webnovel

-1- Stop, Dream!

Setelah sepuluh tahun, bibir Alfon kembali merasakan bibir Elsa. Namun, kali ini bukan sekadar menempel singkat atau bertabrakan. Melainkan, saling beradu lembut dalam ciuman. Lebih tepatnya, ketika bibir Alfon bergerak, Elsa membuka mulut, hendak protes. Namun, itu justru membuat Alfon benar-benar kehilangan akalnya.

Alfon menangkup wajah wanita itu, tangan Elsa di bahunya. Detik berikutnya, Alfon terdorong keras dan bangun dari mimpinya. Lagi-lagi mimpi itu. Ini bahkan sudah sebulan! Alfon pasti sudah gila.

Alfon beranjak duduk dan menarik napas dalam. Pikirannya kembali pada pertemuan dengan Elsa sebulan yang lalu, di pernikahan Ken dan Arisa. Seperti di mimpinya tadi, terjadi insiden kecil setelah ciuman dalam yang tak disengaja itu. Elsa mendorong Alfon hingga Alfon nyaris terjungkal ke belakang.

Hasilnya? Tentu ia jadi bahan tertawaan teman-temannya. Alfon dilema untuk menentukan itu dalam bagian kenangan indah atau kenangan buruk.

Alfon menjatuhkan tubuh ke ranjang dan meloloskan desahan berat dari bibirnya. Hampir setiap malam, Alfon memimpikan hal yang sama. Apa itu masuk akal? Tidak. Mengingat itu mimpi macam apa, Alfon mendadak merasa dirinya seperti pria mesum yang hanya memikirkan ciuman. Meski hanya Elsa yang menjadi lawan ciumannya.

Alfon menoleh ketika ponselnya berbunyi. Telepon masuk dari Juan, sekretarisnya.

“Kenapa?”

“Hari ini Bapak ada meeting dengan CEO Hardiwijaya Property yang bertanggung jawab atas proyek X-Point Mall and Residence.”

Alfon mengerutkan kening. “X-Point Mall and Residence?”

“Tempat tinggal Bapak sekarang.”

Ah, benar. Alfon lupa, ia sudah kembali ke Indonesia untuk mengurusnya. Mungkin ini efek jet lag. Ia baru tiba di sini dini hari tadi.

“Jam berapa meeting-nya?” tanya Alfon. Ia akan tidur lagi sebelum …

“Sekarang, Pak. Ini udah jam sembilan.” Juan terdengar kesal.

“What the …” Alfon menahan umpatan dan mencari jam di ruangan itu. LCD jam digital di dinding samping kamarnya tampak menunjukkan angka sembilan. Alfon bergegas turun dari tempat tidur, tersandung selimut dan jatuh tersungkur di karpet kamar dengan menyedihkannya.

“Argh …” erang Alfon pelan merasakan nyeri di pinggangnya.

“Pak Alfon nggak pa-pa?”

“Nggak pa-pa. Kamu cepat ke sini dan siapin semua yang aku perluin.”

“Saya udah nyiapin semuanya dari kemarin, Pak,” jawab Juan.

Alfon menutup telepon dan bergegas ke kamar mandi. Ia merasa sedikit pusing karena bangun seperti tadi. Efek jet lag yang parah.

***

Keterkejutan.

Itulah yang tampak dengan sangat jelas di wajah Alfon ketika mereka bertemu. Bahkan mungkin, di wajah Elsa juga. Namun, Elsa segera mengendalikan diri dan memasang wajah tenang.

“Kamu … CEO Hardiwijaya Property?” tanya Alfon tak percaya.

Elsa mengangguk. “Tapi, kamu … dari Xavier Holdings?”

“Well, namaku Alfonso Xavier.” Pria itu menunjukkan ekspresi aneh ketika menyebutkan itu.

“Aku … well, sekarang aku ingat.”

Elsa berusaha untuk tidak terlalu merasa bersalah. Mereka hanya setahun berada di kelas yang sama, duduk bersebelahan. Bukan salahnya jika Elsa tidak ingat. Alfon terlalu berlebihan jika ia tersinggung hanya karena hal seperti itu.

Elsa berusaha untuk tetap tenang ketika Alfon masih belum pulih dari keterkejutan dan kini memandang Elsa lekat setelah mereka duduk berhadapan di salah satu meja di restoran gedung X-Point.

“Um … Pak Alfonso?” panggil Elsa hati-hati.

Alfon mengerjap, lalu tergagap, “Y-ya? Kamu manggil aku?”

Elsa mengangkat alis.

“Maaf, Bu Elsa. Pak Alfon baru dini hari tadi tiba di sini, jadi sepertinya masih mengalami jet lag,” terang sekretaris Alfon. Pria yang tampaknya lebih muda dari Alfon itu lantas menyenggol lengan Alfon, menegurnya. “Pak, itu CEO Hardiwijaya Property, bukan teman sekolah Bapak.”

“It’s okay. Sebenarnya, kami memang teman sekolah,” beritahu Elsa.

Juan ternganga terkejut, sebelum tersenyum canggung. Namun, membalas kebaikan Elsa barusan, Alfon malah tiba-tiba menyinggung hal yang tak seharusnya ia singgung di sini.

“Elsa, tentang ciuman kita waktu itu …”

“APA?!” Suara kaget Juan itu tak hanya sukses mengagetkan Elsa, tapi juga menarik perhatian pengunjung retoran lainnya.

Sektretaris Alfon itu tampak shock ketika menyadari reaksinya sendiri. Ia gelagapan.

“Bu Elsa, itu … maaf, saya … maaf. Pak Alfon juga …”

“Kamu bisa pergi,” Elsa memotong datar. “Hari ini, saya cuma akan ngobrol santai sama bosmu. Sepertinya dia masih jet lag.”

“Oh, i-iya, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu.” Sekretaris Alfon itu berdiri, membungkuk kecil pada Elsa, menatap Alfon cemas sesaat, sebelum akhirnya pergi.

Detik berikutnya, Elsa menatap Alfon tajam. “Apa yang kamu lakuin?”

Alfon masih menatap Elsa lekat, tak sedikit pun menyadari jika barusan ia telah membuat keributan dan membuat sekretarisnya terguncang seperti itu.

Elsa mendecak kesal, mengambil bolpoin dan mengetukkannya ke kening Alfon. Seketika, pria itu mengerjap, lalu mengaduh.

“Ah. Kamu masih marah gara-gara ciuman waktu itu?”

Elsa menyipitkan mata kesal. Sebenarnya, ia berniat melupakan itu, menganggap seolah itu tak pernah terjadi. Ia pikir, ia sudah melupakannya. Sampai Alfon muncul di depan hidungnya dan menyebutkan itu seolah itu adalah hal yang patut diceritakan ke sana-kemari.

“Sekali lagi kamu bahas tentang itu di depan orang lain, aku nggak akan tinggal diam,” ancam Elsa serius.

Alfon tak menjawab, tapi ia kembali menatap Elsa lekat-lekat. Elsa mengernyitkan kening heran. Sepertinya pria ini benar-benar mengalami jet lag parah.

“Dengar, aku ke sini buat ngomongin masalah perusahaan, tapi karena kayaknya kamu nggak dalam kondisi buat itu, aku akan tunda. Dan ingat, jangan pernah lagi ngungkit tentang … itu di mana pun,” tegas Elsa.

Elsa sudah berdiri, tapi Alfon tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya dan menarik Elsa duduk. Elsa melotot galak.

“Ini bukan mimpi, kan?”

Pertanyaan bodoh Alfon itu membuat Elsa mendesis kesal.

“Bukan! Tapi, aku saranin kamu tidur lagi buat balikin akal sehatmu yang kayaknya nggak ikut kebawa pas kamu ke sini.” Elsa menghempas pegangan tangan Alfon kasar dan beranjak pergi.

Apa-apaan pria itu? Kenapa pula Alfon yang harus menjadi perwakilan Xavier Holdings? Apa mereka tak bisa mengirim orang lain? Elsa benar-benar sial.

***

Alfon yang akhirnya sadar jika ini bukan bagian dari mimpinya dan Elsa sudah pergi, bergegas berdiri. Alfon berlari mengejar Elsa. Ia melihat wanita itu memasuki lift. Alfon sudah akan menyusul Elsa, tapi tiba-tiba Juan muncul di depannya.

Alfon mendecak kesal dan mendorong Juan menepi. Namun, Juan malah memegangi bagian belakang kerah jasnya ketika Alfon hendak pergi. Alfon menoleh kesal.

“Pak Alfon mau ngapain?”

“Aku mau ngejar Elsa. Kamu nggak lihat?” galak Alfon.

Juan menggeleng. “Jangan bikin masalah tambahan sama Bu Elsa, Pak. Apa Bapak nggak malu?”

“Malu kenapa?” sentak Alfon seraya menepis tangan Juan.

Juan mengedik ke arah lift. “Pak Alfon ditolak sama Bu Elsa, kan?”

Alfon mendengus tak percaya. “Aku? Ditolak dia? Dari mananya?”

“Udah kelihatan, Pak. Jelas banget Bapak ditolak. Pak Alfon nggak lihat ekspresi Bu Elsa waktu Pak Alfon ngebahas … ehm, ciuman itu?”

Alfon mengerutkan kening. “Memangnya kenapa sama ekspresinya Elsa?”

Juan menatap Alfon seolah ia idiot. “Pak, Bu Elsa kelihatan jelas banget nggak pengen ngebahas itu. Dia kelihatan kesal. Jelas-jelas Pak Alfon ditolak. Makanya kan, Bu Elsa ninggalin Pak Alfon kayak gini?”

Alfon tertegun.

“Pak Alfon nggak pa-pa?” tanya Juan hati-hati.

Alfon menoleh ke arah lift, lalu mendengus. “Ditolak? Aku bahkan nggak minta apa pun ke dia. Ditolak dari mananya?”

“Pak, itu tadi udah jelas Bapak ditolak. Bahkan sebelum Pak Alfon minta apa pun ke Bu Elsa, Pak Alfon udah ditolak.”

Ugh. Kalimat Juan seketika menyadarkan Alfon. Ia benar-benar terbangun dari mimpinya kini.

***

Next chapter