webnovel

Rahasia Keluarga Bintang Pramudya

Kediaman Bintang Pramudya di Bangkok, Thailand.

Wulan pandangi album foto lama di pangkuannya. Ia ada di dalam kamarnya. Bayi perempuannya yang sudah tidak ada lagi. Di saat yang sama, tebersit rasa rindu yang sangat pada sosok yang tidak ada di dalam foto lawas tersebut yang tidak pernah bisa ia sentuh.

"Chai, kamu belum makan apa pun dari pagi, hanya cairan saja yang masuk ke dalam lambung."

"Mee, aku tidak lapar. Aku rindu anak-anakku."

Chai adalah sapaan sayang kepada anak perempuan dari orang terdekat. Sebaliknya Mee digunakan kepada wanita yang lebih tua yang sudah dianggap seperti ibu sendiri. Nama panggilan sebenarnya adalah Devinta Aditia.

"Hati-hati Chai, kita tidak boleh sembarangan bicara. Tembok juga bertelinga. Kita tidak bisa asal ucap."

Devinta sambil melirik ke kiri dan ke kanan karena takut ada orang yang lewat.

"Bisakah kamu atur agar aku jumpa dengan putraku?"

"Haduh, Chai tidak ada anak laki-laki. Hanya anak perempuan saja tapi sudah lama meninggal. Sejak masih kecil. Apa Chai sudah lupa?"

"Setidaknya, berikan aku satu foto saja, yang bisa redam rasa rindu ini. Aku merasa sangat kesepian."

Devinta menutup pintu kamar yang tadinya masih belum rapat dan menguncinya.

"Chai, jangan lagi bicara tentang anak. Saya takut kalau ada yang lewat dan menguping percakapan kita. Akhir-akhir ini, saya amati tuan Bintang tambah penjaga. Banyak orang berwajah baru."

"Bantu saya, Mee. Tolong cari cara agar saya bisa lihat parasnya."

"Apa yang Chai akan jelaskan kalau tuan tanpa sengaja lihat foto yang berhasil saya bawa?"

"Tidak mungkin ada yang tahu. Tapi, kalau pun terlihat, aku akan jelaskan dengan alasan yang logis. Bagaimana kalau kamu bujuk dia untuk bekerja di sini. Jadi aku bisa dekat dengannya."

"Tidak mungkin, Chai. Jangan tempatkan saya pada situasi sulit seperti ini. Ingat akibatnya, Chai."

"Aku tidak peduli lagi dengan status dan kedudukanku. Aku hanya ingin dicintai olehnya."

"Aduhhh! Chai, kalau tuan Bintang dengar kata-kata Chai dia pasti akan sangat sedih. Sudah! Sudah! Sebaiknya kita keluar dari sini dan cari udara segar di taman."

Devinta raih album foto yang ada dalam genggaman anak asuhnya dan ia letakkan di dalam laci lemari yang paling bawah.

Wulandari yang disapa Chai tidak membantah. Ia biarkan Devinta mengandengnya untuk tinggalkan kamar.

Di saat yang sama, suami dari Wulan baru menapaki ujung tangga lantai dua.

"Miia, mau ke mana?"

"Tuan Bintang!" sapa Devinta setengah membungkuk.

"Salah satu bunga di taman baru saja mekar. Aku ingin melihatnya."

"Biar aku temani, Devinta."

Inang pengasuh Wulan segera undur diri dan biarkan pasangan suami istri itu sendirian.

"Kamu baru pulang, pastinya sangat lelah. Seharusnya biar aku ditemani inang pengasuhku."

"Aku minta maaf. Sudah satu minggu aku tidak bersamamu. Begitu banyak tempat yang harus kukunjungi jadi perjalananku diperpanjang."

"Kalau saja kita punya anak, tentu sudah ada penerus bagimu. Aku memang istri yang tidak begitu bermanfaat."

"Jangan ungkit lagi masalah lama. Kita hanya perlu jeli amati orang yang tepat untuk warisi semua pekerjaanku suatu hari nanti."

"Suamiku Bintang, apakah aku bisa percaya padamu?" tanya Wulandari sambil pelankan suaranya.

"Ya, tentu saja. Pertanyaan apa itu? Mengapa suaramu begitu pelan?"

"Kita bicara di sana," balas Wulan sudah melangkah lebih cepat.

"Ada apa?" tanya Bintang begitu mereka sudah ada di pinggir danau yang membentang di depan kediaman mereka yang megah layaknya istana sultan.

"Aku sebenarnya takut jujur padamu karena aku sudah lakukan sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku."

"Omong kosong apa ini? Aku begitu memujamu, kenapa kamu takut padaku?"

"Aku tahu kamu memang cinta padaku. Tapi, semua kekayaan dan nama besar yang ada padamu buat aku tidak berkutik dan tidak ada daya apa pun. Selama ini, aku hidup dalam ancaman rasa takut. Dua puluh satu tahun sudah aku pendam semua rasa ini."

"Kamu benar. Aku punya semuanya. Tapi, aku juga sedih karena semua yang aku miliki saat ini tidak bisa hapuskan duka yang ada dalam hatimu. Bahkan, kehadiranku tidak bisa buat kamu bahagia."

"Aku tidak mau kamu ikut bersedih. Aku hanya ingin keluarkan semua yang aku pendam. Tapi, aku belum tahu caranya dan kepada siapa. Inang pengasuhku sudah tahu semua isi hatiku tapi belum cukup."

"Miia, kalau kamu merasa sakit, kita bisa ke dokter. Aku tahu, kehilangan seorang anak bukanlah hal yang mudah. Tapi, putri kita sudah tenang di alam baka. Delapan belas tahun kamu meratap bukan hal yang sehat. Aku akan jadwalkan pertemuan dengan dokter ahli terbaik. Aku akan temani kamu."

'Apakah rahasia ini bisa aku ungkap sekarang? Tapi, Bintang tidak boleh tahu kalau aku sudah paham hubungan mereka yang sesungguhnya. Tidak hanya rekan bisnis tapi Katy punya seorang anak laki-laki darinya,' batin Wulandari galau.

"Suamiku, berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan ingkar janji. Aku mau bertemu dokter hanya jika kau temani."

"Aku janji. Kalau kamu ingin istirahat selama program konsultasi dengan dokter, aku bisa minta orang untuk tangani kerjamu."

"Jangan, aku tetap ingin jadi pebisnis karena itulah salah satu pelampiasan positif bagiku. Aku akan bilang asistenku untuk longgarkan jadwal jika aku lelah."

"Percayalah, aku tidak ingin kamu khawatir. Meski pun kita tidak akan punya penerus, aku akan berumur panjang. Aku sudah punya rencana dan ada kandidat penggantiku di masa yang akan datang."

Bintang memeluk istrinya dan bicara dengan sangat lembut untuk yakinkan Wulandari kalau ia tidak perlu banyak pikiran karena semuanya sudah dipersiapkan dan dipikirkan dengan matang-matang.

Menjelang matahari terbenam, mereka masuk kembali ke dalam rumah.

Bintang langsung beristirahat di kamar sedang Wulandari menuju kamar Devinta.

"Mee, buka pintunya!" panggil Wulan sambil menggedor pintu inang pengasuhnya.

"Chai, kenapa tidak telepon biar saya ke lantai dua?"

"Suamiku ada di dalam kamar. Kamu harus turuti permintaanku, sebelum semuanya terlambat. Bintang sudah punya kandidat untuk jadi penggantinya. Dia bilang kalau sudah persiapkan segala sesuatu jadi aku tidak perlu khawatir. Kita harus bergerak cepat, jangan sampai dia salah tentukan pewaris semua usahanya. Tolong, Mee!" pinta Wulan begitu Devinta sudah menutup pintu kamarnya.

"Jangan bicara lagi!" sahut Devinta menutup mulut Wulandari lalu mengatupkan tangannya di atas punggung telapak tangan milik Wulandari.

"Saya akan pikirkan caranya. Jangan desak saya lagi. Tunggu saja dan saya mohon, ini terakhir kalinya Chai bicara tentang hal ini, di sini. Saya bersumpah, jika tuan Bintang sampai tahu, saya akan angkat kaki dari sini. Saya tidak bisa bayangkan murka yang akan dia timpakan untuk kita berdua."

Devinta berkata dengan sangat pelan tapi tegas dengan ekspresi serius dan tegang. Wulan mengangguk setuju karena ia juga sangat takut dan ia bisa rasakan tangan inang pengasuhnya itu bergetar saat berbicara.

Mereka memang menyimpan sebuah rahasia besar selama puluhan tahun.

Di negara yang berbeda.

Wira menutup laptopnya. Dia baru selesaikan modul ajarnya.

Indah sedang tidak bersamanya jadi ia bisa fokus. Ia teringat wanita lain yang juga sangat penting dalam hidupnya. Ibunya yang tinggal terpisah darinya. Meski mereka ada di kota yang sama, ia tidak rutin pulang. Bukan berarti mereka punya masalah dalam hubungan anak dan ibu tapi memang ibunya sangat pengertian dan tidak pernah memaksa Wira untuk selalu menjenguknya.

Wira sangat bangga padanya karena ia begitu mandiri besarkan Wira dari bayi sejak ayah Wira berpulang. Mereka punya toko kebutuhan bahan pangan yang tidak besar tapi cukup untuk sekolahkan Wira.

Makanya, pemuda itu bertekad untuk bisa punya penghasilan sendiri dan lanjutkan pendidikan tinggi dengan jalur prestasi atau beasiswa agar bebas biaya.

Ia kadang malu karena apartemen pun dihadiahkan oleh ibunya saat ia lulus sarjana strata satu dengan hasil sangat memuaskan, mahasiswa dengan nilai tertinggi di angkatannya.

Alasan lain ia jarang pulang, karena selalu disambut dengan pertanyaan, mana wanita yang beruntung karena ibunya sudah ingin punya cucu.

Wira masih belum ada niat untuk menikah karena baginya, kariernya jauh lebih penting. Indah pun bukan wanita yang ia akan jadikan istri. Hubungan saling menguntungkan yang Wira cari, bukan komitmen jangka panjang yang serius.