webnovel

Jodoh dan Takdir

menikahi kekasih sodara kembar, tentu bukan pilihan. Namun apa daya saat tuhan malah menakdirkan Adila menikah dengan kekasih sodara kembarku sendiri. Adila saat itu benar-benar terjebak dengan permintaan terakhir kakanya sendiri, begitu juga Fadhil. Alhasil Adila dan Fadhil menikah tepat di hadapan Aira di detik-detik terakhirnya menghembuskan napas terakhir. Akankah pernikahan mereka berakhir bahagia, ataukah hanya pernikahan yang bersifat sementara.

Ayyana_Haoren · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
25 Chs

bab 25. keheningan

FADHIL P.O.V. ON

Happy Reading.

Setelah menghentikan mobil, Aku menyuruh Adila untuk segera masuk ke dalam Taxi. Adila yang saat itu masih sibuk dengan telepon genggam, dengan menghubungi Satya secara terus menerpun Akhirnya masuk ke dalam mobil.

"Tuan, nyonya kemana kita akan pergi?"Tanya seorang supir taxi.

"Ke Storchen Zurich - Lifestyle Boutique Hotel," Ucapku singkat

Setelah mendapat perintah, supir pun, langsung melajukan mobilnya.

"Sudahlah, Satya tidak peduli denganmu, kalo dia peduli mana mungkin dia pergi begitu saja meninggalkanmu,"Ucapku dengan tatapan ke arah kaca depan, tanpa melirik Adila sedikitpun.

"Apa yang kalian bicarakan sebenarnya, sampai dia pergi begitu saja. Pasti kamu menyakitinya, atau mungkin kamu mengancamnya, iya kan! Jawab jujur,"Ucap Adila memukul tangan kananku dengan tas miliknya, mungkin karna dia merasa kesal.

"Haha...! Kamu gila, aku tak selicik itu."Ucapku

"Terus apa yang membuatnya pergi, tidak mungkin kalo tidak terjadi apa-apa pada kalian,"Desak Adila dengan begitu kesal.

Adila terus saja memaksa diriku agar jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi namun aku diam saja tidak menggubris ucapan Adila.

Sedangkan supir taxi terus fokus menyetir karna dirinya tidak mengerti apa yang dibicarakan kami berdua.

"Jawab aku, jangan hanya diam aja,"Ucap Adila terus saja memukuliku, dan akhirnya akupun menghentikan pukulan Adila yang lumayan cukup keras dan membuatku sakit.

"Okey, aku akan bicara terus terang,"Tegasku menatap Adila dan mencoba menahan pukulannya.

"Cepat katakan,"Bentak Adila.

"Aku bicara padanya kalo kamu istriku, tidakah dia merasa malu karna terus saja mengejar-ngejar istri orang. Dan aku menyuruhnya untuk tidak mendekatimu lagi. Setelah itu dia pergi begitu saja"Ucapku menjelaskan.

"Tidak mungkin, tidak kungkin dia seperti itu, apalagi dia mau meninggalkanku. Dia sudah janji akan menikahiku"Ucap Adila menggeleng-gelengkan kepalanya merasa tak percaya.

"Tapi itu kenyataannya, dia pergi begitu saja, itu artinya dia memang tidak menycintaimu,"Ucap Fadhil.

"Kamu bohong, Satya bukan lelaki seperti itu, dia mencintaiku, begitu juga denganku yang mencintainya. Aku tegaskan sekali lagi pada dirimu. Aku mencintai Satya, dia laki satu-satunya yang aku cintai. Dan aku benci pada dirimu, bahkan rasa benci itu semakin bertambah di dalam diriku, kau menjijikan, keluar dari mobil ini sekarang juga, aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Aku ingin kau menghilang dari hidupku, pergi dan cepetan keluar,"Ucap Adila mendorong  tubuhku ke pintu mobil.

Karna Adila begitu marah  akhirnya akupun turun dari Mobil. Lalu memberi beberpa lembar uang pada supir taxi.

Setelah itu, taxi yang Adila tumpangi melaju dengan begitu cepat meninggalkanku.

"Maafkan Aku Adila, maafkan aku karna ada beberpa hal yang tak bisa aku ceritakan padamu, entah kenapa aku tidak mau melihatmu terluka dikemudian hari, begitu pula aku yang tak pernah ingin melukai Aira di masa itu.

"Wajah kalian begitu mirip, bahkan sulit untuk di bedakan sedikitpun, saat aku melihat Adila seakan tak bisa lepas dari osok Aira. Ya tuhan sampi kapan permainanmu akan terus berlanjut seperti ini,"Gumamku sambil mengusap kasar wajahku.

Akupun terus berjalan mengarungi jalanan, menatap kosong keramaian yang ada di sekitar. Tak peduli berapa orang membenturkan tubuhnya, pada tubuhku. Aku masih diam dalam kerumunan orang-orang. Seperti hidup namun jiwaku terasa sepi.

Membayangkan kebahagiaan yang lama hilang, seakan ingin mengulangnya kembali. Sepanjang perjalanan bayanganku tak bisa lepas dari sosok perempuan yang sudah lama pergi.

Aku merindukannya, bahkan sangat merindukannya. Ingin rasanya aku menjerit sampai suaraku benar-benar habis. Namun jiwaku lebih lemah dari pada tubuhku.

Sampai pada akhirnya aku pun berjalan di tempat yang sepi, seakan kesepian itu menyatu dalam diriku.

Tatapanku sayu, seolah melebur dengan balutan air mata yang berkaca-kaca sampai pada Akhirnya Cahaya terak menyoroti pandanganku dan semakin mendekat.

Cekittttt....Bruaaakkk.

POV OFF

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG