Beberapa hari sudah berlalu semenjak kejadian di malam pesta perayaan ulang tahun Nico Marcello. Tak banyak hal yang dapat dilakukan oleh Velina di rumah kediaman Marcello. Di ruang tengah, dia membolak-balik majalah-majalah bisnis milik Nadine. Adiknya itu bekerja sebagai salah satu jajaran direksi di Bank milik keluarga mereka.
Dia sama sekali tak menyadari ketika seseorang berjalan mendekatinya dengan mengendap-endap. Sementara dia terlihat serius membaca majalah, pikirannya terus memutar ingatan ketika Daniel berjalan mendekatinya di pesta eyangnya dan tersenyum dengan kikuk padanya. Tanpa disadarinya, dia tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba, seseorang menyergapnya dari belakang. Lelaki itu segera menutupi kedua mata Velina dengan kedua tangannya. Ia menahan tawa cekikikan, mengira keisengannya akan berhasil. Karena terkejut, Velina dengan reflek segera mengunci salah satu tangan lelaki itu, dan dengan cepat membanting tubuhnya ke depan.
"Praaaaaang!"
"Aaaaaaaaaaah!"
Suara meja kaca yang pecah berbarengan dengan suara teriakan seorang lelaki yang tengah menahan sakit. Velina terlihat sangat terkejut ketika dia menyadari siapa lelaki yang sekarang berada di hadapannya, terbaring di lantai ditemani oleh serpihan-serpihan kaca yang berserakan dimana-mana.
Tak lama kemudian, beberapa penjaga berlarian masuk ke dalam ruang tengah, memeriksa keadaan karena mereka tiba-tiba mendengar suara seseorang berteriak kencang.
Alangkah terkejutnya mereka ketika mereka melihat, ternyata seseorang yang tengah terbaring di lantai itu adalah... Marino! Mereka semua berpandang-pandangan, menahan senyum yang sebentar lagi akan berubah menjadi tawa.
"Hahaha! Oh My God! Marino!" Velina tertawa keras sambil menutupi perutnya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya melambaikan tangan menyuruh para penjaga itu untuk segera pergi.
Sebenarnya, rasa sakit yang diderita Marino tidak seberat rasa malunya, seorang pria setinggi 185cm dan bertubuh besar dibanting keras-keras oleh seorang wanita yang bahkan lebih pendek darinya.
"Sial kau! Bantu aku berdiri!" Marino berusaha berdiri, namun kedua telapak tangannya yang berusaha menopang berat tubuhnya justru terkena pecahan-pecahan kaca kecil-kecil. Melihat kakaknya berdarah, dia segera menyuruh seseorang untuk secepatnya memanggil dokter keluarga mereka.
"Untung Nadine tak ada di rumah! Kalau dia ada, dia sudah pasti pingsan!" Ujar Velina sambil menahan tawanya.
Adik bungsu mereka memang anak yang serius dan bermulut tajam, tapi entah kenapa, dia bisa mual-mual bahkan sampai pingsan jika dia melihat darah.
"Kamu lagian ngapain sih!" Tanya Velina, sambil tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan lainnya menggaruk-garuk dagunya.
"Aku tuh tadinya mau ngagetin kamu, terus bilang, 'tebak... ini siapa?'" akunya sambil bertingkah sok imut ala anak remaja.
Velina semakin tak bisa menyembunyikan tawanya. Kakaknya ini memang konyol! Pantas saja dia cocok berteman dengan Mickey yang wajahnya sangat imut, mirip sekali dengan aktor Korea Selatan bernama Kim Min-Kyu.
"Kau ini bodohnya keterlaluan ya! sudah tahu aku ini jago bela diri! otomatis gerakan reflekku sangat kuat!" Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Kamu tuh yang nggak romantis! Padahal semua orang juga tahu sedikit-sedikit caranya bersikap kekanakan!" Marino menggerutu kesal karena adiknya tak mau meminta maaf.
"Buat apa sok romantis kalau selalu diputusin sama pacarnya?" Balas Velina, sambil menjulurkan lidahnya.
Saat mereka asik bertengkar, dokter keluarga mereka akhirnya pun tiba. Ia segera memeriksa luka-luka di tubuh Marino.
Rupanya, saat itu Marino pulang ke rumah karena ada beberapa dokumen kantor yang harus segera ditanda tangani olehnya tertinggal di rumah. Ketika ia baru sampai rumah dan melihat Velina yang sedang melamun tak jelas, niat iseng pun muncul di kepalanya. Sayangnya, ide isengnya justru membawa petaka bagi dirinya sendiri.
Velina melihat jam. Saat itu sudah jam tiga sore. Tiba-tiba, Velina teringat sesuatu. Dia segera mengeluarkan sebuah kartu dan menunjukkannya pada Marino.
"Kau tau ini dimana?" tanyanya tanpa basa-basi.
Marino melirik kartu itu sekilas. "Tempatnya persis di seberang kantorku! kamu mau kesana?" tanyanya.
Velina tiba-tiba tersenyum senang dan mengangguk-angguk dengan penuh semangat. Meskipun lahir dan besar di kota Jet, namun dia tidak begitu familiar dengan kota ini. Sebenarnya dia paling malas kemana-mana kecuali untuk mengunjungi museum-museum atau sekalian berwisata ke tempat-tempat bersejarah di luar negeri.
Tak lama kemudian, Velina sudah siap dengan tas gym-nya. Rambutnya dikuncir kuda dan dia mengenakan celana jeans pendek, kaos putih pendek dan juga sepatu converse 70' berwarna putihnya. Meskipun masih memiliki darah keturunan eropa, dia tetap terlihat lebih muda dari umurnya yang sebenarnya.
Marino menatap adiknya yang cantik itu, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, 'pantas saja si kanebo kering itu sebegitu sukanya sama si curut ini' pikirnya dalam hati.
Sekitar 30 menit kemudian, mereka akhirnya tiba di kantor Marino. Setelah memarkirkan kendaraannya di lantai bawah tanah Val Entertainment, Marino berkata, "Hubungi aku ya kalau kamu mau pulang bareng!"
Velina hanya menunjukkan kode 'oke' dengan melengkungkan jempol dan jari telunjuknya. Dengan langkah riang, dia segera berjalan keluar dari area parkir, dan tak sabar menunggu lampu merah untuk segera menyeberang jalan.
Di hadapannya, berdiri sebuah bagunan yang terlihat modern dan megah bertanda 'Velmar Club' Ditulis besar-besar dengan jenis tulisan yang membuatnya terlihat semakin elegan.
Senyumnya semakin sumringah sambil dengan langkah mantap dia menyeberang jalan. Hatinya terasa semakin dag dig dug ketika dia berjalan mendekati bangunan tersebut. Sebelum memasukinya, dia menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, setelah memantapkan niatnya, akhirnya dia memasuki gedung Velmar Club dengan yakin.
Wahahaha kasian ya Marino! Makanya jangan suka iseng!
Hayoooo siapa disini yang suka iseng tapi berbuntut celaka?
Hihihi... sharing di kolom komentar ya!
ヽ(^。^)丿