Setelah berkeliling selama beberapa jam, tumpukan kantong belanjaan di tangan Jun mulai menggunung, membuatnya mulai kewalahan. Ketiga gadis yang pergi bersamanya cekikikan, merasa senang sudah mengerjai satu-satunya lelaki yang mengikuti mereka.
Dengan pasrah, Jun berjalan di belakang mereka, membawakan belanjaan Velina dan Nadine yang banyak. Karena merasa kasihan, akhirnya Jena membantu membawakan sebagian belanjaan itu.
Mereka berdua sama sekali tidak merasa keberatan, karena bagi mereka, ini adalah salah satu cara mereka untuk membayar 'ganti rugi' atas waktu Velina yang selama ini tercurah kepada mereka, bukan pada Nadine.
"Hei lihat! Itu butik Giogio, kan ya?" Mata Velina yang setajam elang memandang ke suatu sudut. Disana terdapat sebuah butik Italia yang menjual barang-barang fashion yang terbuat dari kulit berkualitas sangat tinggi, yang dirancang oleh desainer Italia terkenal bernama Giulio Lazzaro.
Kebetulan sekali, itu adalah salah satu merk favorit Velina, Jun dan Jena. Tanpa dikomando, mereka bertiga segera menyerbu butik itu. Dengan bingung, Nadine mengikuti mereka dari belakang.
Butik itu tidak terlalu ramai. Wajar, karena harganya yang luar biasa mahal, dan tak semua orang menyukai produk kulit, butik itu agak sepi, terlebih di hari biasa seperti ini.
"Nadine! Sini deh, cobain kacamata ini!" Velina menyerahkan sebuah kacamata berwarna biru berbentuk bintang. Sementara dirinya mencoba sebuah kacamata berwarna merah muda berbentuk hati.
Mereka asik sendiri mencoba berbagai macam aksesoris yang ada di butik tersebut. Sementara itu, mereka tidak menyadari jika sang manajer toko memperhatikan mereka dari atas sampai ke bawah.
Meskipun barang belanjaan mereka banyak, namun tak ada satupun merk yang mereka beli dapat menyaingi merk 'Giogio'.
Ia memperhatikan Velina, yang mengenakan kaos longgar berwarna hitam bertuliskan supreme berwarna merah dan putih, celana jeans pendek dan sepatu converse 70' berwarna hitam tinggi serta tas bahu Long Champs Le Pliage berwarna hitam.
Ia lalu memperhatikan Nadine, yang memakai kemeja putih dan celana panjang berwarna krem dengan sepatu converse 70' pendek. Sama halnya dengan Jun dan Jena, yang terlihat biasa saja dengan kaos dan celana jeans panjang.
Ia kemudian meminta para staff di toko itu untuk waspada, lebih memperhatikan mereka satu persatu.
"Kalian perhatikan anak-anak muda ini, jangan sampai ada barang yang hilang, atau kalian nanti yang harus menggantinya!" ancamnya, memandang rendah mereka berempat.
Para staff di toko itu menganggukkan kepala mereka, merasa ketakutan akan ancaman manajer toko mereka.
Meskipun penampilan mereka terlihat bersih dan rapi, namun, bagi si manager toko, mereka terlihat terlalu muda untuk dapat membeli barang-barang yang ada disana. Walaupun, ia sebenarnya tahu, mall ini memang diperuntukkan bagi orang-orang menengah ke atas, namun tak jarang, banyak orang ingin berusaha terlihat berduit dan gaya, dengan cara mencoba koleksi baju mereka, memotret pakaian yang mereka kenakan dan menggugahnya di media sosial tanpa membelinya sama sekali.
Melihat Velina dan Nadine yang ingin berswafoto menggunakan kacamata-kacamata itu, seorang staff mendekati mereka.
"Maaf, nona, harap untuk tidak memotret di dalam toko kami" ujarnya dengan sopan.
Mengerti dengan keadaan, wajah Nadine memerah. Ia belum pernah ditegur seperti itu sebelumnya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau disini dilarang memotret" ujarnya, sambil mengembalikan kacamata ke tempatnya semula.
Sementara Velina hanya tersenyum kecil, juga mengembalikan kacamata yang tadi dipakainya. Karena kacamata itu bukanlah kacamata yang akan dia pakai sehari-hari, dia merasa tak ada gunanya membelinya hanya untuk lucu-lucuan.
Setelah itu, dia segera menarik tangan Nadine menuju sebuah rak jaket. Disana, berbagai jenis jaket kulit dipajang. Dia segera mengambil sebuah jaket kulit biker berwarna hitam.
"Nadine! Cobain yang ini ya! Kita bertiga juga punya jaket kulit!" Velina menyodorkan jaket itu padanya.
"Leather jacket is a must in our wardrobe!" tambahnya lagi.
Jaket kulit adalah hal wajib di lemari kita.
Nadine segera mencobanya. Ia tampak terkejut. Ia merasa puas melihat penampilannya sendiri. Ternyata, jaket kulit ini juga cocok dipadu padankan dengan penampilannya yang cukup feminin.
"Kamu coba dulu beberapa sampai kamu menemukan gaya yang cocok ya! Jangan dipaksa kalau kamu tak terlalu menyukainya!" Saran Velina lagi.
Sebagai seorang minimalis, dia memang hanya membeli apa yang dia butuhkan.
Nadine segera mengangguk dan mencoba beberapa jaket lainnya. Sementara itu, dengan hati-hati seorang staff selalu mengamati gerak gerik mereka.
Sebenarnya, Velina juga mengamati hal ini, namun dia hanya menganggap para staff itu hanya menjalankan pekerjaan mereka. Jadi, dia tak mau membuat keributan.
Tiba-tiba, seorang staff berbisik pada si manajer toko.
"Bu, salah satu tamu VVIP kita mau berkunjung kesini sebentar lagi!" ia memberitahu.
Manajer toko menatapnya, "Kenapa baru bilang sekarang?" manajer toko itu memelototinya.
"Maaf, infonya memang dadakan sekali."
Manager toko segera mendekati mereka berempat.
"Maaf, apa anda sudah ingin membeli? Jika tidak, apa bisa dilanjutkan nanti? Tamu VVIP kami akan datang dan kami harus menutup toko untuk umum…" Ujarnya.
Velina hendak mengatakan sesuatu ketika dia melihat seseorang melangkah ke dalam toko diikuti oleh seorang pria.
Dia sangat terkejut ketika dia melihat orang yang baru saja memasuki toko itu. Tak lama, rasa terkejutnya berubah menjadi sebuah senyuman. Dia lalu berjalan mendekati orang itu.
Manajer toko sangat terkejut ketika melihat Velina tak mengubrisnya dan justru berjalan mendekati tamu VVIP Giogio.
Ia berusaha meraih tangannya untuk menghentikannya, namun, sudah terlambat...