webnovel

Chapter 8

Sosok itu gelisah.

Berbaring di kasur singel, remaja yang mengenakan piama, tidak berhenti mengubah posisi terus menerus. Memeluk guling, lalu membalik dan melepaskannya dengan kesal. Terlentang, merasa tidak nyaman, mengubah posisi menjadi meringkuk ke sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, remaja berhelai panjang itu akan mengubah posisi meringkuk ke sebelah kanan.

Tidak ada rasa kantuk. Hanya ada debaran yang terus meningkat tidak senada dengan detak jam yang bergerak dengan konstan. Desiran yang membuat perut tidak nyaman, kian membuat tidak nyaman. Hanya ada keheningan di tengah malam yang kian larut. Seluruh anggota keluarga di rumah bata itu seharusnya telah terlelap ke alam mimpi. Namun ya ampun, Corin Yudhistira tidak bertemu sama sekali.

Corin menyesal.

Sejujurnya, saya benar-benar menyesal kenapa begitu penurut dan pengecut. Ini masalah nyawa, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun pada kenyataannya, ia hanya bisa ... takut. Takut dan menurut. Mengikuti begitu saja pengaturan yang dibuat oleh teman sekelasnya.

Bukannya ia tidak berani melawan, Corin hanya ... hanya tidak bisa mengungkapkan pikirannya. Ketika mulutnya begitu saja mengatakan bahwa ia curiga, bahwa ia merasa Lin dan Edel sebenarnya berencana mengambil Kucingnya ... Corin, dengan ringan tangan, akan memberikan. Sejujurnya, ia tidak mengerti, tidak tahu dan tidak mau tahu apa pun tentang Penyihir ini. Bila bisa diselesaikan dengan cara yang lebih praktis dengan memberikan Kucing itu kepada mereka ... bukankah semua masalah akan selesai begitu saja?

Sayangnya, semua hal tidak sesederhana itu. Seperti kata Lin, ia masih terlalu naif dan bodoh ...

Kucing, adalah makhluk yang sangat setia. Mereka hanya akan setia kepada satu majikan seumur hidup mereka. Karenanya ... untuk menggantikan keterikatan, satu-satunya cara mengubah kepemilikan adalah dengan membunuh Majikan sebelumnya ...

Corin tidak mau mati. Tentu saja, siapa yang menginginkan kematian? Namun semangat Caroline yang terlalu aneh membuat remaja ini agak ... takut, tetapi juga merasa lega. Ia takut Caroline memiliki tujuan lain, tetapi juga merasa lega karena jelas, apa pun itu tujuan teman sekelasnya, tidak ada niatan membunuhnya.

Selama ia masih hidup, setidaknya, Corin masih bisa sedikit ... merasa lega.

Menatap sendu jam yang terus berdetak di dinding, sepasang netra menemukan bahwa sekarang menjelang tengah malam. Hampir jam 12 malam, hanya beberapa menit lagi kedua jarum pendek dan panjang akan bertemu. Memberitahukan bahwa sang malam, akan segera berada di puncaknya.

Melihat jam, membuat kegelisahan Corin kembali meningkat. Mendadak, ia kembali teringat dengan rencana ajaib yang dibuat Caroline Weish. Jantungnya langsung terasa mencelos, lalu berdebar dengan tidak tenang.

Menggigit bibir bawah dan meremas guling yang berada di tangan, Corin Yudhistira menyesal ... sungguh, ia benar-benar merasa menyesal.

.

.

.

"Rin, ini demi nyawamu sendiri. Mengerti? Kau dan Tanpa Nama akan ikut aku, Phoenix dan partnerku ke pesta istana yang akan diadakan hari Jumat. Artinya, tinggal 6 hari lagi—"

"Tapi—"

"Tidak ada tapi, ini masalah yang sangat penting," Caroline, tanpa ragu memotong. Entah bagaimana, kesabarannya sepertinya telah habis. "Nah, artinya kita tidak punya banyak waktu. 5 hari adalah jarak tempuh yang harus kita lalui untuk sampai ke Kastil, tetapi acara akan dimulai hari Jumat, ditambah medan perjalanan yang berat, jadi, bersiaplah malam ini."

"Bersiap ... bersiap bagaimana?" Corin linglung. Ucapan sulung Weish terlalu panjang dan tiba-tiba, ia perlu sedikit memproses. "Maksudmu ... malam ini kita pergi? Pergi ke ... ke pesta itu?"

Caroline mengangguk, senang karena temannya cukup pintar.

"Aku sudah mengaturnya. Dimulai dari malam ini, batas waktu maksimal kita hanya ada 7 hari, tidak bisa lebih karena itu adalah batas yang kita punya bila ingin segera kembali," ucap remaja blesteran itu. Namun, seolah menyadari sesuatu, Caroline kembali melanjutkan ucapannya. "Tidak perlu izin atau berbohong kepada orang tuamu, Rin, kita punya cara sendiri untuk menjemputmu. Prosesnya akan sangat mudah dan cepat, orang rumahmu tidak akan ada yang tahu kita pergi."

Tidak akan tahu bagaimana? Maksudmu, aku akan pergi secara diam-diam?

Namun Caroline jelas tidak memberikan temannya memikirkan apa pun kembali. Sepasang netra cokelat menatap ke arah pria jangkung yang mengenakan setelan formal.

"Phoenix," Gadis blesteran itu mengulurkan tangan ke arah Pria itu. Phoenix berjalan mendekat dan menyerahkan sebuah kalung. Bandulnya berwarna emas dan berbentuk Oval, seukuran telur burung puyuh. Namun, bidang datar itu ternyata memiliki angka melingkar, selayaknya sebuah jam kecil. Terdapat 3 jarum di dalamnya. Hitam, Merah dan Kuning. Anehnya, angka hanya dari 0 sampai 7.

"Ini adalah alat pemundur waktu. Batas maksimalnya hanya sampai 1 minggu. Dan, bila kita dapat melewatinya dalam waktu 1 minggu, maka kita akan segera kembali ke masa lalu di mana saat kita pergi. Kau mengerti? Jarum hitam pemulai waktu atau acuannya dan jarum merah penanda. Bila jarum merah ini mengenai jarum hitam, maka kita akan kembali ke masa lalu, jadi jangan khawatir."

Corin hanya diam, tidak merasa luar biasa sama sekali. Sebaliknya, ia semakin gelisah.

Alat ajaib yang bisa memundurkan waktu ... bisakah ia menggunakannya untuk kembali ke beberapa jam lalu? Sebelum ia dikutuk menjadi Penyihir dan memiliki Peliharaan? Sejujurnya Corin menyesal ... ia menyesal menolong kucing hitam ini, ia menyesal kenapa berjalan terburu-buru dan melihat kejadian itu. Sungguh, ia tidak tahu kenapa bisa begitu heroik sehingga mau menyelamatkan seekor kucing, tetapi yang pasti, Corin menyesal.

Bila ia tidak menyelamatkan kucing jejadian ini, semua hal berantakan ini tidak akan terjadi. Namun, seolah menjawab apa yang ada di pikirannya, gadis Weish kembali bersuara.

"Benda ini hanya bisa digunakan satu kali," ada senyuman kecil merekah di bibir gadis itu, tetapi sepasang iris menyendu, menggoreskan kesedihan. "Bayarannya sangat mahal ... ,"

Jeda beberapa detik. Seolah berbicara dengan dirinya sendiri, Caroline kembali sadar. Kesedihan itu menghilang, digantikan senyuman lembut yang biasa. Sepasang iris kembali menatap lawan bicaranya.

"Nah, Rin," nada ramah mengalun, Caroline terkekeh. "Jadi, jangan mengecewakanku."

Mengecewakan bagaimana?

Corin benar-benar tidak mengerti. Namun satu hal yang ia tahu ... temannya memang merencanakan sesuatu. Entah apa itu ... tetapi gadis blesteran ini seolah tengah menumpahkan semua harapannya ke pundaknya. Memikirkan hal ini, kembali, sulung Yudhistira dilanda gelisah yang terus menggerogoti hatinya.

Sungguh, tidak menolak? Mendengar semua hal-hal ajaib ini, membuatnya ingin berlari dan mengetahui. Menghindar, atau bahkan tidur dan menganggap semua ini adalah mimpi.

Sayangnya, semua ini nyata. Terlalu nyata hingga menjadi sangat ketakutan.