webnovel

∅1

Hari yang sama, saat Aryan membuka portal dimensi, meninggalkan Voreia. Halaman belakang kerajaan, di utara Voreia, di benteng bagian selatan. Saat ini dipenuhi para pasukan yang sedang berlatih. Para ksatria dengan segenap perlengkapan mereka berlatih di halaman. Sementara para pemilik kekuatan penyihir di dalam hutan.

Logam demi logam bertumbukan, saling beradu dengan nyaringnya. Suara angin terhempas hasil sisa ayunan pedang terus terdengar. Beberapa kali juga dihasilkan oleh anak-anak panah yang beterbangan. Sesekali, suara dentuman ikut memperlengkap suasana latihan para ksatria.

Di halaman paling ujung, dekat perbatasan dengan hutan, dua orang menarik perhatian. Berdiri saling memunggungi, siap dengan peralatan masing-masing. Seseorang dengan busur dan anak panahnya, yang lain dengan kapak dan sebuah mangkuk kecil ditangannya.

"Bisa membuat bidikan baru?" Tanya salah seseorang menggenggam mangkuk di tangan kirinya.

Yang lain mengangguk, "Buat lemparan ke atas, empat puluh lima derajat, berputar."

"Siap?" Deheman singkat menjawab pertanyaannya. Tangannya bersiap melempar mangkuk ke atas. "Hitungan ketiga. Satu, dua, sekarang!"

Tepat saat mangkuk melambung di atas kepala, keduanya bertukar posisi. Memutar, berpindah tempat sesuai instruksi. Pemilik busur melepaskan tiga anak panah pertama dari busurnya. Salah satu mengenai pinggiran mangkuk, mengarahkannya ke pohon dekat samping mereka. Suara dentuman kecil terdengar saat ujung panah tertancap di pohon lain.

Dua panah selanjutnya melesat. Satu panah kembali menimbulkan dentuman kecil, tertancap di pohon. Satunya mendorong sasaran mendekat ke pohon. Satu panah terakhir melesat cepat. Tertancap di samping panah sebelumnya tepat saat mangkuk itu mendarat. Membuat mangkuk itu tetap berdiri ditopang kedua panah sejajar.

"Berhasil!" Keduanya berteriak kompak. Berakhir melakukan highfive ala keduanya.

Dua orang itu, Kevin dan Levin. Kembar Anthoni Bravijaya yang selalu kompak. Berlatih berdua setiap saat, keduanya sampai tahu apa yang harus dilakukan tanpa mengatakannya. Keduanya pasukan yang kuat. Kevin dengan busur panahnya, dan Levin dengan kapak dan pedangnya.

Kombinasi yang tepat untuk membuat sasaran dan melakukan serangan beruntun.

Mengesankan.

"Kemampuan mereka berdua semakin hebat." Kata salah seorangㅡyang sedari tadi memantau latihan para ksatria.

Melvin Ergeovano Xavier. Petinggi pasukan yang juga baru ditunjuk. Kekuatannya berbahaya. Ia berdiri di dekat benteng, mengawasi jalannya latihan di halaman bagian belakang. Tangannya ditekuk, menyilang di depan dada memantau para pasukannya.

Berbalik saat menyadari seseorang berjalan di belakangnya. "Kau di sini?" Tanyanya.

"Iya, mengambil peralatan. Kau sudah mengambil?" Melvin mengangguk. Menunjuk dengan ekor matanya pada sebuah tongkat besar yang menyandar di tembok sebagai bukti.

"Sebanyak itu?"

"Oh, ini," ia menunduk, menatap tangannya dipenuhi barang. Tiga pedang dan busur panah. Tampak merepotkan. "Rka dan Zargo tidak bisa pulang, pekerjaan mereka terlalu banyak di sana."

Dariel Taraka Aldevaro. Salah satu petinggi pasukan. Biasanya ia tidak akan lama berada di kerajaan, hanya sebentar berada di dunia paralel ini, lalu kembali lagi. Sibuk dengan pekerjaannya. Jika tidak terlalu dibutuhkan, ia akan kembali ke bumi.

Tidak ada larangan pergi dan datang sesuka hati, kan?

"Ada perkembangan?" Tanya Taraka pada Melvin. Kakinya melangkah maju, mensejajarkan tubuhnya di samping Melvin. Mereka berdua menatap ke arah yang sama, menyaksikan proses latihan pasukan.

Melvin mengangguk. "Anthoni Bravijaya bersaudara," jawabnya menunjuk bagian halaman dekat hutan tempat mereka berlatih. "Serangan mereka selalu tepat sasaran."

Taraka mengalihkan pandangannya mengikuti arah tunjukan yang Melvin berikan. "Mereka kembar yang kompak. Sangat baik."

"Itu," arah tunjukan Melvin bergeser, kali ini menunjuk seorang pemegang kapak.

"Eh? Aku baru melihatnya,"

"Namanya Gatra Allard Zeroun. Selain kapak, juga pemain pedang yang baik." Jelas Melvin singkat.

Sekitar lima puluh meter dari perbatasan hutan. Sebuah batang kayu tertancap di atas tanah, berjarak lima belas meter dengan seseorang. Gatra baru saja melempar kapaknya. Membuatnya berputar tiga ratus enam puluh derajat dan memotong kayu sasaran tepat saat mencapai seratus delapan puluh derajat.

"Mengapa kamu tidak berlatih pedang?" Seseorang menghampirinya.

Sebuah suara menginterupsi, membuatnya menoleh mendapati seseorang berdiri dibelakangnya. Tubuhnya tampak berdiri santai seolah sudah berada di sana sejak lama. Tangannya bertopang pada sebuah pedang yang ditancap di tanah.

Gadis itu, Xyla Fricylla Laurent. Jajaran pemain pedang terbaik. Sama seperti yang lainnya, ia memiliki profesi sibuk di bumi. Meskipun tubuhnya tampak kecil, sebenarnya ia sangat tangguh.

"Kemampuan pedangmu itu juga hebat, kan?" Tanyanya santai.

Gatra memalingkan wajahnya sebentar. Berjalan menjauh, mengambil kayu sasaran latihannya yang sudah terpotong. Membawanya kembali mendekat ke tempatnya awal berdiri. Meletakkan di tanah lalu beralih mengambil kapaknya.

"Aku harus kembali mengasah kemampuan kapak. Latihan terakhir denganmu kemarin, membuat kapak berputar satu lingkaran penuhㅡternyata cukup sulit." Gatra membungkuk mengambil sebuah kapak lainnya.

Xyla tersenyum tipis mendengarnya. Tubuhnya menegak, tangan kanannya mengambil pedang. Sedikit melangkah mundur menjauh dari Gatra. Membuat gestur siap untuk latihan.

"Ayo kembali berlatih!" Tantang gadis itu. Tangannya teracung, mengarahkan pedangnya ke depan.

Sudut bibir Gatra sedikit terangkat, "dengan kapak? Bukankah sedikit tidak seimbang?"

Xyla terkekeh, "ayolah, buat dirimu percaya. Jangan batasi kemampuanmu! Bangkitkan kekuatan yang ada dalam dirimu, maka bilah kecil atau sebuah pisau dapur pun akan menjadi setajam pedang."

Gatra ikut tersenyum mendengar penuturan Xyla. Semangatnya meningkat berkali-kali lipat saat ini.

"Angkat kapakmu!" teriak Xyla sedikit menantang lelaki di depannya. "Kita berlatih sekarang, besok aku harus melakukan wawancara di stasiun televisi."

"Wah, setiap hari mereka berlatih bersama?" tanya Taraka kembali pada Melvin. Lelaki itu mengangguk. "Pemain pedang wanita terbaik. Ia keren saat di sini."

"Memang di tempat lain bagaimana?"

"Saat menjadi reporter ia akan sangat berisik. Pertanyaannya banyak sekali, dan juga-"

Taraka berhenti, ponselnya berdering. Kenapa ia membawa benda ini ke dunia paralel?

"Ya?"

"Jam tiga ada jadwal, balik lo!" perintah dari seberang.

"Iya habis ini balik."

Panggilan hampir diputus, kalau saja panggilan dari seberang tidak kembali terdengar. "Ta!"

"Apa?"

"Nitip peralatan gue sekalian."

"Nyusahin,"

Sambungan telepon diputus sepihak. Taraka mencibir dengan tangannya memasukkan ponsel ke dalam tas. Cibiran yang agak keras membuat Melvin sampai harus menoleh padanya.

"Siapa?"

"Baron."

Baru saja mereka berdua berbalik. Saat hampir melangkah pergi, mereka dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapan keduanya. Kekuatan yang dibatasi. Seenaknya sekali wanita ini menggunakan kekuatannya.

"Ck, teleportasi seenaknya." Cibir Taraka padanya.

Veranda Ardemilla Arletta Hachira. Petinggi penyihir. Kekuatan sihirnya lebih kuat dari kemampuan ksatria. Ia dan pasukannya bertarung dengan tangan kosong hanya mengandalkan kemampuan sihir yang dibilang sangat kuat.

Satu-satunya yang tidak bisa menggunakan bahasa baku.

Menyadari seseorang berada di depannya, ia mendongak. Perlahan menelisik dua orang di depannya dari atas sampai bawah. Adegan itu berakhir saat menatap wajah keduanya. Tatapannya berubah heran. Dua orang ini, jarang sekali berada di kerajaan.

"Tumben berdua di sini?"

"Cuti." Jawab Melvin singkat.

Veranda mengangguk, beralih menoleh ke samping Melvin. Menunggu jawabannya. Orang yang ditunggu langsung mengangkat tangannyaㅡmenunjukkan barang bawaannya, sambil menghela napas. "Ambil peralatan."

Dua kata yang kembali dibalas dengan senyuman. Dia kembali menoleh menghadap Melvin. "Melvin, petinggi nggak boleh bohong." Ujarnya dengan senyuman.

Satu hal yang kadang dilupakan. Kekuatan spesial petinggi penyihir yang dimiliki satu gadis ini, mengerikan. Jika kekuatannya muncul, dia akan tersenyum manis seperti itu. Tandanya, Veranda melihat warna aura seseorang. Membaca emosinya. Sedih, senang, kesal, berbohong, atau lainnya.

Melvin menghela napasnya, "iya, aku terpaksa cuti. Tidak ada yang memantau latihan."

"Petinggi pada ke mana?" Tanya Veranda penasaran.

"Zargo masih belum kembali semenjak ditugaskan Raja Setth. Rka, Raizel, maupun Aksaka, juga sama. Geo sibuk dengan pendidikannya. Dethan, entahlah, sepertinya ia tidak sedang melakukan apapun di sana. Dexvan dan Baron sepertinya terlalu sibuk."

"Aryan pergi?"

"Iya, pulang ke bumi. Waktunya bersamaan saat kamu membuka portal kemari."

Raut wajah Veranda tampak berpikir. Seperti Melvin baru saja melewatkan sesuatu. Ia menjentikkan tangannya saat menemukan hal itu. "Petinggi terakhir kemana?"

Tersentak, Melvin ikut merubah raut wajahnya. Memikirkan pertanyaan barusan. Petinggi terakhir. Siapa? Yang mana? Melvin bahkan baru mendengar istilah 'Petinggi Terakhir'.

Sebuah kekehan singkat mengalihkan fokus keduanya. Taraka menggeleng perlahan sambil mendongakkan kepalanya. "Belum kembali juga, ternyata."

"Siapa?"

"Petinggi terakhir. Siapa lagi?"

Percuma.

Percuma saja Melvin menanyakannya. Melvin menghela napasnya, mengingat ia tidak akan mendapatkan jawaban. Bertanya pada orang-orang seperti Aryan, Zargo, Taraka, apalagi Dexvan, sangatlah percuma. Mereka tidak akan menjawabnya. Kamu harus mencari tahu sendiri agar bisa menemukannya.

Beralih dari topik barusan, Melvin menoleh pada Veranda lagi. "Latihan di hutan?" tanya Melvin padanya.

Veranda mengangguk, "Iya, kalau latihan di sini bisa-bisa istananya meledak."

"Hah?"

"Sihir petirnya Venus, barusan meledak." jawab Veranda kemudian tertawa "Kalian nggak dengar?"

Tanpa aba-aba, Taraka dan Melvin kompak menggeleng. Veranda kembali tergelak karena respon mereka. Ah, sepertinya dia tergelak karena kejadian di tempat latihannya. Ia memegangi perutnya dengan tubuh sedikit membungkuk. Terus terbahak sampai mengeluarkan air mata.

Tangannya terangkat menyeka air mata yang hampir mengalir. "Ingat pertama Venus latihan tapi kekuatannya yang besarnya nggak karuan itu malah nggak kekontrol?" Tanyanya, mereka mengangguk.

"Kejadian waktu rambut Venus berubah habis kesamber petirnya sendiri kejadian lagi." Veranda kembali tertawa. "Bunyinya, tuh kaya di tembak jedor duar gitu, woy! Ngakak."

Taraka menghela napasnya. "Dalam peraturan kerajaan, Pasal 15 soal kekuatan, ayat kedua, kemampuan teleportasi hanya boleh digunakan saat terjadi peperangan dalam keadaan sekarat untuk kembali ke markas."

Melvin diam, malas menanggapi Taraka yang sering bawa-bawa peraturan kerajaan.

Veranda yang menyimak langsung menimpali, "boong, coba ss."

﹋﹋

Hampir enam jam sejak Aryan menerima Violetta bekerja di perusahaan sebagai sekertarisnya. Hampir lima jam Aryan keluar dari ruangannya meninggalkan Violetta sendirian mengurus tugasnya. Dan hampir empat jam Aryan mengungsikan dirinya di ruangan Zargo. Bias cahaya matahari di langit luar hampir habis. Perusahaan ini mendekati masa pulang untuk para karyawannya.

Sudah tiga jam lebih Zargo diam ditempatnya. Sedari tadi dia menatap malas pada Aryan yang entah sudah berapa kali mondar-mandir di ruangannya. Zargo yang sedari tadi diam mengacuhkan, kini bosan. Ia menyilangkan tangannya di depan dada. Menatap sang direktur dari ujung ruangan. Ingin sekali rasanya mengusirnya pergi dari ruangan ini.

"Mondar-mandir mulu kaya setrikaan." kata Zargo sebal.

Tak ada tanggapan, Aryan masih diam. Ia tetap berjalan bolak-balik dari ujung sana ke ujung lainnyaㅡseperti setrika, tepat seperti yang dibicarakan Zargo tadi. Rambutnya berkali-kali diusak kasar. Poni panjangnya yang menutupi mata terus disibak ke atas.

"Lo kenapa, sih? Kaya orang kebelet."

"Apa reinkarnasi mungkin, Zargo?"

Zargo menoleh sedikit bingung. Aneh sekali. Ia mengangkat sebelah alisnya masih dengan tatapan datar. "Tanya sama Dexvan, bukan sama gue."

Suara erangan kecil terdengar. Aryan kembali mengusak rambutnya. Kedua tangannya bertengger di pinggang. Dasinya tampak longgar. Jasnya yang ikut berantakan. Ia masih melanjutkan adegan bolak-balik di tengah ruangan.

Jengah. Zargo melirik arloji di tangannya, lalu kembali menatap Aryan malas. "Kenapa lo tanya itu?"

"Kamu tidak akan tahu jawabannya. Lebih baik saya tanya Dexvan."

Sial.

Zargo mendengus. Pandai sekali Aryan membalikkan kalimat miliknya.

"Lo kenapa, sih, brengsek?! Capek gue lihat lo mondar-mandir. Udah tiga jam lebih, Yan. Tiga jam!"

Aryan masih tampak berpikir. Beberapa kali tangannya terangkat. Ia mulai menggigiti kukunya sendiri. Ragu kalau mengatakannya pada Zargo, namun ia akan bingung sendirian jika dia tidak menyampaikannya.

"Sudah lewat ratusan tahun yang lalu," gumam Aryan sedikit kacau. Langkahnya terhenti. Tubuhnya beralih menghadap Zargo penuh. "Apa mungkin seseorang bereinkarnasi dengan wajah dan nama yang sama?"

Pertanyaan yang jawabannya susah ditemukan. Zargo mengangkat bahunya, tanda dia tidak tahu jawabannya.

"Tuh, saya bilang juga apa. Kamu sudah pasti tidak tahu jawabannya. Percuma."

"Terlanjur cerita. Siapa, sih?"

"Violetta Setth. Istri saya yang dulu," Aryan kembali menjeda perkataannya. Ia menoleh menatap Zargo mantap dan bersiap melanjutkan.

"Sama Bae Violetta Lawren. Sekertaris kita yang baru."