webnovel

Chapter 7

"Aku akan melindungi Nona!" gadis kecil dengan sepasang iris kelabu mendadak berteriak, melotot galak ke arah Edle. Suaranya yang melengking jelas memecahkan keheningan ruangan itu. "Aku tidak akan membiarkan satu pun Penyihir menyakiti Nona!"

Edle terkekeh mendengarnya. Ia tidak henti berekting menjadi sosok Antagonis. "Oh, benar. Kau akan melindungi Nonamu sampai kapan? Bahkan tanpa adanya Penyihir, Nonamu—“

"Edle," Carolin mengerutkan alis, memanggil nama adiknya dengan penuh peringatan. "Cukup."

"Kenapa?" bocah itu menatap kesal kakaknya. "Kau tidak mau menjelaskannya? Bukankah lebih baik dia tahu bahayanya? Setidaknya—“

"Apa lagi yang belum aku tahu?" Corin menyela. Tertawa miris saat mendengar apa yang bocah lelaki itu katakan. Nyawanya terancam. Banyak Penyihir akan ... mengincarnya. Menginginkan Gadis Kecil aneh ini. Menginginkan siluman yang bahkan tidak pernah ia inginkan.

"Lin .... ," Corin mencengkram erat seprai di bawahnya, sepasang netra menatap teman sekelas dengan kecewa. "Katakan, kenapa kau menolongku? Kenapa kalian menolongku? Apakah ... apakah karena kalian menginginkan kucingku?"

Gadis kecil itu langsung waspada begitu mendengarnya.

Edle melotot galak. "Siapa yang menginginkannya?" ujarnya kesal. "Kakakku sudah memiliki Phoenix—satu Penyihir cuma bisa punya satu Peliharaan! Dan aku, Edle Weish, tidak tertarik sama sekali dengan Kucing Lemahmu!"

"Aku tidak lemah!"

"Ya! Kau lemah!" Edle benar-benar marah kali ini. Tanpa ragu, sebuah api muncul di sekitarnya. Ia sudah cukup baik menolong nyawa seseorang, menjelaskan hal-hal kepadanya. Lalu sekarang, orang itu mencurigainya?! "Sangat lemah hingga aku ingin membunuhmu!"

"Edle!" Caroline tidak tahan lagi. Ia langsung menggerakkan jarinya dan semua api padam. Sepasang netra cokelat menatap tajam sosok yang lebih pendek. "Berhenti membuat masalah dan diamlah!"

"Masalah? Kakak! Kau menganggapku membuat masalah?!" ucapnya tidak percaya. "Aku membelamu! Dia menuduhmu punya niat jahat! Jelas-jelas kita menolong mereka, tetapi mereka MENUDUHMU—hm! MM!"

Edle bungkam. Tidak peduli sekeras apa pun ia ingin bersuara, bocah itu tidak bisa berteriak sama sekali. Bukan hanya suara, tubuh remaja itu bahkan tidak bisa digerakkan. Membuat sosok itu hanya bisa melotot dengan mata yang memerah marah.

Caroline tidak marah sama sekali. Remaja itu justru berbalik, menatap Corin yang kini memucat dan gemetar. Kali ini, jelas teman sekelasnya merasa bersalah. Sosok itu mengatup rapatkan bibir, menciutkan leher dan meringkuk dengan punggung yang menempel erat ke kepala tempat tidur.

"Corin," remaja Weish memanggil, mengalihkan perhatian sosok itu kembali. Sepasang netra hitam menatap ke arah temannya, lalu mengelak. Rasa bersalah jelas tertulis di wajahnya. "Kami menolongmu, bukan untuk merebut kucingmu. Bila kami memang benar menginginkan kucingmu ... tidak mungkin kami untuk menolongmu dan masih mau menjelaskan beberapa hal kepadamu."

Corin membeku. Bahunya menegang. Beberapa detik kemudian, remaja itu menunduk.

"Aku tahu, kau mencurigai kami. Itu tidak aneh sama sekali, apa lagi sejak kau tahu tentang ini. Tapi Rin ... ," Caroline tersenyum lembut. "Tidak peduli seberapa takut kau dengan kami ... kau hanya bisa mempercayai kami."

Benar.

Tanpa sadar, Corin menahan napas.

Tidak peduli apa pun risikonya ... apa pun maksud dari tujuan Caroline mau membantunya ... ia hanya bisa mempercayai teman sekelasnya. Ia hanya bisa menemukan Caroline Weish dan Saudaranya, untuk mengetahui semua hal yang tidak ia ketahui.

Menjadi seorang Penyihir adalah sesuatu yang aneh, menjadi seorang Majikan apa lagi. Ia buta, tidak mengetahui apa pun. Tidak peduli seberapa takut dan tidak percaya dirinya dengan sepasang saudara Waish ...

Hanya sepasang Saudara ini yang bisa diandalkan.

Corin menggigit bibir bawahnya. Gelisah. Jantungnya berdebar kuat sekali, membuatnya pusing. Namun rasa sesak seolah mencekik tenggorokan, tidak membuat remaja ini menyerah untuk mengatakan apa yang ingin ia ucapkan.

Menelan liur paksa, suara kecil itu terdengar.

"Maaf ... ," lirihnya. "Maaf."

"Tidak apa-apa," Caroline tersenyum, tidak terlalu memikirkan kecurigaan Corin sama sekali. "Yah ... sampai mana pembahasan kita tadi? Oh. Benar. Ini tentang Kontrak."

Mendengar Caroline berniat menjelaskan kembali dan mengeluarkan nada seolah-olah apa yang terjadi tadi tidak pernah ada, membuat Corin sedikit rileks. Ia mengangkat kepala, menatap Caroline yang kembali membahas perihal Kontrak.

"Kontrak, seperti kataku tadi, memiliki manfaat itu. Nah, karenanya, ketika Kucing telah memilih, mereka harus segera membuat Kontrak agar tidak terjadi kecelakaan," jeda beberapa detik, sulung Weish terlihat agak ragu. "Lalu bagaimana cara membuat Kontrak? Nah ... kau memerlukan Cincin Sihir."

Dua pasang mata berbeda warna menatap ke arah Caroline. Menuntut penjelasan lebih lanjut.

"Seperti kataku sebelumnya, Penyihir terlahir dengan energi sihir yang tidak stabil, itu sebabnya diperlukan media agar energi dapat keluar dengan baik dan terkendali. Benda penghantar itu adalah Cincin Sihir."

Mengangkat tangan kanannya, sosok yang dibungkam dan dibuat diam, tanpa ragu memamerkan sebuah cincin perak yang melingkar pada jari tengah. Cincin itu berkilau, tipis dan sederhana. Terdapat ukiran bintang di dalam lingkaran yang menjadi mata cincin.

Sederhana. Tidak mencolok. Siapa pun yang melihat, akan mengira itu hanya cincin murahan yang dibeli di pinggir jalan. Tidak terlalu berharga.

Namun, semua penyihir tahu betapa pentingnya benda ini.

"Ini adalah Cincin Sihir ... umumnya muncul begitu saja saat keturunan Penyihir berusia 13 tahun," jeda beberapa detik, sepasang iris menatap ke arah Phoenix. "Untukmu, mungkin kita memerlukan ... seseorang untuk membuatnya?"

Pria jangkung itu tersenyum. "Nona, Anda lupa kita diundang oleh Kerajaan?"

Caroline menatap Kucingnya dengan bingung.

"Saya dengar, keluarga Alix Poenix membuat Cincin Sihir."

"Benar!" Seolah mendapakan inspirasi, senyuman sulung Weish mengembang. "Rin, kita bisa pergi ke Pesta Kerajaan, kebetulan, aku memiliki undangannya. Aku bisa mengundangmu dan kita bisa meminta keluarga Alix Phoenix untuk membuat cincin, bila mereka tidak mau ... ugh, setidaknya, di pesta kerajaan, akan banyak Penyihir. Siapa tahu, di antara mereka, aku bisa mengenal beberapa Penyihir berlevel Special."

Corin menatap wajah teman sekelasnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya menggigit bibir bawahnya. "Umn ... itu ... keluarga kerajaan," suara remaja itu semakin mengecil. "Tidak bisakah kita ... tidak pergi? Membuat kontrak tanpa cincin ... ,"

Phoenix menghela napas mendengarnya, sementara Caroline terdiam. Senyuman gadis itu memudar.

"Rin ... aku sudah mengatakan bahwa Penyihir terlahir dengan energi yang tidak stabil di dalam diri mereka. Tentu, tentu saja kau bisa membuat kontrak tanpa Cincin Sihir, tetapi itu akan memakan waktu lama—setidaknya, paling sebentar adalah 5 tahun. Tetapi Rin ... ,"

Caroline menarik napas dalam-dalam.

"Kau tidak mungkin memiliki waktu selama itu."

Corin menatap temannya dengan bingung.

"Kedua energi yang berbeda terjalin, itu akan membuat ketidakseimbangan pada tubuh. Terlebih, sejak awal kau tidak memiliki alat untuk menstabilkan energimu. Hal ini akan ... berdampak buruk padamu. Energi yang terjalin akan merangsang tubuhmu untuk ... untuk meledak setiap saat. Itu sebabnya, 5 tahun. Aku yakin ... kau tidak mungkin memiliki cukup waktu untuk menstabilkan energimu."

Meledak ...

Wajah Sulung Yudhistira memucat mendengarnya.

Apa maksudnya dengan meledak?

"Meledak, menjadi daging cincang. Seperti petasan. Rin, bila kau tidak segera membuat Kontrak ... kau akan mati karena ketidakstabilan energi."

Corin terdiam mendengarnya. Wajahnya memucat sempurna.

"Karena itu, Rin ... kurasa, kau harus mengikuti rencanaku. Kita harus pergi ke Pesta Kerajaan. Setidaknya, mencari seorang Penyihir berlevel Emas. Di sana, aku yakin, kita bisa mendapatkan seseorang yang bisa membuatkanmu Cincin Sihir—“

"MMM!"

Suara nyaring Edle, yang masih dibungkam dan terikat oleh tali tak kasat mata, mengintrupsi. Bocah lelaki itu melotot marah, wajah cantiknya memerah sempurna dengan anggota tubuh yang bergerak-gerak mencoba melepaskan diri.

Caroline menghela napas, lalu tanpa ragu melepaskan bungkaman adiknya.

"AKU TIDAK AKAN IKUT!" Auman dengan suara serak memenuhi ruangan. "Bangsawan! Hah! Kakak, kau gila! Kau membawanya ke daerah di mana banyak bangsawan! Kau membawanya ke Pesta Kerajaan?!"

Caroline mengerutkan alis mendengarnya.

"Kau yakin akan membawanya? Ahahaha! Kakak, dia bisa mati duluan sebelum membuat Kontrak! Itu Istana! Kau lupa? Itu sarang para Penyihir! Kau berniat menumbalkannya—mm!"

Edle, sekali lagi, dibuat bungkam oleh Kakaknya.

"Yah ... aku memiliki caraku sendiri," ucapnya acuh tak acuh. Menatap dingin adik yang tidak henti berceloteh menyebalkan. Beberapa saat kemudian, ia menghela napas, menoleh menatap teman sekelas. "Rin, aku janji, aku dan Phoenix akan melindungimu ... setidaknya, kau akan selamat dan bisa membuat Kontrak dengan Kucingmu."

Corin gelisah. Sepasang netranya menatap bolak balik antara kedua bersaudara Weish yang berbeda kepribadian. Tanpa sadar, ia benar-benar merasa ... takut. Takut akan kematian, takut bahwa niat Caroline tidaklah sebaik apa yang ada di permukaan. Namun sayangnya, posisinya sekarang, tidak peduli bahwa ia adalah Majikan yang memiliki Pelayan ...

Corin Yudhistira, tidak di dalam posisi bisa menolak apa yang Caroline Weish rencanakan.