webnovel

-4- The Offers

“Selamat, Al. Akhirnya, kamu bisa nikah sama cinta pertamamu juga,” ucap Aira. Meledek, lebih tepatnya.

“Cinta pertamanya Alfon kan, Yura,” celetuk Rey.

“Oh iya. Berarti cinta sejati, ya?

“Eh, nggak juga, sih. Kan dulu nggak sampai jatuh cinta ya, ke Yura?”

“Oh iya, kan dia playboy yang aslinya jomblo tulen.”

Pasangan itu tergelak dan dengan santainya ber-high five. Ya Tuhan, berilah azab yang setimpal pada pasangan itu. Azab teman-teman yang selalu mem-bully kejombloan temannya. Alfon berdoa tulus dalam hati.

“Aku nggak nyangka, takdirmu sama Elsa bisa berlanjut kayak gini,” celetuk Dio.

Alfon pun sama.

“Kamu berutang terima kasih sama aku,” ucap Ken. “Kalau bukan karena aku …”

Alfon menatap Ken kesal. “Kalau kamu ngasih tahu aku Elsa akan datang di hari pernikahanmu, aku nggak akan muncul dengan cara se-idiot itu di depannya.”

Ken mengangkat tangan, mengaku salah.

“Tapi, aku senang, deh. Sejak Alfon ketemu Elsa lagi, kita jadi sering kumpul gini. Padahal biasanya juga pada sibuk kerja,” singgung Yura.

Alfon meringis. Lebih tepatnya, Alfon yang sering memakai alasan itu.

“Sindiran yang bagus,” Alfon mengakui.

Yura tersenyum geli, tak tampak menyesal.

“Tapi, mungkin lebih seru lagi kalau Elsa juga bisa ada di sini,” sebut Arisa.

“Agree,” timpal Ken.

Dalam hati, Alfon nelangsa. Ia pun seribu kali setuju. Tidak. Sepuluh ribu, sepuluh juta, sepuluh milyar, sepuluh trilyun kali setuju. Bahkan detik ini pun, ia ingin melihat Elsa.

“Pak Alfon?”

Panggilan cukup keras itu menyadarkan Alfon dari lamunannya akan pertemuannya dengan Aira dan yang lain semalam.

Alfon mendongak dan wanita yang beberapa detik lalu ingin ia lihat kini benar-benar berdiri di hadapannya. Dengan kening berkerut heran dan tatapan mata bingung.

“Sedari tadi Bapak melamun sampai nggak sadar saya udah di sini. Apa … kita bicarakan ini lain kali aja?”

Alfon refleks menggeleng keras. “Duduk aja. Dan tolong jangan manggil aku ‘Pak’ lagi. Ini bukan urusan pekerjaan, kan?”

Elsa tak menjawab, tapi ia lantas duduk. Dengan tak nyaman. Wanita itu seolah meneriakkan ketidaknyamanannya di seluruh tubuhnya. Tentu saja. Ini pasti karena berita pertunangan mereka.

“Kita makan dulu aja,” ajak Alfon tenang.

Elsa mengangguk.

Alfon mengangkat tangan, memanggil seorang pelayan. Dilihatnya seorang pelayan berjalan ke meja mereka, bersamaan Elsa bertanya, “Kamu se-shock itu sama berita pertunangan kita?”

Jangankan Alfon, Elsa sendiri juga pasti shock.

“Itu ulah papaku,” sebut Elsa.

Oke. Meski Alfon yakin, papanya juga turut andil dalam hal ini. Berani-beraninya ia mengkonfirmasi berita seperti itu tanpa bertanya pada Alfon. Bahkan setelahnya, ia tak bisa dihubungi! Papa macam apa itu!

“Kalau kamu nggak mau …”

“Maaf,” Alfon memotong karena pelayan sudah tiba di meja mereka.

Apa Elsa berniat mempermalukan dirinya sendiri di depan orang lain? Alfon tak menyarankan itu. Ia pernah berada di pihak yang dipermalukan di depan orang lain dan itu masih membawa trauma pada dirinya.

“Kita sarapan dulu aja,” lanjut Alfon.

Elsa menoleh pada pelayan yang sudah berdiri di samping meja mereka dan mengangguk.

Elsa harus berterima kasih pada Alfon karena sudah menyelamatkan harga diri wanita itu. Mungkin dengan … sebuah ciuman? Oke, otak mesumnya kembali bekerja. Tuhan, ambillah otak ini jika ia terus berpikir seperti itu.

***

Elsa resah mengingat pertengkaran dengan papanya semalam.

“Itu satu-satunya cara untuk mengembalikan harga saham yang anjlok karena ulahmu.”

Ulah Elsa?

“Pa, aku udah bilang, itu cuma salah paham. Kasus di proyek puncak itu …”

“Kamu harusnya lebih tahu dari siapa pun,” potong papanya. “Kesalahpahaman sudah cukup untuk menghancurkan kamu, Elsa.”

Elsa mengembuskan napas frustrasi. Ya, papanya benar. Elsa memejamkan mata tersiksa terngiang kalimat terakhir papanya,

“Kalau kamu nggak bisa melakukan semuanya sendiri, jangan terlalu sombong. Kamu seharusnya berterima kasih sama calon suamimu kalau dia mau menikah denganmu.”

Elsa sekarang tahu, kenapa dulu kakaknya sampai pergi dari rumah. Erwin … kakaknya yang bodoh itu.

Elsa segera mengendalikan emosinya ketika Alfon kembali dari menerima telepon. Pria itu meminta maaf karena terlalu lama menerima telepon. Elsa hanya mengangguk kecil.

“Jadi … gimana menurutmu?” tanya Alfon.

Elsa tak perlu bertanya untuk tahu apa yang dibicarakan pria itu.

“Nggak ada penolakan, kan? Kita berdua tahu itu.” Elsa menambahkan senyum dingin, meski tangannya yang kini berada di bawah meja saling meremas gelisah. Alfon … tidak akan menolak, kan?

“Papaku masih nggak bisa dihubungi. Itu pun, cuma aku yang nggak bisa ngehubungin dia,” beritahu Alfon.

Elsa melotot. Jangan bilang … Alfon ingin menolak?

“Kamu … mau nolak perjodohan ini?”

“Apa kamu pengen perjodohan ini?” Alfon balik bertanya.

Elsa tertegun. Ia … tentu tak menginginkannya. Namun, ia membutuhkannya.

“Kamu … nggak pengen perjodohan ini?”

Pertanyaan bodoh. Tentu saja pria itu tidak menginginkannya. Apa Elsa lupa bagaimana ekspresi Alfon kemarin? Terlebih, bagaimana sikap dingin Elsa sejak ia kembali bertemu pria itu. Alfon bahkan pernah menyebut Elsa menolaknya sebelum Alfon meminta apa pun. Kapan Elsa melakukan itu?

Seolah masalah mereka sepuluh tahun lalu belum cukup.

“Maaf, aku harus segera pergi. Ada hal penting yang perlu aku urus,” ucap Alfon seraya berdiri.

Elsa ikut berdiri. Ketika Alfon hendak pergi, Elsa refleks menahan lengan pria itu. Alfon tampak terkejut.

“Aku … kita … nanti malam bisa kita ketemu?” pinta Elsa. “Ada yang mau aku omongin ke kamu.”

Alfon menatap Elsa sekilas, lalu mengecek jam tangannya.

“Nanti biar Juan kabarin kamu kalau aku ada waktu,” ucap pria itu.

“Ah … oke …” Elsa terpaksa melepas pegangan di lengan pria itu.

Alfon mengangguk kecil, lalu pergi. Elsa jatuh terduduk di kursinya dan menatap kursi di depannya yang kosong. Elsa menggeleng. Ia tak boleh seperti ini. Ia harus memikirkan rencana lain. Ia hanya perlu menikah dengan Alfon. Hanya itu. Sisanya, akan ia urus nanti.

Memantapkan hatinya, Elsa memanggil pelayan dan meminta bill. Namun, pelayan restoran memberitahunya jika bill sudah dibayar oleh kekasih Elsa. Ya, kekasih Elsa. Tunangan, calon suami.

***

Alfon langsung menyentuh dadanya dan menenangkan degup kencang di sana begitu tiba di penthouse-nya. Elsa mengajaknya bertemu nanti malam. Keajaiban macam apa ini? Bagaimana ini bisa terjadi? Elsa meminta untuk bertemu dengannya.

Alfon segera mengambil ponsel dan menelepon Aira.

“How’s it going?” tanya Aira di seberang.

“It’s working. She held my hand!” Alfon nyaris berteriak saat mengabarkan itu.

“Uh, bukan itu, Mr. Idiot. Maksudku, gimana reaksinya Elsa? Setelah kamu bertingkah cool seolah mau nolak perjodohan kalian itu?” tanya Aira gemas. “Cowok baperan banget, sih, kamu.”

Alfon berdehem. “Oh, itu …. Elsa kelihatan … panik, sih. Nanti malam dia ngajak aku ketemu lagi buat ngomongin itu. Tapi, aku kan udah bilang, aku nggak mungkin bisa nolak perjodohan itu juga, ngapain aku harus pura-pura mau nolak?” tanya Alfon bingung.

“Duh, Mr. Idiot, dengerin nih ya, ini namanya strategi jual mahal. Yah, okelah, aku maklum. Kamu nggak pernah punya kekasih beneran selama ini. Less experience. Tapi, tolong itu idiot-nya dikondisikan kalau di depan Elsa, ya?”

Alfon membalas dengan umpatan. “Trus, aku harus gimana sekarang?”

“Tetap play it cool ya, Mr. Idiot. Please banget ini, jangan malu-maluin aku juga di depan Elsa. Jangan bertingkah bodoh kayak kemarin-kemarin dan stay cool, oke? Jangan grogi di depan Elsa, jangan banyak senyum, demi apa pun!” Aira terdengar frustrasi.

“Kamu pengen aku musuhan sama dia?” protes Alfon.

“Dengerin kata-kataku aja. Kamu pengen bisa sering ketemu Elsa, kan? Makanya, dengerin aku, oke?”

Alfon mengangguk-angguk.

“Anyone’s there?” panggil Aira.

“Oh iya, oke,” Alfon menjawab. “Tapi, dari mana kamu tahu kalau Elsa membutuhkan perjodohan ini?”

Selama beberapa saat, Aira tak menjawab. Lalu, terdengar desahan berat. “Nanti kalau waktunya tepat, aku kasih tahu. Yang penting sekarang, kamu harus ingat apa yang harus kamu lakuin pas ketemu Elsa nanti malam.”

Alfon manggut-manggut lagi. “Stay cool, oke,” gumamnya.

“Good,” puji Aira.

“Kalau gitu, aku mau segera ngabarin Elsa kalau aku ada waktu buat ketemu dia nanti malam. Tapi, nanti malam aku boleh undang dia makan malam ke rumahku aja, nggak? Aku nggak tahu apa makanan kesukaan dia, sih, tapi aku pengen masak sesuatu buat dia. Misalnya …” Kalimat Alfon belumlah selesai ketika terdengar teriakan kesal Aira di seberang,

“Alfon, you idiooot!” Teriakan Aira itu membuat Alfon menutup kuping sembari menjauhkan ponsel dari telinganya.

Bahkan meski Alfon tak mendekatkan telepon ke telinganya, ia masih bisa mendengar suara marah Aira, “Kamu mau ngelamar dia? Jangan bodoh, ya! Jangan ngelakuin hal yang nggak aku suruh dan bikin semua rencana kita gagal! Kalau sampai kamu kacauin ini, aku nggak akan bantu kamu lagi buat ketemu Elsa! Biar tahu rasa seumur hidup kangen terus sama Elsa tanpa bisa lihat dia!”

Lalu, terdengar tut-tut tanda sambungan telepon terputus. Alfon menatap ponselnya masih dalam jarak jauh.

Aira sukses membuat Alfon shock untuk dua hal bersamaan: teriakan dan ancamannya. Alfon benar-benar harus mendengarkan Aira.

***