webnovel

-2- To See You

Alfon memperhatikan bayangan Juan mengernyit aneh dari cermin tinggi di depan Alfon. Mengabaikan reaksi sekretarisnya itu, Alfon melanjutkan menata rambut ikal hitamnya serapi dan sekeren mungkin, lalu memilih jam tangan. Alfon kembali berkaca dan membenahi letak sapu tangan di saku jasnya.

“Pak Alfon berpenampilan serapi ini cuma buat ketemu Bu Elsa?” Juan terdengar takjub.

“Cuma?” protes Alfon seraya memutar tubuh menatap Juan. “Apa kamu lupa, dia itu CEO Hardiwijaya Property yang bantu bangun tempat ini.” Juan merentangkan lengan. “Tempat yang nyaman buat tempat tinggal.”

“Pak Alfon baru tinggal di sini sejak kemarin. Ini bahkan belum empat puluh delapan jam sejak Pak Alfon menempati penthouse ini.”

Alfon berdehem, lalu mengibaskan tangan. “Intinya, aku betah tinggal di sini.”

Juan hanya menghela napas dan lebih dulu keluar dari ruang ganti Alfon. Alfon sudah hendak menyusul Juan, tapi kemudian ia kembali masuk dan memilih kacamata baca dan mencomot salah satu. Alfon mematut diri di cermin setelah memakai kacamata itu dan tersenyum puas. Ia tampak lebih pintar dengan kacamata ini.

Namun, sepertinya Juan tak berpikiran seperti itu. Sekretarisnya itu lagi-lagi protes, “Ah, kacamata. Pak Alfon harus banget pakai kacamata itu?”

“Aku kelihatan pintar kan, makai ini?” Alfon mengetuk gagang kacamatanya.

Juan memutar mata, seperti para wanita ketika protes. Terkadang, Alfon mengira Juan itu wanita karenanya. Ah, Juan juga cerewet. Terlepas dari pekerjaannya yang sempurna, ia terlalu cerewet untuk ukuran seorang pria. Alfon masih kesal mengingat bagaimana Juan menyebut Alfon ditolak kemarin. Tidak, sekretaris kurang ajarnya itu menceramahinya lebih tepatnya.

“Elsa datang jam berapa katamu?” tanya Alfon.

“Jam sembilan, Pak.”

Alfon mengecek jam tangannya. “Masih setengah jam lagi. Apa ini nggak terlambat, namanya?”

“Pak Alfon yang terlalu rajin,” balas Juan.

Alfon mendecak kesal. Ia lantas menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu dan memperhatikan penampilan Juan. Sekretaris yang menemaninya sejak pertama kali Alfon masuk ke perusahaan itu tampak sama seperti ketika pertama kali Alfon melihatnya. Sejujurnya, Juan tidak jelek. Cukup tampan, malah. Hanya saja, potongan rambut model jamurnya itu … atau mangkok? Entahlah. Alfon menghela napas, menyerah.

“Saya udah bilang kan, percuma kalau Pak Alfon mau ngomentarin tentang potongan rambut saya,” celetuk Juan.

“Makanya aku nggak ngomong apa-apa,” tandas Alfon. Ia kembali mengecek jam tangannya.

“Baru semenit lewat, Pak,” beritahu Juan, seolah itu perlu.

Alfon mendesis kesal pada sekretarisnya itu.

“Dulu, di sekolah, Pak Alfon pasti suka banget sama Bu Elsa, ya?” tembak Juan.

Alfon memutuskan untuk tak menanggapi.

“Jangan-jangan, dulu pun Pak Alfon ditolak, ya?” Juan terdengar geli.

Alfon memejamkan mata kesal, mendadak teringat kenangan tak mengenakkan dengan Elsa di salah satu kafe. Saat itu, Alfon ditantang oleh Aira si penggila game. Alfon harus mengatakan suka pada Elsa. Namun, dengan dinginnya, Elsa menolak Alfon di depan pelayan kafe. Bahkan ketika Elsa tahu, itu hanya permainan. Wanita itu sudah kejam bahkan ketika masih remaja dulu. Masuk akal jika Elsa menolak Alfon bahkan sebelum Alfon meminta.

Tidak, tunggu. Kenapa Alfon jadi berpikiran seperti itu juga?

Alfon membuka mata dan menatap Juan kesal. Gara-gara Juan, sekarang Alfon tak bisa membuang kalimat Juan dari kepalanya. Tentang Alfon yang ditolak sebelum meminta.

Seolah Alfon akan meminta pada wanita es itu.

***

Ketika Elsa melihat Alfon yang sudah lebih dulu tiba di restoran pagi itu, pria itu tampak lebih rapi dari kemarin. Mungkin ia ada acara penting setelah ini. Elsa hanya menyapa Alfon dengan anggukan singkat begitu tiba di meja pria itu. Elsa duduk dan bertanya pada sekretaris Alfon, “Jam berapa jadwal Pak Alfon berikutnya?”

Juan tampak heran, tapi memberitahu, “Hari ini, Pak Alfon nggak ada jadwal selain meeting dengan Bu Elsa.”

Elsa mengerutkan kening dan menatap Alfon heran. Meski begitu, Elsa tak bertanya lebih lanjut. Ia memanggil pelayan dan memesan secangkir mochaccino. Melihat Alfon belum memesan apa pun, Elsa bertanya, “Pak Alfon?”

Alfon mengangkat alis.

Elsa mengedik ke arah pelayan restoran. Alfon menoleh ke arah pelayan restoran dan bertanya, “Kenapa kamu di sini?”

Elsa seketika melongo mendengar itu. Apa jet lag-nya belum pulih?

Sekretaris Alfon tiba-tiba tertawa keras. “Pak Alfon ini memang suka becanda,” katanya di sela tawanya yang terdengar aneh. Lalu, sekretarisnya itu memesan untuk Alfon.

Elsa merasa ada yang aneh dengan dua orang ini. Namun, Elsa memutuskan untuk tak memedulikannya.

“Sekarang, bisa kita mulai?” Elsa memastikan.

Sektretaris Alfon mengangguk keras, terlalu antusias. Sementara, Alfon masih menatap Elsa lekat. Sampai sekretarisnya menyenggol lengannya keras. Alfon menoleh pada sekretarisnya yang sudah melotot kesal pada Alfon.

Elsa menelengkan kepala heran. Sebenarnya, siapa bosnya dan siapa sekretarisnya di sini?

Namun, lagi-lagi Elsa memilih mengabaikan itu. Ia hanya ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan pergi dari sini. Ia mengeluarkan berkas yang sudah ia siapkan dan menyerahkannya pada Alfon. Elsa menjelaskan singkat mengenai gedung X-Point ini sebelum nanti ia harus membawa Alfon melihat seisi gedung.

Bangunan dua puluh tujuh lantai ini memiliki dua tower gedung. Untuk mall berada di lantai satu sampai lima, basement parkir di lantai enam sampai delapan. Di lantai sembilan, ada berbagai macam fasilitas seperti kolam renang, gym, sauna, barbeque zone, yoga zone, taman, ruang aktivitas, juga lapangan badminton.

Elsa juga menjelaskan fasilitas-fasilitas lain untuk residence, sistem keamanan, dan yang lainnya. Sepanjang Elsa memberikan penjelasan, Alfon kali ini tampak serius. Tiga bulan setelah pembangunan selesai, Elsa sudah menjelaskan hal yang sama pada penanggung jawab sementara X-Point saat itu. Namun, karena kedatangan Alfon yang kini memegang X-Point, Elsa mendapat permintaan untuk menjelaskan dan menunjukkan tempat ini pada Alfon. Bahkan mungkin, ia perlu melakukan renovasi jika Alfon meminta.

“Tiga bulan lalu, sewaktu penanggung jawab sementara X-Point melihat-lihat tempat ini, nggak ada komplain sama sekali. Setelah ini, saya akan menemani Bapak untuk melihat seluruh fasilitas di gedung ini. Jika ada yang perlu direnovasi, saya akan segera membereskannya secepat mungkin,” terang Elsa.

“Itu berarti, kamu sendiri yang akan nemenin aku keliling gedung ini, kan?” tanya Alfon kemudian, tampak antusias.

Elsa mengerutkan kening heran, tapi ia mengangguk.

Alfon mengangguk puas. “Bagus.” Ia menoleh pada sekretarisnya. “Kamu boleh pulang sekarang. Tugasmu udah selesai.”

Elsa kontan menoleh kaget hanya untuk menemukan sekretaris Alfon itu terlongo shock.

“Pak?” Sekretaris Alfon tampak meragukan keputusan Alfon.

“Aku cuma akan jalan-jalan sama Elsa keliling gedung,” kata Alfon santai.

Ganti Elsa yang terlongo menatap Alfon. Sementara, terdengar tawa aneh mendadak dari sekretaris Alfon.

“Maaf Bu Elsa, Pak Alfon memang suka becanda,” ucap sekretaris Alfon itu.

Elsa mengabaikannya dan berbicara dengan nada tegas pada Alfon, “Pak Alfon, kedatangan saya kemari untuk urusan pekerjaan. Saya …”

“Jangan,” potong Alfon tiba-tiba.

Elsa mengerutkan kening bingung.

“Jangan nolak aku pas aku nggak minta apa pun ke kamu.”

Elsa mengerjap. Oke. Baiklah. Ia semakin yakin, efek jet lag Alfon luar biasa parah.

***

Menjadi bahan tertawaan Aira dan yang lainnya? Alfon sudah terbiasa. Keenam sahabat masa sekolahnya itu, Ken, Arisa, Dio, Yura, Rey dan Aira, adalah orang yang paling terhibur setiap kali Alfon melakukan kebodohan. Setidaknya, dulu Arisa dan Yura tidak sekejam Aira. Namun, Aira telah sukses meracuni mereka untuk ikut merisak Alfon jika mereka sudah membicarakan Elsa. Meski mereka tidak separah Aira.

Alfon calon pewaris Xavier Holdings yang tampan, popular, terkenal akan kecakapannya mengurus perusahaan sejak ia masih sangat muda, seketika berubah menjadi Alfon yang idiot jika nama Elsa disebutkan.

“Jadi, kamu beneran ngomong kayak gitu ke Elsa? ‘Jangan nolak aku pas aku nggak minta apa pun ke kamu’?” sebut Aira dengan ekspresi shock tapi siap tertawa.

Alfon memijat pangkal hidungnya, frustrasi. “Yeah, I did that. Jadi, jangan ngebahas itu lagi.”

Aira akhirnya tertawa, dengan sangat puas. Bahkan sampai pengunjung lain kafe tempat mereka berkumpul itu menoleh ke meja mereka. Arisa, yang juga tertawa, meski tak seheboh Aira, menyikut Aira.

Alfon mendecak kesal. “Juan beneran ceritain semuanya ke kalian?” gusarnya pada Rey.

Rey mengangguk, tersenyum geli. Sialan pengkhianat satu itu. Ia tak pernah membantu Alfon. Bahkan di depan Elsa sekalipun. Alfon sendiri tak tahu bagaimana Juan bisa dekat dengan Aira dan Rey.

“Dia juga bilang, setelah ngomong gitu, kamu minta Elsa balik lagi besok buat nunjukin bagian Tower B gedungmu,” sebut Rey santai. “Well, lebih tepatnya sih, kamu mendadak pergi, bilang sibuk dan suruh Elsa balik lagi besok, padahal setelah Elsa pergi kamu cuma di kamarmu aja. Gabut.”

Shit.

Kembali Aira tergelak. Bahkan, kali ini Yura ikut tertawa.

“Man, where’s your pride?” pekik Aira.

Alfon memejamkan mata. Entahlah. Ia sendiri tak tahu lagi ke mana perginya harga diri sialan itu setiap kali berhadapan dengan Elsa. Rasanya, setiap kali berhadapan dengan Elsa, Alfon seolah merangkak di depan wanita itu.

“Apa rencanamu, Al?” tanya Ken tenang.

Alfon menghela napas lelah, menggeleng.

“Rencana apa? Dia cuma pengen lihat Elsa terus kan, makanya dia suruh Elsa datang lagi besok. Dengan alasan sibuk padahal gabut,” cibir Aira.

Alfon menatap tajam ke arah Aira. Wanita itu mengangkat tangan.

“Kamu beneran masih suka sama Elsa, Al?” Kali ini pertanyaan bernada serius itu datang dari Dio. “Setelah sepuluh tahun?”

Alfon menarik napas dalam, mengembuskannya kasar.

“Aku cuma nggak bisa berhenti mikiran dia. Sepanjang waktu.”

Kali ini, Aira tak menertawakannya. Ia tampak luar biasa shock. Namun, Alfon rasanya lebih baik menerima ledekan Aira daripada tatapan “Apa kamu udah gila?” yang dilemparkan wanita itu.

Meski Alfon ingin mengelak, tapi ia sendiri pun tak bisa berhenti memikirkan itu tentang dirinya. Apa ia sudah gila?

Jawabannya, ya. Karena Elsa.

***