webnovel

Dia kembali

Di sebuah ruangan yang terkesan mewah, terbaring sosok wanita cantik, berwajah dingin, mata bening kecoklatan dan dengan postur tubuh yang sempurna. Dia seperti sebuah mahakarya dari tangan pemahat profesional dunia. Lekuk tubuh indah tanpa cela sedikitpun.

Di sebelahnya, sosok pria dengan wajah tampan, bersahaja dengan kemeja hitam tergulung hingga lengan dan celana dengan warna senada. Duduk diam memperhatikan setiap jengkal tubuh wanita yang terbaring lemah di hadapannya.

Dia berharap di hari kelima, wanita di hadapannya itu akan bangun dan menatapnya. Entah bagaimana anak buahnya yang tidak becus menyakiti kekasihnya dengan begitu parah. Dia bahkan harus menghabisi anak buahnya sendiri karena melakukan kesalahan fatal hingga wanita yang siang malam dia inginkan berbicara dengannya kini berubah menjadi putri tidur.

"bangunlah meri" dia mengaitkan jemarinya di jemari meri yang nampak lemah, kurus hingga menonjolkan buku-buku jarinya.

Sejak kedatangan meri, dia merasa mereka sudah ditakdirkan sejak awal untuk bersama. Kali ini, ia tidak akan mundur dan akan mempertahankan wanitanya sekuat yang dia bisa. Dia tidak akan mengalah lagi. Terlahir dari seorang yang di benci oleh ayah meri bukanlah kesalahannya. Dia akan tetap bertahan walau itu sulit karena mengingat wanitanya kini sudah menjadi wanita bagi pria lain.

Dia akan tetap berusaha untuk mengubur kenangan meri bersama pria itu. Meri hanyalah miliknya sejak awal dan akan selalu begitu.

Rasa benci melihat ketidakberdayaannya kala itu membuatnya bertekad akan kembali mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya. Jika waktu itu dia tidak bertahan, kali ini akan berbeda.

Malam sudah semakin larut saat mata indah dan bercahaya memancarkan kelelahan yang teramat dalam memutari langit-langit kamar. Ruangan nuansa putih abu-abu seketika memenuhi pandangannya. Kepala yang berat membuatnya tak bisa banyak bergerak.

Terbangun di sebuah ruangan asing, tanpa seorangpun di sisinya. Meri memutar otaknya, mencari serpihan ingatan yang ada di memorinya. Hanya sebuah kegelapan dan rasa sakit di kepalanya yang muncul dalam isi kepalanya. Dia begitu linglung, merasa heran dengan tubuhnya yang terasa kaku dan sulit di gerakkan.

Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki mendekat, langkah yang ringan dan teratur namun semakin jelas ditelinga. Tak lama suara pintu berderit dan menampakkan sosok wanita berpakaian biru dan rok pendek yang juga berwarna senada. Membawa baki yang berisi beberapa botol cairan.

"Vous avez repris conscience?" suara wanita itu begitu lembut dengan wajah cerah penuh kebahagiaan yang terpancar dari kedua bola matanya yang berwarna biru jernih.

Wanita itu segera berlari keluar dengan langkah cepat dan tak lama derap sepatu bersama dengan langkah ringan itu kembali.

Meri menatap pintu yang terbuka dan melihat sosok yang tak asing dimatanya. Sosok pria yang begitu dia cari sejak lama, sosok sahabat yang begitu dia rindukan.

"kau sudah bangun? Periksa keadaannya" suara jernih dan lembut memenuhi gendang telinga meri yang masih pangling melihat penampilan pria di sampingnya itu.

Meri hanya bisa menatapnya tak percaya bisa memandangnya dari jarak sedekat ini. Pria kasar yang dulu begitu keras mengusirnya dari kehidupannya kini memperlakukannya begitu lembut.

Perempuan yang berada di sampingnya mulai memeriksa meri dengan telaten, gerakan lembut dan penuh ketepatan di rasakan meri. Berdasarkan dasar yang dia dapat di kampusnya, meri dengan mudah menebak wanita yang bersamanya adalah ahli medis yang terampil.

Dia mulai melepaskan tabung yang sejak meri membuka mata menghalangi bibirnya untuk berucap. Dia begitu benci berada di kondisi sebagai pasien karena itu menunjukkan betapa lemahnya dia. Dia bercita-cita menjadi seorang dokter yang memberikan harapan kepada pasiennya bukan sebaliknya.

Wanita itu mulai berbicara dengan pria di sampingnya dengan bahasa yang sama sekali tidak bisa di mengerti oleh meri. Namun, dari aksen dan nada bicaranya yang cepat dan meliuk, meri begitu yakin ini di Eropa. Asia mungkin memiliki nada bahasa yang lemah lembut namun tempo lambat, amerika memiliki ketegasan dalam berbicara dan tempo cepat. Afrika memiliki ciri yang tak jauh berbeda dengan Amerika, hanya eropa yang masuk dalam tebakan meri.

Wanita itu kemudian keluar setelah memberikan suntikan kepada meri. Meri meringis merasakan jarum itu menembus kulitnya, namun seketika hilang saat tangan kekar dengan jari yang menunjukkan ketegasan menyapu kulitnya.

"apa kau lapar?" tanya pria itu sambil membelai lembut rambut panjang yang berada di bahu meri.

"ilham. Aku minta maaf" meri mengeluarkan kalimat pertama yang sejak dua tahun dia pendam dan begitu ingin dia ucapkan hanya belum memiliki kesempatan.

"apa yang kau katakan. Mengapa meminta maaf, kau tidak melakukan kesalahan, aku mengerti kondisimu" ilham menggenggam tangan yang begitu lama dia idamkan. Butuh dua tahun baginya untuk bisa memegangnya lagi.

Dia berfikir permintaan maaf meri atas apa yang dilakukan keluarganya dan bahwa dia telah mengkhianatinya dengan menjadi wanita andre. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, yang terpenting baginya, mulai hari ini tak ada yang bisa memisahkan mereka lagi bahkan dewa sekalipun.

Seorang wanita tua masuk membawa baki yang berisi semangkuk makanan dan segelas air putih. Wanita itu berumur sekitar 40-50 tahunan, dia masih begitu segar di usianya yang semakin menua.

"Monsieur, c'est de la nourriture pour la dame" ujar wanita tua itu.

"Merci Vous pouvez sortir" ilham menjawab dengan nada lembut dan bahasa yang tidak bisa di mengerti oleh meri. Tapi jika tebakannya benar, ilham saat ini mengucapkan terimakasih dan meminta wanita itu pergi.

Ilham membantu menyandarkan meri dengan menyusun tiga bantal di belakang meri untuk memudahkannya makan. Meri menerima setiap suapan itu dengan pikiran yang tak berhenti berputar.

Dia berada di kamar dengan seorang pria, di tempat asing dengan bahasa yang sama sekali tidak dia mengerti. Dengan kondisi kepala terlilit perban dan tangan tertusuk jarum infus yang bergelantungan di samping kasurnya.

Hal yang dia pikirkan adalah jika hari itu dia di celakai oleh seseorang yang tak dikenal, apakah ilham yang menolongnya, atau justru ilham yang berusaha mencelakainya. Jika dia ingin mencelakai meri lalu untuk apa dia merawatnya dan dimana dia saat ini, bukankah pria yang seharusnya mendampinginya adalah andre. Lalu, mengapa dia tidak ada di sini.

"di mana andre?" meri tak bisa lagi menahan untuk tak bertanya dimana suaminya.

Dia tidak perduli berada di manapun, di ujung dunia atau di pulau tak berpenghuni asalkan amdre bersama dengannya sama halnya dia tak perduli siapa yang ada di sampingnya asalkan andre tetap berada di sisinya.

"mengapa bertanya tentangnya? Aku ada di sini, kau tidak memerlukan siapa-siapa lagi sekarang"

"dia suamiku. Bagaimana bisa kau bicara seperti itu" meri merasa ada yang salah dengan perkataan ilham.

Perasaannya mulai resah mendengar perkataan itu. Kalimat itu bukan hanya sebuah jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan namun merupakan deklarasi kepemilikan penuh atas dirinya. Tatapan tajam yang di berikan ilham saat mendengar pertanyaan itupun nyata menunjukkan kebenciannya.

Dan bertambah tajam saat mendengar kata suami dari bibir meri terlontar. Ilham akan menyampingkan kenyataan meri telah berstatus istri, tapi tak bisa mendengar pengakuan wanita itu secara langsung. Perasaannya begitu terluka mendengar hal itu disertai dengan nada tegas seakan kalimatnya adalah sesuatu yang tak bisa di ubah atau di bantah.

"itu dulu. Sekarang, kau hanya perlu memikirkanku. Menjadikanku satu-satunya lelaki yang akan kau sebut di bibirmu"

"ilham, kau salah paham. Dulu dan sekarang aku hanya akan mencintai andre dan tak akan berubah"

"kita akan lihat sampai kapan keras kepalamu itu akan bertahan" ilham bangkit setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.

Meri hanya bisa termenung menatap punggung pria itu menjauh, sahabatnya sudah kembali. Saat yang begitu ia nantikan akhirnya tiba tapi mengapa semua terasa salah. Waktu yang tepat namun kejadiannya yang berbeda.

Memikirkan berapa lama dia akan terkurung dalam kamar itu membuat meri merasa terpuruk. Dia begitu khawatir dengan andre yang tak menerima kabar darinya. Meri menatap pergelangan tangannya dan tak mendapati jam tangan itu di sana. Satu-satunya harapannya hanya jam tangan itu.

Gugur satu persatu bagai dedaunan di musim semi meri merasa asanya sudah di terpa angin kencang. Dia berada di ambang kegalauan, melarikan diri adalah ide buruk di saat dia tak memiliki apapun di tangannya. Dia setidaknya membutuhkan identitas dirinya agar bisa menemui suaminya. Jika dia berada di pulau yang sama maka itu tak akan menjadi halangan. Halangan terbesarnya saat ini adalah dia bahkan tidak tahu di mana dia berada.

Menatap cermin yang memantulkan wajah pucat wanita dengan rambut panjang kecoklatan. Mata sayu dengan mata memancarkan kepiluan mendalam. Meri menarik nafas dalam dan melepaskannya untuk mengurangi beban pikirannya.

Jam kayu besar dengan irama pasti mengeluarkan dentingan sebanyak dua belas kali pertanda tengah malam. Meri berjalan keluar kamar dengan langkah gemetar hingga tak bisa melangkah dalam satu garis lurus.

Rumah mewah berlantai tiga dengan desain eropa menjadi pemandangan pertama yang dia tangkap saat berada di depan pintu kamar. Gypsum berwarna putih dengan lampu kristal menjulang tinggi menerangi ruangan luas hingga nampak hangat dengan cahaya remang kekuningan.

Meri melangkahkan kaki menuju tangga melewati kamar yang berada di sampingnya. Mencoba melangkahkan kaki di anak tangga pertama namun tertahan oleh lengan kekar yang memegang bahunya.

"kau mau kemana dalam keadaan seperti ini"

Meri membalikkan pandangannya dan melihat ilham sudah mengenakan t-shirt abu-abu dan celana pendek sepertinya sudah siap untuk tidur. "kembalilah ke kamarmu, kau masih belum pulih" lanjutnya.

"apa kau akan membiarkan ku pergi jika aku sudah pulih?" tanya meri menatap ilham dengan tampang memelas berharap agar tak dikecewakan.

"jangan menyakan hal yang kau tahu jawabannya" ilham begitu dingin dan tegas. Setidaknya dia tidak berubah sejak meri mengenalnya, begitulah kepribadiannya.

Berbeda dengan andre yang ramah dan lemah lembut, ilham justru memiliki karakter tegas dan ekspresi dingin membuatnya sulit untuk di tebak.

"aku tahu" meri menundukkan pandangannya dan berjalan perlahan kembali ke kamar yang lebih mirip sangkar emas bagi seorang ratu.