Aku membuka kotak obat berwarna putih. Tanganku mengambil salep kecil dan membuka tutupnya. Aku memencet nya dengan pelan lalu keluarlah salep.
"Aku akan mengoleskan salep ini di sekitar matamu. Kau tenang saja ya," ucapku dengan serius.
Aku mendekatkan jariku ke pipi Jihan.
"Jujur saja aku tidak pernah memakai obat seperti. Jika sakit aku kompres saja dengan air dingin," kata Jihan lalu meringis sakit saat aku mengoleskan salep di sekitar matanya.
"Ini akan lebih cepat sembuh," ucapku sambil melihat mata Jihan yang begitu indah berwarna coklat. Kelopak matanya juga sangat bagus terbentuk indah. Entah kenapa aku terpaku akan kecantikan wajahnya.
"Jangan menjadi patung!" seru Jihan dengan tegas. Membuat aku kaget.
"Nah sudah selesai untuk di sekita mata. Sekarang ujung bibirmu," kataku lalu mengambil lagi obat lain yang isinya berwarna coklat.
Kembali aku oleskan sedikit obat itu di ujung bibir Jihan.
"Apa kau sering mendapat perlakukan kasar seperti ini oleh ayahmu?" tanyaku dengan hati-hati. Kulihat Jihan yang meringis sambil menyentuh lukanya sendiri.
"Ya aku sudah terbiasa mendapatkan hal seperti ini," kata Jihan.
"Aku akan melaporkan ayahmu ke polisi. Aku sudah memfoto semua yang aku lihat sejak ada di gedung. Pasti ayahmu akan di penjarakan," ucapku dengan tegas.
"Tidak perlu lakukan itu Aslan," seru Jihan membuat aku kaget.
"Hah? Kenapa memangnya?"
"Kalau ayahku di penjara. Dia pasti sangat frustasi dan menderita. Kasihan dia. Lebih baik dia bahagia saja dengan hidup nya," ucap Jihan dengan wajah sedih.
Aku tahu dia sebenarnya sangat menyayangi ayahnya. Namun ia hanya mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya. Bahkan sang ayah menjual dirinya. Sangat tragis sekali.
"Kalau begitu aku menurut saja denganmu. Aku tidak akan melaporkan ayahmu ke polisi. Sebenarnya aku ingin sekali sih, melaporkan ayahmu ke polisi. Tapi ya sudahlah," ucapku tersenyum pasrah.
"Sebenarnya hari ini aku sudah memesan tiket kereta api. Tapi gagal karena aku tertangkap ayah dan di seret ke gedung. Kalau aku sudah tidak ada di kota ini pasti ayah tidak akan bisa menangkap aku lagi. Rencananya aku ingin ke luar kota," kata Jihan dengan penuh harap.
"Kau yakin kalau kau ke luar kota ayahmu tidak akan menemukanmu?" tanyaku ingin lebih tahu.
"Iya aku rasa begitu. Karena ayahku pasti akan malas mencariku jika aku berada di luar kota. Lagi pula dia tidak akan punya cukup uang,"
"Memangnya kau ingin pergi kemana?" tanyaku penasaran kota mana yang akan dia tuju.
"Ke mana saja asal jauh dari ayahku," jawab Jihan melempar pandangan ke arah jendela.
"Ya sudah kalau begitu kau makan sandwich ya? Aku sudah buatkan untukmu," kataku sambil memberikan dia dua sandwich yang berisi keju, daging dan sayuran.
"Banyak sekali isinya. Kau beri aku dua lagi," kata Jihan melihat piring yang kini di genggamannya.
"Iya supaya kau kenyang," kataku dengan senyum.
Jihan memakan sandwich dengan lahap. Aku melirik tersenyum melihatnya. Dia juga melempar senyum meski mulutnya masih terdapat makanan.
"Kau disini bersama siapa?" tanya Jihan sembari mengunyah makanannya.
"Hanya dengan ibuku dan dua orang yang membantu disini. Ada tukang kebun dan pembantu untuk masak,"
Jihan melihat sekeliling kamarku. Dia melihat fotoku dan ayahku.
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Jihan penasaran.
"Ayahku sudah meninggal sejak aku kecil," jawabku menunduk teringat akan ayah.
"Oh begitu. Maafkan aku," kata Jihan dengan lembut.
"Iya tidak apa kok," seruku.
"Aku merasa tidak nyaman dengan ibumu. Maksudku aku sangat tidak enak dengan ibumu. Aku rasa ibumu tidak menyukaiku," kata Jihan dengan melihat ke bawah.
"Hei! Tidak-tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Ibuku baru pertama melihatmu jadi mungkin agak aneh. Tapi kalau kau sudah mengenal ibuku. Pasti kau akan kaget karena dia sangat penyayang," jelasku mencoba membuat Jihan merasa baik-baik saja.
"Begitu ya?" tanya Jihan ragu-ragu.
"Iya aku tidak bohong. Kalau begitu kau makan sandwich sampai habis ya. Jika sudah selesai kau bisa istirahat. Aku akan keluar sebentar," ucapku lalu Jihan tersenyum manis.
Aku menutup pintu kamar rapat-rapat. Aku berharap Jihan istirahat dengan cukup.
***
Setelah satu jam aku keluar rumah untuk membeli beberapa makanan dan baju perempuan untuk Jihan. Aku kembali ke kamarku untuk melihat keadaan Jihan. Aku mengetuk pintu dengan pelan. Siapa tahu dia sedang istirahat. Tapi ketika tidak ada jawaban di kamarku. Aku membuka pintu kamarku dengan pelan. Berharap dia sedang tidur nyenyak.
Kulihat di kasur tidak ada siapapun. Piring yang tadinya berisi sandwich sudah bersih. Susu yang ada di gelas juga sudah kosong. Aku membuka pintu toilet dan tidak ada seorangpun.
"Bu, di mana Jihan?" tanyaku sembari menuruni anak tangga. Perasaanku tidak enak sekali. Aku yakin ada yang tidak beres.
"Dia pamit untuk pergi dari rumah ini," jawab ibu yang sedang membaca majalah fashion.
"Apa pamit? Tidak mungkin," seruku dengan gusar. Aku duduk di sofa untuk lebih dekat dengan ibuku.
"Kau pasti mengusir Jihan 'kan, Bu?" kataku dengan serius menatap ibu.
Kini ibu melihat ke wajahku. Ia melihatku dengan malas.
"Baru kenal dengan perempuan itu saja. Kau sudah berani menuduh ibu," seru ibuku dengan wajah tidak suka.
"Bukan begitu Bu. Ibu sendiri kan yang mengatakan kalau ibu tidak suka Jihan tinggal di rumah ini terlalu lama. Bisa saja ibu mengusir dia secara halus," ucapku tetap pada dugaanku.
"Tidak Aslan, dia yang pamit sendiri dengan ibu," Ibu pergi setelah mengucapkan kalimat itu. Ia marah denganku.
Aku menendang meja dengan kasar. Sungguh aku sangat kesal dengan sikap ibu. Aku berdiri dan langsung menuju mobilku.
Sampai di dalam mobil aku berfikir keras. Aku harus mencari ke mana Jihan. Nomor telfonnya saja tidak aktif. Apa dia sudah pergi dari kota ini? Ya Tuhan jantungku berdegup kencang. Aku sangat takut. Aku tidak bisa hidup tanpa Jihan. Aku takut kehilangan Jihan. Ya Tuhan tolonglah beri aku harapan untuk bertemu Jihan.
"Oke, baiklah. Aku akan mencoba mencari Jihan di taman dan danau siapa tau dia ada di sana," ucapku dengan yakin.
Kakiku segera menginjak gas mobil. Aku berusaha mempercepat mobilku. Aku sangat ingin menemui wajah manis itu. Pikiranku sangat kacau sekali. Bagaimana mungkin Jihan menghilang begitu saja. Jika dia ingin pergi kenapa tidak mengatakan lebih dahulu padaku. Bahkan dia tidak pamit denganku. Kalau sudah begini aku benci dengan dia. Tapi aku juga menyayangi gadis itu. Entah kenapa aku merasa sebagian jiwaku ada yang hilang. Cinta memang membuatku seperti ini.
Kemana perginya cintaku? Kenapa kau hilang tanpa jejak. Aku sangat frustasi tidak bisa melihat wajah manismu.