Gara terus memasuki ruangan dimana Anna berteriak itu tadi. Otak Gara sudah melesat jauh mengingat Anna mengatakan bahwa dirinya tidak boleh menikah. Apa maksud dari perkataan Anna? Kenapa dirinya harus menikah dan Anna tidak menyetujuinya? Semua bergelut begitu saja di dalam fikirannya. Gara memang sudah cukup waktu baginya untuk menikah. Namun Gara masih belum kepikiran ke sana.
Lelaki polos itu pun tidak tahu bahwa sebuah tanggungjawab dalam pernikahan itu sangat besar. Apakah Gara tahu apa yang harus ia lakukan sebagai seorang suami yang baik? Tidak! Karena Gara hanya ingin bebas seperti burung tanpa terikat oleh siapapun. Gara ingin dunia yang ia rangkai sendiri. Bahkan menjadi CEO pun bukan keinginannya melainkan keinginan sang Ayah. Gara rela meninggalkan semua impiannya demi keluarga. Lihatlah betapa naif dan polosnya dia. Lalu sekarang, ia harus menikah, sepertinya Gara tidak mampu melakukan itu.
Apa ia juga harus melakukan itu demi sang Ayah dan Bunda?
Apakah Gara lagi dan lagi mengorbankan impiannya menjadi Atlet renang?
Pasti! Itu sudah pasti. Garaku yang malang.
Rangkaian lolipop yang berada di tangan Gara seketika terjatuh ketika Anna berteriak, "Kak Gara itu bukan boneka yang harus melakukan apa yang kalian inginkan Ayah, Bunda!"
Prang!
Mata ketiga manusia yang sedang bertengkar itu langsung tertuju kepada Gara yang berdiri dengan mematung tak jauh dari mereka. Anna melihat sang Kakak dengan sebuah senyum tipis lalu netranya lagi beralih pada rangkaian lolipop yang begitu indah di matanya. Anna sudah menerawang kalau lolipop itu untuknya ynag diberikan oleh Gara.
"Kakak!" pekik Anna dan langsung berlari memeluk Gara, begitu erat. Namun anehnya Gara hanya diam saja, tidak ada niat untuk membalas pelukan dari sang Adik.
Begitu pula dengan Ennoch dan Aileen. Jujur mereka bukan menjadikan Gara sebagai boneka mereka. Aileen dan Ennoch hanya ingin membuat putranya itu menjadi dewasa dalam bentuk rangkaian pernikahan. Lantas pun mereka menghampiri Gara dan Anna yang sedang berpelukan itu.
"Gara kamu darimana saja, Bunda sama Ayah khawatir," ujar Aileen sembari mengelus dengan lembut kepala Gara.
Gara menatap sang Bunda dan Ayah bergantian lalu menatap Anna yang tengah memeluknya. Detik kemudian lelaki itu pun melepaskan Anna dari dekapannya. Ia memegang bahu sang Adik yang tengah sesenduan karena menahan tangis.
"Kenapa Kak Gara gak boleh menikah?" Pertanyaan Gara untuk Anna sontak membuat Ennoch dan Aileen langsung melotot tak percaya. Kedua manusia paru baya itu saling tatap menatap. Tak terkecuali dengan Anna.
"Tidak Kakak Gak boleh nikah!" tegas Anna lalu menepis dengan kasar tangan sang Kakak. Sebelum gadis itu berlari ke kamarnya, ia melayangkan sebuah tatapan tajam kepada Gara.
Gara hanya geleng-geleng kepala. Tingkah Anna makin hari makin berubah kepadanya. Terkadang Anna sensi banget, sekarang malah ngambek karena gak mau Gara menikah. Lelaki itu pun beranjak mengambil rangkaian lolipop itu yang tak sengaja terjatuh dari tangannya.
Lantas Gara pun langsung menatap kedua orangtuanya. "Kenapa Gara harus menikah?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut sang Anak tentu harus di jawab oleh orangtua mereka. Namun bukannya menjawab pertanyaan Gara, Aileen dan Ennoch malah menyuruh Gara untuk duduk, dengan alasan menenangkan diri.
Sekarang waktunya bagi mereka untuk membicarakan hal yang begitu penting ini.
"Ayah dan Bunda ingin membicarakan sesuatu kepadamu," ucap Ennoch sementara Gara hanya menatap wajah sang Ayah. Sebenarnya, dia juga ingin menanyakan banyak hal kepada orangtuanya.
Ennoch menyuruh Aileen untuk berbicara.
"Kamu mau menikah sayang?" tanya Bunda.
Gara menaikan alisnya sebelah. Ada perasaan yang tak ingin Gara rasakan untuk saat ini. Gara tidak ingin menikah, tapi apa ia harus menolak keinginan kedua orangtuanya? "Kenapa Gara harus menikah? Gara masih belum mau ke sana Ayah, Bunda." Gara sudah memantapkan hatinya, kali ini ia harus menolak keinginan kedua orangtuanya ini.
"Gara tidak mau menikah. Gara ingin bebas. Sudah cukup Gara menjadi CEO." Aileen dan Ennoch menatap kepergian Gara dengan ekspresi sedih. Memang ini salah, tapi harus bagaimana lagi caranya Gara harus menerima kenyataan ini?
Gara menutup pintu kamarnya. Perasaan sedih bermunculan begitu saja. Melihat suasana kamarnya yang begitu cerah, seolah tak lagi mendukung hati Gara yang sedang sedih ini. Gara duduk di pinggiran ranjangnya. Menangkup kedua belah pipinya. Wajah Gara berkerut sedih.
Inikah langkah yang terbaik yang Gara pilih? Entahlah, menikah? Seketika Gara tersenyum. Entah kenapa bayangan wajah seorang gadis yang ia temui di toko permen hari ini terus terbayang-bayang dalam benaknya.
Jika memang Gara harus menikah, Gara pasti ingin menikah, tapi hanya dengan seorang gadis yaitu, Acha.
"Perasaan apa ini? Kenapa aku berpikiran yang tidak-tidak dengan gadis itu?" Gara menggeleng berulangkali mengingat dirinya yang ingin menikah dengan Acha.
Rasa ingin memiliki gadis itu terus menghantui pikiran Gara. Hingga tepat pukul 00.00 atau jam 12 malam, Gara terbangun dengan dahi yang dipenuhi dengan keringat dingin. Nafas Gara terengah-engah.
"Apa yang terjadi denganku? Kapan aku tidur?" Yah, ini aneh. Sepikir Gara ia tadi hanya duduk di pinggiran ranjang dengan pikiran yang bergelut tentang pernikahan. Lalu kenapa ia sudah tiba-tiba bangun dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Apa yang ia lakukan kenapa ia berkeringat sebanyak ini?
Gara mengedarkan pandangan ke segala arah. lampu tidur yang tetap menyala? Biasanya Gara kalau tidur ia akan mematikan lampu tidurnya?
Lalu kenapa ini tidak. Tiba-tiba saja Gara merasakan perutnya berbunyi. Rasa lapar menyerang seketika. Sudahlah, dia tidak ingin memikirkan kejadian ini. Mungkin saja tanpa sadar ia tertidur karena terlalu memikirkan tentang pernikahan itu.
Lebih baik ia mengisi perutnya yang tengah keroncongan ini. Gara mengibaskan selimutnya. Kemudian beranjak keluar dari kamarnya. Entah kenapa Gara tiba-tiba lapar begini. Setibanya di dapur, Gara mencari saklar lampu lalu menghidupkannya. Gara membuka kulkas. Helaan nafas kesal ia keluarkan ketika melihat makanan di kulkan tidak ada yang bisa di makan. Semuanya terbuat dari bahan mentahan saja. Setidaknya Maid di rumah ini menyediakan spagheti dan menyimpan di dalam kulkas.
Sudah tahu Gara orangnya kalau malam suka kelaparan. Akhirnya mau tak mau Gara terpaksa mengambil mie instan yang sudah tersedia lalu memasaknya.
Saat Gara tengah asyik makan, pikirannya tiba-tiba terbayang oleh wajah Acha yang membuatnya tersenyum tipis. Ia ingin memiliki gadis itu. Memilikinya!
Baiklah, Gara sudah mengambil keputusan. Ia akan menikah, tetapi dengan Acha. Gadis Candy yang ia temui di toko permen.
"Acha, kau milikku!" Gara tersenyum miring lalu dengan brutalnya, Gara memakan mie instannya.
Apa yang terjadi dengan Gara?