webnovel

I was born to be a God

Aku sudah lelah bersaing menjadi Dewa di Awaland. Kini aku ingin menjadi manusia normal seperti kebanyakan orang lainnya setelah aku kembali ke dunia Nyata. Ya... Aku sudah pernah bersaing untuk menjadi Dewa di dunia lain. Dan itu melelahkan. Kau akan sadar betapa gilanya orang-orang yang terpilih untuk mengisi posisi Dewa. Dan ketika mengingatnya, itu Mengerikan. Jadi oke, masa kejayaanku sebagai Calon Dewa sudah berakhir, aku kalah, dan saatnya aku kembali ke Dunia Nyata. Tapi, aku merasa ini tidak akan berakhir secepat itu. Rasanya seperti... Aku dilahirkan kembali untuk menjadi Dewa di Dunia ini!

Mowly · Ciencia y ficción
Sin suficientes valoraciones
25 Chs

Pulau Dewata

"Juan kemana saja sih, udah dua hari nggak masuk?"

Aku baru saja sampai di kelas dan Sena sudah menerjangku dengan pertanyaan.

"Eh, Juan dengar berita hari ini tentang Rumah Sakit dan Cafe yang diserang Terorist kemarin nggak?"

Hah? Pertanyaan Brilliana yang pendiam kenapa terasa memojokkanku gini ya?

"Dengar beritanya, apa benar disini ada Terorist ya?"

Wow, aku merasa beda. entah kenapa rasanya mudah bagiku untuk berpikir dengan cepat setelah berbagai kejadian yang kualami.

"Nggak paham, tapi waktu kejadian kemarin kamu pas dimana sih Juan?"

Cewek satu ini kenapa Kepo banget ya...

"Lho, denger-denger adikmu habis kecelakaan 'kan Juan? Trus sekarang gimana?"

Ini lagi si Sena kenapa tiba-tiba tanya kecelakaannya Leon...

"Ya, aku lagi di TKP untuk jaga adikku pas kejadian Terorist itu."

Nah 'kan, tanpa pikir panjang sepertinya nggak masalah jawab gini ya.

"Adikmu nggak kenapa-napa? Kamu kok nggak diwawancarai wartawan?"

Ya tuhan, Sena ini peduli apa penasaran sih...

"Tapi ini nggak ada hubungannya sama apa yang kita cari di Perpusnik 'kan, Juan?"

Brilliana membalas dengan pertanyaan yang tepat sasaran. Dan mereka ini teman-teman yang membantuku mencari data orang-orang yang mengalami 'Tidur Abadi' di Perpusnik waktu itu.

"Sudah nggak masalah, Sena, Brilliana, Semua sudah beres."

Tanpa terasa mata mereka semua menuju kearahku, dengan wajah gugup dan khawatir.

Ya, aku sadar mereka hanya khawatir, dan kurasa mereka nggak akan sembarangan membocorkan rahasiaku.

"Hey, Juan!"

Via masuk kedalam kelas diikuti Vera.

"Eh, Via, Vera, kalian percaya nggak kalo Juan itu Dewa?!"

Hei, JU@NC*K, si BU*n65@+ ini mulutnya B4N9K* Beneran!

BISA-BISANYA BILANG GITU KE MEREKA!

"Hahaha, Sena konyol ah!"

Keduanya tertawa, ekspresi tergelitik terlihat dari wajah mereka.

"Tuh, kan Juan! Nggak akan ada yang percaya kamu Dewa! Jadi percaya sama kami ya!"

Sena terlihat bercanda, tapi aku menangkap beberapa petunjuk dari ucapannya.

Benar! Dia ingin membuatku terbuka dan percaya dengan mereka...

Brilliana nggak menanggapi ucapan Sena, tapi mereka berdua menunggu reaksiku.

"Udah ah, nggak usah bahas hal nggak penting, hari Senin kita ada Tour ke Bali selama seminggu 'kan, kalian sudah siap-siap?"

Vera duduk di bangkunya, Via berjalan kearah tempat duduknya yang lebih jauh dari posisi bangku Vera.

"Ah, iya! Kerasa cepet banget ya! Tau-tau udah mau Liburan ke Bali lho!"

Sena spontan membalas ucapan Vera.

.

..

...

Tamasha berhasil kembali ke Rumah sakit dan dirawat bersama Leon, tapi masalahku masih belum terjawab... Aku perlu mencari uang.

Setelah ucapanku kemarin Surya dan Soraya nggak berniat untuk melanjutkan niat mereka untuk menembakku dengan pistol.

Dan akhirnya kami pergi dari tempat itu tanpa masalah.

Kini aku lagi-lagi menemukan jalan buntu karena harus fokus untuk menjalani keseharianku...

...

'Jalani keseharian?'

Benar juga!

Itu adalah kata-kata Nova di 'Chapter 8'....

Kali ini akan kucoba mengejarnya dengan kemampuanku mengejar Zahal dan Rebella.

'Detection!'

.

..

...

"Wah-wah... Ternyata prasangka 'Masriz' benar juga!"

Setelah melihat kehadiran Juan, Nova menyambutnya dengan ucapan yang nggak dipahaminya.

"Apa maksudmu Nova?"

"Masriz sudah menduga, 'Pada saatnya' kau akan datang menemuiku, Juan.'

Nova mempersilahkan Juan dengan menyodorkan kursi kearah Juan.

"Wah, Dewa kita datang akhirnya!"

Seorang Pria seumuran Nova menyorakinya dari tempat duduk yang tak jauh dari posisi Nova dan Juan, Pria lain yang duduk disampingnya juga melambaikan tangan padanya.

"Mereka itu siapa, Nova?"

Juan tersenyum terhadap kedua orang yang menyapanya sementara hatinya masih tak mengenal sosok mereka.

"Bukankah sebaiknya kau mengenalku lebih dalam sebelum mengenal orang lain?"

Nova menyuguhkan gelas minuman kepada Juan setelah mengambilnya dari meja prasmanan persis di belakangnya.

"Ah, itu juga! Kok bisa?"

Dengan polosnya Juan mengiyakan terkaan Nova.

"Hahaha, lucu juga ya. Langsung saja, aku juga salah satu Calon Dewa yang terlibat dalam Awaland."

Jawaban Nova membuat Juan makin penasaran.

"Tapi dalam daftar orang yang mengalami 'Tidur Abadi'..."

Nova menunjukkan raut wajah yang menyiratkan ia sudah paham apa yang akan dikatakan Juan.

"Ya, Pada periode sebelumnya, para Calon Dewa bisa menggunakan 'Nick' atau Nama Samaran untuk memasuki Awaland."

Penjelasan yang masuk akal ini membuat Juan terdiam, ia menanti Nova menjelaskan lebih lanjut.

"Namaku dalam Awaland adalah, Louise."

Seketika itu juga sama seperti sebelumnya, kepala Juan mendadak mengalami pening,

Kilatan Cahaya muncul dan ingatan-ingatan yang berkaitan dengan kata 'Louise' muncul.

.

..

...

Louise adalah Moderator di Awaland yang muncul nyaris belakangan.

Seorang pria berpenampilan seperti Pelayan Bangsawan.

.

..

...

"Moderator ya... Baguslah, berarti orang-orang lain yang namanya tidak kukenal saat membaca daftar nama korban 'Tidur Abadi' bisa juga termasuk Moderator..."

Nova tak memasang wajah terkejut melihat daya tangkap Juan.

"Kau kenal Extremus? Hey itu aku!"

Seorang pria yang tadi menyapa Juan kini bersorak kearahnya untuk kedua kalinya.

lagi-lagi Juan mengalami hal yang sama, ingatannya muncul sedikit-demi-sedikit.

.

..

...

'Disaat aku ingin men'Jalani Keseharian' seperti pesan Nova, kenapa malah mereka memberi semua petunjuk itu kepadaku?'

Raut wajah Juan berubah setelah mendengar nama Louise dan Extremus.

"Nah, Juan, apapun tujuanmu kesini, sepertinya kau tetap harus memutuskan apapun yang terbaik bagimu."

Nova kembali membujuk Juan dengan pesan yang masih menuai misteri. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini Juan sama sekali tak terlihat bingung, pusing, ataupun keberatan dengan penjelasan sulit ataupun pesan yang tak dipahaminya.

"Terimakasih, Nova."

Ia meninggalkan Cafe tersebut.

"Luar biasa sekali, entah prediksi Masriz, ataupun perkembangan Juan, semuanya benar-benar tak terduga. Seolah kita hanya perlu melakukan semuanya sesuai porsi kita."

Nova bergumam, gumaman yang sepertinya terdengar oleh orang-orang disekitarnya.

.

..

...

Sebuah Bus melaju cepat dipinggir pantai.

"Woooowwww! Kereeeennnnn!!"

Sena berteriak dalam bus tersebut, teriakannya tak mengejutkan siapapun.

"Sena baru pertama perjalanan ke Bali ya?"

Vera dan Via melihat kearah Sena sambil tersenyum.

Brilliana yang duduk dibelakang Sena dan Juan rasanya juga memiliki kekaguman yang sama namun lebih mampu untuk menyimpan ekspresinya.

"Indah ya, Pemandangan ciptaan Tuhan ini..."

Juan tersenyum dengan wajah yang tulus sambil melihat kearah yang sama dengan arah yang dilihat Sena, Brilliana, dan kebanyakan siswa didalam bus itu.

"Eh, snacknya bagi-bagi lagi, perjalanan masih jauh~!"

"Nih, ada Potato Chip, Chocolate Stick, Pop Corn, Corn Tall!"

"Eh! Itu apa yang terakhir!"

"Eh, Anak-anak sudah-sudah jangan berlebihan bercandanya..."

Mereka semua menikmati perjalanan, 5 buah bus berjalan beriringan menuju kearah Timur.

.

..

...

"Enaknya siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama), bulan ini pada liburan sekolah semua."

Zahal duduk di halaman samping rumah Rebella.

"Ini Susu Kuda Murni Dinginnya, tuan Zahal."

Seorang Shinobi bawahan Rebella menyajikan segelas air susu dan satu buah botol penuh berisi susu yang sama.

"Gimana kondisi Rebella?"

"Beberapa otot tubuhnya terluka, tapi dalam dua hari kondisinya akan membaik, beruntung Dokter Eghar membantu menangani nona Rebella."

Setelah percakapan itu Shinobi itu beranjak pergi.

"3 orang berada dalam satu Rumah Sakit, bahkan dalam satu ruangan. Dan si Dewa bodoh itu malah liburan ke Bali..."

Ia menenggak Susu Kuda Murni dingin itu.

"Hey nak, sampai kapan kamu tinggal disini, orang tuamu ntar khawatir..."

Seorang kakek berjalan dihadapan Zahal sambil memegang sapu taman.

"Kakek tua jangan bawel, nanti umurmu pendek dan cepat mati..."

Beberapa saat kemudian wajah Zahal babak belur. Rupanya ia tak pandai berbasa-basi.

.

..

...

"Berada di tengah laut saat petang dan matahari terbenam benar-benar pemandangan yang luar biasa."

Juan bergumam ketika berdiri di deck atas kapal penyeberangan selat Bali.

Sebagian siswa lain berada ditingkat yang sama, beberapa siswa berada di ruang tunggu ditingkat tengah.

"Warna Jingga mentari berbaur dengan Biru langit dan Lautan..."

Vera dan Via menghampiri Juan.

Juan mendengar suara mereka berdua. Pikirannya beralih kearah perangkat yang ada di tas pinggangnya.

Ia memutar sebuah MP3, menyematkan earphone ditelinganya, mendengarkan lantunan musik nasional sambil menikmati pemandangan dihadapannya.

Sementara sosok yang tak terduga menunggunya diseberang sana.

.

..

...

"Pemandangan di pulau ini memang jauh berbeda dibandingkan beberapa pulau lain di negara ini. Apalagi dibandingkan dengan kampung halamanku."

Pria berkulit hitam berambut afro bernama Mamba itu duduk ditepi pantai sambil menikmati sebotol minuman beralkohol.

.

..

...

"Setelah melewati hutan yang cukup jauh disaat senja seperti ini disebelah kita terhampar pemandangan pantai!"

Kini pandangan mereka beralih kesisi bus yang sebaliknya.

"Makin dekat dengan tujuan, makin banyak keindahan yang terungkap ya!"

Vera dan Via tersenyum melihat Sena yang pertama kali melakukan perjalanan ke Pulau Dewata, sebutan untuk Pulau Bali ini.

Kebanyakan siswa lain juga menunjukkan ekspresi kagum yang alami, tak terkecuali Juan.

"Lihat itu! Didekat sawah, ada sungai dangkal yang jernih hingga terlihat bebatuan dan langsung mengarah ke muara laut! Keren sekali!"

Mata Juan berkaca-kaca mendengar apa yang diucapkan Sena.

"Tuhan benar-benar Pencipta yang mencintai Keindahan..."

.

..

...

Ya Tuhan... Sungguh indah karyamu...

Perjalanan ini tak akan pernah kusesali...

Birunya laut...

Jernihnya Sungai...

Luasnya langit...

Hijau dedaunan...

Wangi desir Laut dan Hutan yang diguyur air terjun...

Terasering Sawah yang menawan...

Jalak yang hinggap dipunggung kerbau...

Pohon kelapa ditengah sawah, diantara pengairan, diantara lembah, diatas deburan ombak yang lembut namun tegas...

Jingga diufuk jauh...

Kenapa saat ini...

Entah kenapa, mataku seolah basah...

Dadaku berdebar kencang...

Bulu ditubuhku merinding...

Suaraku melemah...

Aku bertemu dengan Alam yang kuimpikan dibuku cerita...

Hey Guru! Kau benar!

Dunia ini benar-benar karya Tuhan yang Luar biasa!

Guru! Lekaslah bawa aku turun dari sini!

Aku ingin segera memeluk angin yang segar!

Merebahkan diri, menatap langit senja ini, dikelilingi nuansa alami...

Bersujud mencium tanah Indah Indonesia...

Aku menoleh kekanan dan kiri...

Memastikan wajah-wajah mereka yang mungkin,

Menunjukkan ekspresi persis yang kurasakan...

Benar! Guru!

Aku melihatmu tersenyum didepan sana...

Lalu kubalas senyummu...

Seolah kau berkata...

'Lihatlah dunia ini untuk kalian'

Lalu senyumku adalah jawaban...

Terima kasih, guru...

Terima kasih Tuhan...

Seandainya apa yang kulihat dengan mata ini,

kudengar dengan telinga ini,

kucium dengan hidung ini,

dan kurasakan dengan kulitku,

kekaguman yang kusimpan dalam hati,

Seandainya itu semua bisa kubagi dan kutunjukkan...

Kuperlihatkan dan kuceritakan keseluruh Dunia...

Mungkin senyumku akan berarti sama dengan guruku...

Lalu semakin kuat getaran pujianku terhadap Tuhanku...

Memang benar...

Manusia tidak pantas merasa Dewa...

Manusia tak pantas menciptakan Dewa...