webnovel

-3- Sudden Fiance

Tenang. Alfon harus tenang. Jangan sampai Elsa tahu. Begitu pesan Aira dan yang lain. Oke.

Alfon berusaha untuk bersikap sesantai mungkin ketika bertemu Elsa di restoran pagi itu. Alfon mengajak Elsa sarapan lebih dulu.

“Di mana sekretaris Pak Alfon?” tanya Elsa.

“Um … dia ada urusan. Jadi, hari ini kamu nggak perlu bersikap formal di depanku. Biasa aja.” Alfon tersenyum, lalu melenyapkan senyumnya ketika Elsa menatapnya dengan aneh. Apa Alfon tersenyum terlalu lebar?

“Saya kemari untuk urusan pekerjaan, Pak.”

“Aku tahu, tapi apa salahnya …”

“Ya, itu salah. Saya ke sini buat kerja, bukan buat main-main. Apa Pak Alfon selalu seperti ini?” sinis Elsa.

Di dunia ini, tak ada seorang pun yang bisa menampar Alfon sekeras ini dengan kata-kata, selain Elsa.

“Apa aku selalu kelihatan main-main di matamu?” singgung Alfon.

Elsa tampak terkejut, tapi wanita itu tak menjawab. Bersamaan dengan itu, pesanan mereka datang.

Namun, Alfon menyadari satu hal. Bahkan meski ia baru saja ditampar sekeras itu dengan kata-kata Elsa, Alfon tak bisa mencegah pikiran bodohnya ketika menatap Elsa.

Wanita itu cantik. Selalu.

***

Apa kata-kata Elsa tadi begitu keterlaluan? Alfon tampak lebih banyak diam setelah sarapan singkat dan dingin mereka tadi. Elsa merasa seperti bicara pada tembok sepanjang ia menjelaskan tentang fasilitas-fasilitas di gedung itu. Meski begitu, ia masih bisa merasakan tatapan lekat Alfon padanya.

Sesaat, hanya sesaat, Elsa sempat berpikir Alfon mungkin dendam karena kata-kata Elsa tadi dan berencana menjatuhkan Elsa dari puncak gedung. Dengan alasan itu juga, Elsa sengaja tidak berdiri terlalu dekat dengan pagar pembatas ketika mereka berada di mall atau di rooftop dan luar ruangan.

Bukan apa-apa. Belakangan banyak sekali berita tentang orang-orang yang membunuh orang lain karena dendam atas masalah spele. Elsa hanya waspada. Elsa bahkan tak bisa menyembunyikan kelegaan ketika akhirnya semua itu berakhir dan mereka sudah berada di dalam lift yang bergerak turun.

Namun, Alfon masih saja diam dengan terus menatap Elsa lekat. Apa sebaiknya Elsa bertanya lebih dulu? Tidak. Kenapa memangnya? Lagipula, tak ada yang ingin ia tanyakan.

Ah, ada.

“Pak Alfon, kalau nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, saya akan langsung …”

“Ya, kamu bisa pergi,” potong Alfon. “Semakin cepat semakin baik.”

Elsa nyaris melotot. Tunggu. Apa? Barusan ia mengusir Elsa?

Meski begitu, Elsa meredam segala kesalnya dan tersenyum resmi, senyum khas kerja. “Baiklah, kalau begitu.”

Tepat begitu mereka tiba di lantai basement parkir, Elsa turun lebih dulu. Namun, mengejutkannya, Alfon juga ikut turun. Elsa sudah akan protes, tapi ternyata pria itu justru menjauh dari Elsa dan berbicara di telepon. Sepertinya sekretarisnya yang menelepon. Meski Elsa tak mendengar telepon itu berdering.

Fokus Elsa pada Alfon segera teralihkan oleh suara denting dari ponselnya. Ada pesan masuk. Elsa merogoh ponsel dari tas kerjanya dan mengecek. Sebuah link berita dari Pak Indra, sekretarisnya. Elsa membukanya tanpa ragu. Detik berikutnya, ia melotot dan nyaris menjerit kaget.

Kegilaan macam apa lagi ini?

Mata Elsa menelusuri huruf demi huruf dalam artikel itu, kata demi kata. Kenapa? Kenapa Elsa Callista Hardiwijaya bertunangan dengan Alfonso Xavier?

KENAPA?

Elsa nyaris histeris saat itu juga jika tidak ada Alfon di sana.

Oh, sial. Alfon di sana.

Elsa menoleh pada pria itu dan mendapati pria itu masih berbicara di telepon sambil menatapnya lekat. Sepertinya, ia juga baru mendapat kabar itu. Melihat ekspresinya, jelas ini bukan jenis kabar bahagia bagi pria itu.

Matilah, Elsa.

***

Alfon otomatis menyetujui cara Aira menatap dirinya kemarin. Alfon memang sudah gila. Sudah sangat gila.

Bagaimana bisa, sedari tadi, sejak pertama ia melihat Elsa, Alfon tak bisa berhenti memikirkan wanita itu, padahal ia ada tepat di hadapan Alfon? Jelaskan!

Oh, tenang saja. Itu belum semua. Ada yang lebih gila lagi. Pikiran gila kurang ajarnya yang luar biasa.

Apa Alfon selama itu menjomblo? Bagaimana bisa ia terus memikirkan tentang ciumannya dengan Elsa? Ayolah, ia bukan pria mesum. Namun, setiap kali Elsa berbicara, tatapan Alfon tak bisa lekang dari … bibirnya. Bibir merah sialan itu! Bibir yang merebut ciuman pertamanya!

Luar biasa! Kegilaannya ini!

Jika sampai Aira dan yang lain tahu, tentu Alfon akan kembali menjadi bulan-bulanan. Alfon menarik kembali kata-kata tentang sahabat terbaik jika itu tentang mereka.

Ada dua pilihan bagaimana caranya agar Alfon menghentikan pikiran gilanya ini. Take it or leave it. Cium wanita itu sekarang dan lenyapkan semua pikiran gila itu. Mungkin itu hanya rasa penasaran. Ya, penasaran. Jika tidak, wanita itu bisa pergi dari hadapan Alfon sekarang juga. Ya! Elsa harus pergi.

“Pak Alfon, kalau nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, saya akan langsung …”

“Ya, kamu bisa pergi,” Alfon berkata. “Semakin cepat semakin baik,” Alfon menegaskan. Ya, itu pilihan yang aman dan bagus.

Bayangkan saja, apa yang terjadi pada Alfon nanti jika ia nekat mencium Elsa? Pertama, ia mungkin akan dihajar hingga babak belur. Sudah untung jika tak dicekik sampai mati. Kedua, tentu saja, ia akan dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pelecehan. Oh, yang benar saja! Namun, itu belum berakhir. Karena setelahnya, wajahnya mungkin akan muncul di koran dan majalah berita, namanya tercoreng, reputasinya hancur.

Tentu saja, Elsa yang pergi adalah pilihan yang terbaik, bukan?

Maka, begitu lift berhenti di basement parkir dan Elsa akan keluar, Alfon refleks mendesah lega. Bertepatan dengan turunnya Elsa dari lift, ponsel Alfon bergetar. Telepon dari Juan. Padahal Alfon sudah mengingatkannya untuk tidak mengganggu. Seharusnya tadi Alfon tidak hanya menyetel ponselnya dalam mode getar, tapi juga mematikannya.

Alfon belum sempat berbicara begitu mengangkat telepon Juan ketika terdengar pekikan senang Juan di seberang,

“Pak Alfon akan menikah dengan Bu Elsa!”

Tunggu. Apa? Siapa dan siapa yang akan menikah?

Ketika pintu lift akan tertutup, Alfon menahannya dan ikut turun. Ia berjalan ke arah pagar pembatas, berharap mendapat sinyal lebih baik. Mungkin karena sinyalnya, Alfon jadi salah dengar, kan?

“Kamu bilang apa barusan?” tanya Alfon lagi.

“Pak Alfon! Pak Alfon akan menikah dengan Bu Elsa! Selamat, Pak!”

Juan terdengar begitu bahagia, seolah memenangkan lotre. Namun, Alfon bingung. Kenapa ia sama sekali tak tahu jika ia akan menikah dengan Elsa? Ketika Elsa sudah menolaknya bahkan sebelum Alfon meminta, bagaimana bisa mereka menikah?

“Berita pertunangan Pak Alfon dan Bu Elsa udah menyebar di media. Kedua pihak sudah mengkonfirmasi, begitu katanya, Pak.”

Media. Berita pertunangan. Konfirmasi. Alfon menatap ke arah Elsa. Wanita itu tampak membaca sesuatu dari ponselnya dan jelas ia tampak siap menggila saat itu juga. Jelas, ini bukan berita yang ia inginkan. Jika bukan Elsa, itu berarti …

“Papaku sama papanya Elsa di balik ini, kan?” Alfon memastikan.

“Sepertinya begitu, Pak. Saya akan mencari tahu lagi dan melaporkan ke Bapak. Sekali lagi, selamat ya, Pak.”

Selamat? Apa yang perlu diselamati ketika detik itu juga Elsa menatap Alfon dengan tatapan seolah ia ingin mati?

Berita pertunangan yang seperti berita kematian. Apa yang akan Elsa lakukan jika mereka benar-benar akan menikah nanti?

Namun, sebenci itukah Elsa akan gagasan menikah dengan Alfon? Alfon … siap memberikan segalanya pada Elsa. Segala-galanya.

Alfon mendengus pelan. Benar. Harga dirinya sudah menghilang entah ke mana jika itu berhadapan dengan Elsa. Selalu begitu.

***