Nial juga menyapa beberapa orang yang ia temui sepanjang jalan. Ia beberapa kali bertemu tetangganya yang baru pulang dari pasar setelah berbelanja. Ia juga menyapa beberapa orang yang baru pulang dari kebun dan mengembala. Mereka pulang untuk makan siang sebelum berangkat lagi menuju kebun masing-masing. Berhubung kampung Nial yang masih sangat hijau, sawah-sawah dan ladang rumput berjarak tak jauh dari rumahnya. Suara kambing terdengar sepanjang jalan, bebek-bebek yang berada dalam kandang seolah menyapa Nial yang berlari-lari dengan genggaman yang kuat pada gagang rantang.

Setelah lama berlarian, ia tiba pada pintu proyek tempat ibunya bekerja. Tepat ketika ia tiba di sana, para pekerja masih aktif bekerja karena masih belum waktu istirahat. Nial menjauh dari kerumunan orang-orang yang bekerja dengan serius. Ia harus melewati mereka dengan hati-hati, ia takut orang-orang itu akan mengusirnya saat tahu ia di sana. Tentu saja alasannya karena ia masih kecil dan tidak di perbolehkan untuk ke sana pada jam aktif kerja demi menghindari terjadinya kecelakaan. Nial berpindah tempat dari satu ke tempat lainnya. Sedikit mengendap-endap, agar tidak mengalihkan aktivitas mereka.

Suara mesin pencampur, dan tenaga listrik yang saling bersahutan membuat perhatian orang-orang itu terfokus pada pekerjaan. Nial melihat para pekerja itu menggunakan warna kuning sebagai topi mereka. Nial baru tahu hari ini, topi mereka keren-keren dan senada antara satu dengan lainnya.

Ternyata tidak, Nial melihat banyak warna topi di sini. Nial melihatnya seperti pelangi dan itu terlihat lucu untuk anak seusianya. Beralih pada tempat yang lain ada warna baru yang ia lihat, ia hampir lupa untuk segera menemui ibu. Ia berlari kecil sedikit lagi. Suara-suara bising itu sedikit mengganggu pendengaran.

Nial hanya fokus pada jalan dan pergi menuju tempat penataan bata, di bagian samping bangunan. Ia menemukan ibunya di sana, ia kemudian menghampirinya dan memberikan rantang yang sama seperti kemarin dengan terburu-buru.

“Mengapa kau datang lebih awal?” Tanya ibu sambil memperhatikan sekitar ia juga takut ada seseorang yang melihat Nial di sana pada jam kerja. Ia kemudian menerima rantang itu dengan cepat mencoba berhati-hati dan menyuruh Nial berdiri di samping tumpukan bata-bata agar tidak terlihat.

“Nial terburu-buru pulang dari danau dan langsung kemari. Takut ibu sudah istirahat ternyata masih belum. Tapi sepertinya sebentar lagi sudah waktunya istirahat Bu” Jawab Nial. Sebagai jawabannya ibu mengangguk masih was-was pada sekitar.

“Hari ini ada bos di sini, Ni. Jadi kau bisa pulang secepat...” Perkataan ibu terpotong. Pada saat yang bersamaan ada suara dehem dari samping ibu. Nial dan ibu jadi sangat takut sekali, Nial merasa kakinya dingin. Ibu berpaling seketika sambil berdiri menutupi Nial, ia menata bata agar mengalihkan pandangan seseorang itu.

“Aku melihatmu sendirian. Tapi mrngapa kamu berbicara?” Suara itu milik laki-laki bertubuh tinggi dan kulit coklat muda. Ia mengenakan topi proyek khusus di kepalanya dengan warna yang berbeda.