webnovel

07

Suara itu mengagetkan keduanya, ibu mencoba tenang mendengar pertanyaan dari laki-laki yang kini menatapnya penuh tanya. Dengan segala keberanian ibu mulai menatap sang pemilik suara dan hendak menjawab, berharap besar bisa menjawab pertanyaan itu. Nial masih terdiam di tempatnya, tak bergeming melihat ibu yang tengah menenangkan diri.

“Maaf pak bos, saya hanya berbicara dengan bata-bata ini. Saya agak kesulitan menata bata-bata ini, sebagai gantinya saya mengatakan hal-hal menyenangkan agar bisa menghibur diri.” Nial mengerti apa yang ibu pikirkan. Antara gelisah takut dan bingung, semuanya pasti ada dalam diri ibunya. Dan yang pasti, ibu telah berpikir keras bagaimana memikirkan cara agar Nial tidak di ketahui oleh laki-laki yang memakai topi safety berwarna putih tersebut. Entah jawaban itu terdengar memalukan atau pun tidak masuk akal, ibu sudah tidak peduli.

“Oh, kau terlalu bersemangat. Sampai bata diam pun kau ajak bicara. Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu semoga harimu selalu bagus” Ungkap laki-laki itu dan pergi meninggalkan ibu dan Nial. Ibu segera berbisik pada Nial sebagai arahan agar ia bisa pergi.

“Kau bisa lewat jalan di balik pagar ini. Hati-hati! Jalan ini lumayan beresiko, dan banyak kotoran sapi juga di sini, tapi ibu sangat yakin di sana jauh dari para pengawas pekerja.” Ujar ibu yang kemudian di setujui oleh Nial. Tanpa basa-basi lagi Nial berlari lagi menuju batas pagar ia melewati apa yang ibunya katakan.

Nial kira kotoran sapi itu tidak sebanyak yang ada dalam pikirannya. Kotoran sapi baru hingga yang sudah kadaluwarsa pun ada di sana. Nial menutup hidungnya berharap ia tidak menghirup bau busuk itu lebih banyak. Untung sekali kakek Zul memberikan ia hadiah sandal itu kemarin, sehingga ia bisa terhindar dari kotoran yang sangat memuakkan itu.

Melewati jalan penuh kotoran sapi sejauh tiga puluh meter bukanlah hal yang mudah. Begitulah yang Nial rasakan saat ia tiba di tengah perjalanan. Hampir saja ia menyerah karena tidak kuat dengan bau serasa mencekik tenggorokan itu. Nial akhirnya tiba di batas pagar, ia terengah-engah mengambil nafas besar untuk memberikan akses udara dalam jantungnya. Ia benar-benar hampir pingsan di jika tidak segera berada di batas pagar ini. Ia segera berlari meninggalkan pagar itu dan bertemu dengan sekian banyak sapi-sapi perah.

Nial terlihat bingung bukan main jika tadi kotorannya yang ia lewati, maka yang ia lihat sekarang adalah si pembuat kotoran. Ia melihat seorang petugas dengan baju khusus masuk ke tempat kotoran sapi itu, Nial mual melihatnya. Tapi orang itu pasti tidak akan merasakan apa yang ia rasakan, tentu saja karena ia memakai baju khusus. Sialnya, Nial hanya memakai baju main dan sandal jepit kulit pemberian kakek Zul. Tanpa kacamata, tidak! Jangankan kacamata topi khusus saja tidak ia gunakan untuk menolak bau busuk yang menyengat itu yang jika di ingat lagi membuatnya mual seketika.

Sapi-sapi itu di perah satu persatu. Nial melihat banyak pekerja sedang memerah sapi-sapi itu, mereka ikut menatapnya bingung karena ia keluar dari tempat pengumpulan kotoran sapi. Merasa penasaran salah satu di antara mereka akhirnya bertanya pada Nial.

“Hei bocah! Sedang apa di sini? Apa kamu mau mencuri air perahan susu kami?” Tuduh salah seorang di antara mereka. Pekerja yang berada di sampingnya ikut menuduh Nial seolah ia seorang pencuri. Nial menggeleng cepat, ia harus membela diri agar mereka tidak salah paham. Yang mereka tuduhkan tidaklah benar, ia hanya menumpang lewat dari tempat kotoran sapi itu. Bukan ingin mencuri!

“Tidak. Aku hanya numpang lewat” Jawab Nial polos. Pekerja itu masih tidak percaya ia semakin menjadi-jadi menuduh Nial.

“Sudah, jangan banyak alasan. Akhir-akhir ini susu perahan kami memang sering hilang, pasti ada penyusup yang datang ke sini.” Ungkap salah satu pekerja.

“Benar. Kami selalu mengawasi setiap yang datang dan pergi. Tidak ada yang pernah datang dari pintu belakang kecuali ia masuk mengendap-endap dan penyusup.” Jawab yang lain.

“Tidak. Sungguh pak! Saya bukan maling, saya hanya numpang lewat.” Bela Nial.

“Aku tidak percaya. Ayo ikut kami! Kau harus bertemu bos besar agar di hukum sebagaimana mestinya” Bantah pekerja yang kini sudah menarik tangannya. Nial sangat takut dan tidak bisa melawan, tubuh mereka jelas lebih kuat. Urat-urat tangan kekar mereka menarik paksa Nial yang kini hanya menurut, ia tertunduk pasrah.

Sebuah bangun kecil di bagian pojok paling depan berwarna coklat muda terlihat setelah berjalan sepuluh meter. Kaki-kaki panjang itu mengambil langkah besar-besar membuat Nial berlari kecil agar tangannya tidak begitu sakit. Mereka memaksa Nial masuk dan duduk di depan bos mereka. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan itu mengalihkan perhatiannya dari layar monitor, sambil membetulkan kacamatanya ia menatap Nial kemudian melepas kacamata itu.

“Dia telah mencuri susu perahan sapi kami pak!” Seru salah seorang yang sedari tadi menggenggam tangan Nial kasar. Nial menahan rasa kesalnya karena tuduhan itu tidaklah benar adanya, Nial benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa tapi ia harus membela dirinya.

“Tidak pak, dia telah menuduh saya!” Seru Nial dengan nada yang cukup tegas. Ia harus membela diri bagaimanapun caranya, ia tidak bersalah dan ia harus membuktikannya.

“Apakah kau benar-benar mencuri susu perahan mereka anak kecil?” Tanya bos itu lebih pelan dari para pekerja itu. Nial menggeleng cepat sebagai jawaban dari apa yang terjadi di antara mereka.

“Dia bohong bos, coba kau lihat penampilannya itu. Sudah sangat jelas dia memiliki tampang seorang pencuri.” Ungkap yang lain.

“Lagi pula bos, tidak ada orang yang bisa lewat belakang di tempat pembuangan kotoran sapi, kecuali mereka yang memiliki niat macam-macam” Tambah yang lain.

“Aku memang orang miskin, tapi aku bukan maling!” Sanggah Nial dengan nada tinggi. Kalimat Nial sangat dalam menyentuh hati orang yang punya hati dan rasa belas kasihan di hatinya. Kalimat yang bahkan orang dewasa tidak mampu memaknai arti butuh dan nafsu. Tentang kebutuhan yang menuntut dan mengorbankan keyakinan hanya karena nafsu. Pembelaan yang memang harusnya di buat, untuk membela diri dan mengembalikan martabat diri.

Pekerja itu geram dengan jawaban Nial, ia tidak mengerti bahasa lembut anak sekecil Nial. mereka hendak memukul Nial, tapi tangan mereka tertahan oleh kalimat pak bos yang kini menatap mereka berdua dengan tegas.

“Berhenti! Kalian ini seperti bukan manusia saja. Pertama, telah menuduh seorang anak kecil dengan tuduhan yang belum terbukti kebenarannya. Kedua, kalian ingin menghakimi sesuatu yang menurut kalian telah salah, padahal kalian sadar ada aku yang lebih berhak untuk itu. Apa kalian sadar salah kalian di mana,?” Teriak pak bos itu dengan suara beratnya. Pekerja itu terdiam dan menundukkan kepala tanpa suara.

“Sekarang giliranku bertanya, apakah kau benar-benar tidak mencuri anak kecil?” Tanya pak bos lagi. Nial sekali lagi mengangguk menatap mata pak bos itu dengan tatapan pasti dan meyakinkan. Pak bos kemudian mengangguk.

“Apa buktinya jika kau tidak mencuri?” Tanya pak bos lagi. Nial seketika mendekatkan diri pada pak bos itu.

“Kau tatap mataku dan kau periksa seluruh badan dan bajuku. Kau lebih tahu dariku tentang soal curi mencuri kau sudah lama menjadi pengawas di sini. Kau juga pasti sudah sangat berpengalaman dalam hal menyelidiki, bukan? Jadi silahkan kau cari apa yang mendekatkan aku pada tuduhan mereka ini, pak” Sahut Nial mengepalkan tangan kanannya. Pak bos menatap Nial dan memeriksa saku celana milik Nial.

Pak bos yakin Nial bukan pencuri, ia pernah melihat Nial di ujung jalan sambil membawa rantang ia mengerti mengapa anak kecil ini berada di belakang. Ia memang cukup pengalaman dalam mengamati orang. Sekarang, bukan itu yang ia pikirkan banyak hal yang ia rasakan saat lebih dekat dengan Nial.

Baju lusuh yang sudah berubah warna. Celana dalam pendek selutut yang juga tak kalah usang, ada jahitan di mana-mana. Tubuh kecil dengan warna sawo matang itu menandakan bahwa ia sering berada di bawah terik matahari.

“Aku memaafkan kesalahan kalian hari ini. Aku tidak ingin para pekerja menuduh orang lain yang tidak-tidak lagi, apalagi anak kecil. Kalian bisa melanjutkan pekerjaan, aku yakin kalian mengerti kalimatku barusan.” Tambah pak bos. Para pekerja itu mengangguk dan segera pergi dari ruangan menyisakan Nial dan pak bos itu.

Pak bos beranjak dari kursinya dan menyentuh bahu Nial dan menatap Nial lagi lebih lekat. Nial sedikit mundur dari tempatnya berdiri, ada rasa tidak nyaman dalam dirinya melihat tatapan itu.