webnovel

-10- Hand to Hand

Minggu pagi itu, Alfon dan Elsa sudah kembali bertemu. Elsa sebenarnya sudah merasa cukup dengan pertemuan ketika makan malam nanti, tapi Alfon berkeras mereka harus bertemu dan fitting stelan dan gaun untuk pernikahan mereka. Tentu saja itu bukannya tanpa alasan. Di telepon tadi, pria itu menyebutkan tentang Elsa bertambah gemuk.

Oh, harus berapa lama lagi Elsa menahan diri? Setiap kali pria itu berbicara, kesabaran Elsa selalu diuji.

Namun, Elsa terkejut ketika keluar dari pintu garasi di sisi kanan rumahnya dan melihat Alfon berdiri di depan gerbang rumahnya yang tidak terlalu tinggi. Pria itu melongok ke dalam seperti maling.

“Kamu ngapain di situ?” tanya Elsa keras dari tempatnya.

Alfon menoleh ke arahnya, lalu melambaikan tangan, tapi tiba-tiba menurunkan tangannya dan menggedor gerbang. Apa masalah pria itu sebenarnya?

Elsa memutar mata dan mendekat ke gerbang untuk membukanya.

“Kamu ngapain ke sini? Bukannya kita janjian ketemu di butik?” tanya Elsa ketika Alfon masuk.

“Karena aku udah tahu rumahmu, makanya aku datang ke sini. Tapi, Juan bilang, kamu tinggal sendiri, nggak sama papamu.”

“Aku bukan anak kecil. Aku nggak harus tinggal sama papaku,” balas Elsa ketus.

“Aku selama ini tinggal sama Papa. Baru pas aku pindah ke X-Point aku tinggal sendiri.”

Hening. Elsa tak berniat menyindir atau meledek Alfon, tapi pria itu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu setelah apa yang dikatakan Elsa tadi. Elsa tak tahu berapa lama mereka saling diam dengan canggung, tapi Alfon tiba-tiba tertawa. Elsa sampai terlonjak kaget.

“Jangan salah paham, aku bukan anak papi, kok.”

“Well, aku nggak ngomong apa pun,” balas Elsa, agak kesal karena dibuat kaget oleh tawa pria itu. Terkadang, Alfon agak mengerikan memang.

Alfon mengangguk puas. “Kalau gitu, kita pergi sekarang?”

Elsa mengangguk, mengalah. Ia pun lantas menutup gerbang dan mengikuti Alfon ke mobil pria itu. Ketika Alfon membuka pintu sisi penumpang, Elsa pergi ke sisi pengemudi. Mungkin pria itu sedang malas menyetir.

“Mana kuncinya?” Elsa meminta sembari membuka pintu.

Alfon menatapnya, tampak terkejut. “Ku-kunci?”

“Kunci mobilnya,” sahut Elsa tak sabar.

Detik berikutnya, Alfon tampak sibuk mencari kunci yang ada di tangannya. Pria itu merogoh saku celananya.

“Di tanganmu,” Elsa memberitahu.

Alfon tersadar.

Rumor pengusaha muda yang sangat cerdas tentang Alfon itu tidak salah, kan? Elsa mendadak meragukan itu. Apalagi ketika Alfon menyodorkan kunci itu dari atas mobil.

“Lempar aja,” ucap Elsa gusar.

Alfon tampak ragu.

“Cepat, Al! Aku belum makan, jadi aku mau mampir sarapan dulu,” kata Elsa lagi.

Alfon akhirnya melempar kuncinya. Elsa berhasil menangkap kunci yang nyaris menghantam wajahnya itu. Alfon sepertinya punya dendam terpendam pada Elsa. Tak ingin memikirkan hal aneh lainnya tentang pria itu, Elsa segera masuk ke mobil.

Elsa menunggu Alfon yang kemudian masuk, memasang seat belt-nya. Baru Elsa menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil Alfon itu. Harus Elsa akui, pria itu punya selera mobil yang bagus.

***

“Kamu jemput dia, tapi dia jadi sopirmu?” Aira bahkan tak sedikit pun berusaha menahan tawa setelah mengucapkan itu.

Alfon mendecak kesal dan menatap sekeliling kafe. Siang itu kafe tampak ramai. Lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena ini hari Minggu.

“Udah gitu, ajakan makan siangmu ditolak, pula,” tambah Rey.

“Tapi, aku tadi pagi udah sarapan bareng dia,” balas Alfon.

“Aku penasaran, seberapa besar rasa sukanya Alfon ke Elsa sampai dia jadi seekstrim ini?” celetuk Ken.

Alfon mengabaikan itu.

“Nggak bisa diungkapkan, Ken. Kamu lihat sendiri kelakuan dia. Honestly, aku malu harus ngaku jadi sahabatnya.”

Alfon melotot kesal ke arah Aira.

“Trus, nanti malam juga kamu ketemu Elsa lagi kan, Al?” tanya Dio.

Alfon mengangguk antusias, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

“Alfon, please …” Aira terdengar begitu putus asa.

“Apa?” tanya Alfon bingung.

“Jangan nunjukin perasaanmu sejelas itu ke Elsa,” Aira melanjutkan.

Alfon tertegun.

Arisa kemudian membela Alfon, “Emangnya kenapa? Lagian, mana ada cewek yang nggak suka kalau ada cowok yang suka sama dia, kayak Alfon suka ke Elsa?”

“Ada, Arisa. Cewek itu Elsa. Cewek yang disukai Alfon,” jawab Aira.

Alfon mengernyit. Apa Elsa sebenci itu pada dirinya?

“Nggak mungkin separah itu juga kali, Ai,” cetus Yura. “Emangnya, Elsa benci sama Alfon? Sampai segitunya …”

“Dia emang benci sama aku,” aku Alfon. “Sejak sepuluh tahun yang lalu, dan setelah sepuluh tahun berlalu. Itu nggak berubah. Aku udah terbiasa, sih.”

Mungkin Alfon juga akan terbiasa dengan tatapan iba teman-temannya itu.

***

Elsa memperhatikan Alfon yang lebih banyak diam dan melamun sepanjang acara makan malam. Bahkan, pria itu tak menjawab ketika papanya berbicara padanya. Elsa sampai harus menyenggol lengannya.

Alfon menoleh pada Elsa, tampak kaget.

“Apa? Kamu butuh sesuatu?” tanya pria itu pada Elsa.

Elsa tersenyum kecil, senyum palsu, sembari menggeleng. “Papamu ngomong sama kamu.”

Alfon lantas menoleh ke depan, ke arah papanya yang duduk di seberang meja.

“Apa? Papa ngomong sama Alfon?” Alfon terdengar kesal ketika berbicara pada papanya.

Namun, dengan santai papanya menjawab, “Kamu udah beresin semua urusanmu di kantor kan, sebelum hari pernikahanmu? Kalau nggak, nanti kamu nggak bisa pergi bulan madu.”

Alfon mendecak kesal. “Itu urusan Alfon.”

Elsa tak yakin ia berhak menengahi pertengkaran keluarga itu, tapi melihat ekspresi papa Alfon, Elsa memutuskan untuk ikut campur.

“Kami belum nentuin ke mana mau bulan madu, Om.” Seketika, semua tatapan tertuju padanya. Elsa berusaha untuk tersenyum santai. Ia menggenggam tangan Alfon yang ada di atas meja. “Alfon juga baru pindah ke sini, jadi pasti ada banyak pekerjaan yang harus dia beresin. Nanti, begitu urusan kerjaan Alfon beres, mungkin kami baru mikirin tentang liburan bulan madu.”

Papa Alfon mengangguk-angguk. Namun kemudian, Elsa dikejutkan dengan Alfon yang menarik tangannya tiba-tiba. Elsa nyaris melemparkan tatapan peringatan pada pria itu. Hingga ia merasakan tangan Alfon membalik tangan Elsa di atas meja dan menautkan tangan mereka.

Elsa tak bisa melakukan apa pun ketika papa Alfon dan papa Elsa menatap tangan yang bertaut di atas meja itu.

“Mungkin Papa yang udah ngatur perjodohan ini. Tapi, Papa nggak bisa ngatur pernikahan kami.” Alfon mengangkat tangannya dan tangan Elsa yang bertaut di depan kedua papa mereka. “Pernikahan kami itu urusan kami. Aku sama Elsa.”

Papa Alfon mengangguk mengakui. “Oke, Papa nggak akan ikut campur.” Papa Alfon lalu menatap ke papa Elsa. “Maaf ya, anak ini emang keras kepala.”

Papa Elsa menggeleng. “Justru aku sangat berterima kasih karena dia mau nikah sama Elsa.”

Kalimat papanya itu membuat Elsa merasa begitu rendah di hadapan Alfon. Namun, ia berusaha menjaga kendali dirinya dan bersikap tenang. Bahkan meski ia luar biasa malu di hadapan pria yang pernah ditolaknya itu.

Ah, tidak juga. Dulu pun hanya permainan. Elsa tak pernah menolak Alfon. Justru sebaliknya, ialah yang ditolak pria itu. Hingga ia harus memohon dengan menyedihkan beberapa minggu lalu.

Setelah semua ini, adakah harga diri Elsa yang tersisa di depan Alfon kini?

***