webnovel

Saras Taklukkan Hadi

Tiga sekawan, Saras, Livia dan Viana masih sibuk makan tapi juga sambil amati meja di sudut restoran, dimana Wira dan kekasihnya sedang berada.

"Apa kita biarkan saja asdos itu dibohongi oleh kekasihnya?" tanya Livia tidak terima lihat kebaikan asdos pada wanita yang ia sedang layani dengan penuh pengertian.

Memang terlihat si asdos mondar mandir bawakan baki seperti sedang ambilkan menu yang diminta kekasihnya.

"Mungkin mereka bersaudara, bukan seperti dugaan kita," ucap Saras ikut nimbrung.

"Kalau kamu dan abangmu keluar bersama, dia akan perlakukan kamu seperti tuan putri yang dilayani?" tanya Viana ingin tahu.

"Mana ada, aku justru yang diperintah untuk melayaninya," sahut Saras ingat pengalamannya bersama Dewo.

"Nah! Berarti itu memang pacarnya, bukan saudaranya," simpulan Livia.

"Aku masih boleh ambil makanan di meja sebelah yang bukan paketan?" tanya Viana sudah berdiri.

"Semua boleh untukmu Sayangku. Apalagi ini hari bahagiamu. Jangan sampai kamu tidak merasa puas."

"Terima kasih Cintaku," balas Viana mencubit manja pipi kanan Saras.

Mereka benar-benar habiskan waktu lama di restoran itu sampai Viana berhasil merasakan semua menu yang ada, tepat seperti yang ia katakan.

Saras sendiri menyerah dengan dua hidangannya saja yaitu spaghetti dan es krim tiga rasa.

Livia juga tidak makan sebanyak yang berulang tahun.

Ketiganya keluar dari restoran dengan siap siaga jika harus memapah Viana yang sudah kekenyangan sampai susah berjalan.

"Pelan-pelan saja nyetirnya, Saras. Aku khawatir si bayi bakal muntah. Makannya luar biasa tak terkendali."

"Siap, laksanakan!"

Sementara itu, Wira bersama kekasihnya juga menuju apartemennya yang terletak tak jauh dari pusat kota. Letaknya cukup strategis dan tidak begitu jauh dari kampus di mana ia mengajar.

Wira memang dari almamater yang beda dengan kekasihnya. Tapi, ia punya banyak kenalan dosen di sana.

"Beristirahatlah kalau memang kamu lelah. Ada tugas mahasiswa yang harus aku periksa," ujar Wira saat mereka sudah masuk.

"Kamu yakin tidak ingin temani aku?" tanya Indah, kekasih dari Wira.

Wanita itu sudah menarik lengan Wira untuk memeluknya dan ia mulai menggodanya dengan berikan kecupan-kecupan singkat di leher kekasihnya.

"Kamu ganti parfum?" tanya Wira tanpa sengaja.

"Mana ada. Aku pake merk yang sering kukenakan."

"Coba kamu cek lagi. Aku mau ganti sepatu sebentar," balas Wira bebaskan dirinya dari pelukan Indah.

Wanita itu mengendus tubuhnya sendiri di lengan dan area segitiga dari kemejanya.

'Sialan, ini memang aroma parfum cowok. Wah, bahaya ini kalau sampai Wira tahu. Sudah pasti aroma dari Andre karena ia paling suka menggodaku dari depan. Mana aku tidak bawa parfumku lagi. Apa aku kabur saja, karena alasan datang bulan? Mana aku sudah pengen dan sekresi lagi. Atau aku bisa berkunjung ke rumah Andre, lanjutkan permainan yang tertunda tadi. Dia pasti bahagia,' batin Indah.

"Betul 'kan? Sudah tahu bedanya?"

"Iya nih. Seperti ada bau tembakaunya juga. Apa karena tadi aku agak lama dalam lift dan memang ada bapak-bapak yang napasnya itu kayak simpan asap setelah merokok."

"Hmmm, bisa jadi."

"Aku ke toilet dulu sebentar," elak Indah.

Wira tidak begitu peduli lagi dengan masalah parfum. Ia memang lagi banyak kerja yang tertunda dan ingin dicicil satu per satu agar bisa beres.

Ia baru saja dapat tawaran jam mengajar dari profesor Imam. Artinya, ia harus siapkan silabus turunan untuk jam ngajarnya dari perangkat yang sudah dikirim profesor.

Tambahan jam ngajar ia sangat butuhkan untuk syarat lanjutkan program doktoralnya. Ia harus bekerja lebih keras lagi.

"Wira, aku datang bulan. Aku juga tidak bawa pembalut," seru Indah dari dalam kamar.

"Ada mini market di bawah kalau kamu mau aku belikan," tawar Wira.

"Tidak usah, Say. Kamu memang kekasih paling baik yang aku punya. Tapi, aku pulang saja biar sekalian tidur panjang. Lain waktu kita lanjutkan percintaan kita."

"Padahal aku sudah mulai 'on' nih," goda Wira.

"Kamu memang mudah ditaklukkan, kok. Aku janji, empat hari lagi kalau siklus biologis ini sudah rampung, aku akan berikan layanan paling prima sampai kamu tidak sanggup berdiri lagi."

Bibir mereka saling berpaut dan keduanya tenggelam dalam lumatan panjang sampai Indah yang lepaskan dirinya terlebih dahulu.

'Bibir kekasihku tidak semanis gadis asing yang merayuku waktu itu. Bodoh, kenapa aku malah ingat dia,' batin Wira setelah dapatkan kecupan di pipi dari Indah yang langsung pamit tinggalkan apartemennya.

Sementara Saras juga sudah sampai rumah. Ia antarkan Viana terlebih dahulu barulah Livia.

"Saras, kamu baru pulang?" sambut Anita yang memang sedang baca majalah di ruang tamu.

"Malam, Mi. Iya, hari ini Viana ulang tahun jadi kami masih makan dulu."

"Papi mau bicara sama kamu. Tunggu kamu mandi saja supaya sambil makan malam?" tawar Anita.

"Apa sekarang aja, Mi. Saras sepertinya terlalu kenyang. Tidak sanggup makan malam lagi. Tadi terlalu banyak makan spaghetti."

"Boleh. Ayo, kita ke ruang kerjanya."

"Mami sudah bicara dengan bang Dewo?" tanya Saras.

"Sudah. Abangmu sangat setuju dengan syarat yang kamu usulkan. Dia bilang itu sudah ide yang cemerlang."

"Abangku memang yang terbaik. Aku jadi kangen. Kapan dia datang sih, Mi?"

"Dia bilang nanti mau minta cuti dulu karena masih banyak pekerjaan."

"Malam Pi. Minta maaf karena Saras pasti bau keringat, karena belum sempat mandi," ucap Saras mencium pipi Hadi.

"Hmmm. Kamu dari mana dan dengan siapa?" Pertanyaan standar yang sudah bosan Saras dengarkan tapi tetap selalu harus ia jawab.

Saras melirik ibunya dan berkata, "Livia dan Viana. Setelah kuliah, kami makan siang di restoran cepat saji karena Viana ulang tahun."

"Ada cowok?"

"Tidak ada, Pi!"

Saras sudah ikut duduk di sofa, berdampingan dengan Anita.

"Sekalian kita bicarakan soal aturan dari Papi. Kami punya ide yang mau dibahas dengan Papi," sambung Anita untuk langsung pada inti percakapan karena ia paham putrinya sudah pasti gerah dan ingin segera berbaring.

"Tes keperawanan itu tetap penting untuk Papi karena itulah senjata Papi untuk yakin kalau kamu itu tidak salah bergaul."

"Pi, meski baru sembilan belas tahun, Saras paham betul tata krama. Tidak mungkin Saras permalukan nama besar keluarga kita."

"Tapi, kamu bisa saja dibodohi oleh teman-temanmu, perempuan atau laki-laki karena mereka iri padamu. Kalau minumanmu diberi obat dan kamu digeranyangi oleh teman-teman di kampus, bagaimana?"

Saras melirik pada Anita untuk minta bantuan. Bagi Saras, papinya memang suka pikirkan contoh yang paling ekstrim.

"Papi, itu memang bisa terjadi. Tapi, Saras pasti tahu dan bisa menghindari tempat-tempat yang berisikio seperti itu," sela Anita.

"Tidak perlu sampai tes perawan tidaknya Saras. Setiap hari boleh kok Mami periksa tubuh Saras kalau memang ada tanda-tanda Saras disentuh atau baru saja bermalam dengan seorang pria. Biasanya 'kan ada bekas yang para pria sematkan di kekasihnya. Bau parfum cowok atau aroma tembakau. Mestinya akan melekat di tubuh Saras."

"Kalian bisa kibuli Papi dengan mandi dan bersihkan diri dulu sebelum pulang ke rumah."

"Oke, Pi. Mandi bisa hilangkan aroma parfum. Tapi kalau tanda ciuman yang membekas tidak akan hilang dalam hitungan jam. Butuh berhari-hari karena prosesnya seperti luka memar," bantah Saras.

"Kamu sampai sudah hafal semua itu. Jangan-jangan!" balas Brata memicingkan kedua matanya.

"Ya, Papi. Teman sekampus cerita. Saras juga bisa baca dan nonton. Tidak karena sudah praktik sendiri."

"Kalau Papi tidak setuju, nanti Saras mau pindah tinggal sendiri seperti Dewo. Papi 'kan pernah bilang kalau sudah di atas usia 18 tahun, boleh tinggal sendiri biar mandiri," imbuh Anita ingat syarat dari putrinya.

"Oh, Dewo itu berbeda. Tidak bisa disamakan dengan Saras. Ya, sudah! Awas kalau sampai Mami bela Saras dan bohongi Papi."

Saras tersenyum lebar. Ia lega karena akhirnya bisa lepas dari aturan ajaib dari papinya. Tes keperawanan! Memangnya masih penting bagi pasangan yang saling mencinta dan berjanji untuk terima kekurangan masing-masing?