Happy Reading.
"Morning, baby. Apa kau sudah bangun? Aku sudah siapkan sarapan, pastikan kau sarapan sebelum berangkat kuliah. Gunakan mantel hangat, cuaca di luar sedang dingin dan ekstrim. Musim dingin telah tiba, Nak. Aku tidak mau kau sakit, sayang. Aku juga minta maaf atas kejadian kemarin. Sungguh aku tidak berniat sama sekali, aku benar-benar tidak sengaja, sayang. Sekali lagi aku minta maaf. Aku akan pulang lebih awal, kita makan malam bersama, ya. Aku ingin memasak makanan kesukaanmu. I love you, Heav. See you later."
Sejak tadi mesin perekam suara telepon di atas meja belajarnya berbunyi tiada henti. Heaven malas merespon telepon tersebut; dia belum siap bicara pada Ava. Kepedihan tamparan itu, selalu terbayang-bayang hingga luruhkan airmatanya.
Heaven bercermin, menyisir helaian rambutnya yang terjurai indah. Ia kebingungan bagaimana cara sembunyikan memar di tepi bibir manisnya ini kendati Ava tak bermaksud-tapi pukulannya tinggalkan jejak membiru di wajah cantiknya. Kalau ingat pertengkaran kemarin, hatinya merana.
Menghela napas sedih lalu tertunduk lesu, Heaven merelakan luka memar itu di lihat orang, tidak ada yang bisa di perbuatnya.
Nyaris satu bulan penuh malam hari jadi sangat menakutkan bagi Heaven. Walau cuma satu malam bisa tidur nyenyak, tetaplah berarti. Jarang-jarang tubuhnya terasa segar dan bugar begini. Heaven tak tahu apa yang akan terjadi di malam berikutnya, ia hanya bisa berdoa semoga saja mimpi buruk itu benar-benar berakhir. Selamanya.
Tasnya tersandang di bahu, mata Alice beningnya menajam pada ranting pohon manoglia di luar jendela. Ada sesuatu di sana, tengah menilik Heaven. Burung hitam bertengger tenang di salah satu cabang pohon. Heaven membenak, dia sejenis Raven.
Aneh, sebelumnya tidak pernah ada burung jenis apa pun hidup di pohon manoglia yang usianya nyaris setengah abad itu dan lagi sejak kapan burung itu ada di sana? Raven terhitung burung langka, jarang terlihat di wilayah London. Heaven mengangkat bahu jauhi jendela, enggan permasalahkan keberadaan burung tersebut, ia mesti berangkat kuliah.
Musim dingin tidak terlalu di sukai Heaven, ketika salju turun suara anak-anak riang gembira bermain salju di perkarangan mereka. Membangun, menghias boneka salju atau perang melempar bola sedangkan para orang dewasa lebih memilih hangatkan diri dan bercengkrama dengan keluarga mereka masing-masing.
Menikmati secangkir teh hangat ditemani kue pie aneka rasa sembari rapatkan tubuh mereka didepan tungku perapian. Kehangatan keluarga tetangganya membuat Heaven iri. Dari kecil, ia belum merasakan kasih sayang orang tua utuh, ia butuh figur seorang ayah. Nyatanya meski ibu berperan mencari nafkah siang malam, tetap saja tidak bisa mengisi kekosongan itu. Masih ada lubang hampa di hatinya seperti kehilangan sesuatu.
Mungkin karena dia sangat merindukan ayahnya. "Kapan aku akan bertemu denganmu, ayah?"
Heaven berjalan ke dapur, di atas meja makan telah tersaji menu sarapan kesukaannya. Canned Soup Cheese dan Raspberry Pie. Ava masih sempat siapkan sarapan, Heaven tahu rutinitas Ava. Bangun di pagi buta sebelum disibukkan pekerjaan. Membuatkan sarapan sambil menahan rasa kantuk.
Belum lagi siang malam, banting tulang agar hidupnya enak. Masuk ke perguruan tinggi, cukupi segala kebutuhannya. Masalah materi Ava selalu memberi lebih. Membayangkan itu, Heaven jadi merasa bersalah. Canned soupnya mendingin, begitu pula dengan raspberry pienya.
Dari jendela dapur matanya menerawang keluar. Tepatnya ke rumah seberang milik keluarga Meyers. Beruntungnya, anak gadis mereka, Charlotte Meyers. Dia punya ayah yang baik hati, perhatian dan peduli. Mereka tertangkap seringkali habiskan waktu bersama. Setiap hari Mr. Meyers mengantar Charlotte ke sekolah, memakaikan syal di leher putrinya, mengecup dahi Charlotte penuh kasih. Uh! Andai, Heaven seberuntung Charlotte.
Daripada meratapi kebahagiaan orang lain, Heaven sudahi santapannya, buru-buru pergi kuliah usai bersihkan peralatan makan dan mengunci rapat pintu rumah. Semilir angin dingin menampar wajahnya, turuni undakan tangga serambi rumah.
Mata jernihnya memindai langit. Saljunya berhenti turun, ia merapat mantelnya. Kerongkongan nyaris kering, musim dingin begitu sesakkan dada. Dia selalu tampil cantik, setelan casual jins hitam dan kemeja crimson black . Mantel pas badan warna hitam. Rambut suteranya tergerai bebas.
Heaven menggembok pagar. Terkejut, saat burung hitam mendadak hinggap di teralis pagar. Sontak Heaven mundur. Raven itu membungkuk, tetap diam di sana. Heaven terpaku dan malah berpikir. Bukankah burung itu yang tinggal di pohon manoglia seberang rumahnya tadi?
Gadis itu cuma miringkan kepalanya, lekas pergi sementara Raven itu terus pandangi punggung Heaven yang hilang di ujung jalan Oxford Road.
Universitasnya tidak jauh dari perkomplekan rumah. Melewati Hyde Park berjalan kaki sekitar 20 menit Heaven bisa sampai di kampus. Dia mengambil fakultas medis semester 4. Hyde park tertutup salju sepenuhnya jika musim gugur atau semi tiba tempat ini ramai pengunjung dan lebih indah lagi.
Anak-anak main bersama hewan peliharaan, remaja duduk berdiskusi dengan teman dan orang tua yang habiskan waktu beserta keluarga. Sekarang, hanya ada gundukan salju di semua daratan.
Sepanjang jalan Heaven gelisah. Firasat buruk penuhi hati, kedatangan burung hitam tadi agak mengganggu pikirannya. Mungkin nasib sial akan menempanya hari ini, dan lagi Heaven merasa sedang di awasi sedari keluar rumah tadi, entah apa tapi hatinya tidak tenang. Lagi, ia sakit kepala.
Pandangan Heaven tersita pada kerumunan orang di depannya. Orang-orang ributkan sesuatu, salah satunya menjerit ngeri. Sirine ambulans terdengar nyaring di luar Park, beberapa mobil polisi terparkir. Heaven berhenti sebentar, petugas kepolisian London meminta warga sipil agar mundur. Tidak tahu, apa yang terjadi. Tapi, Heaven penasaran ingin tahu ada apa di situ?
Petugas juga menggelar garis kuning di antara batang pepohonan. Setengah berlari Heaven masuk di antara khalayak yang semakin ramai. Darah segar merembes di sneakernya. Jasad wanita berambut blonde tergeletak meregang nyawa di sana.
"Astaga.." Heaven bergumam, kedua kakinya lemas seketika.
Entah kapan waktu kematiannya, tubuh jasad itu membiru, urat di sekitar wajahnya menonjol jelas. Mata putihnya terbuka lebar seolah dia dicabut nyawanya dalam kondisi buruk. Mayat itu di banjiri oleh darahnya sendiri. Bau amis menusuk hidung, Masih tampak basah, Heaven tak sengaja menginjak darahnnya.
Yang mencekam dan membuat Heaven sesak napas adalah terdapat bekas gigitan menganga di leher wanita itu. Heaven menutup mulut dengan kedua jemari mungilnya.
Kepalanya berdenyut hebat, tak kuat berada di sana lebih lama lagi. Ia syok lekas kabur dari sana. Perutnya mendadak mual, apa yang terjadi pada wanita itu? Rasanya mustahil. Mungkinkah ini ada kaitan dengan mimpinya? Bekas gigitan itu tampak sangat jelas. Heaven pusing. Menggesek sepatu ketsnya berkali-kali untuk hilangkan noda darah.
Heaven menggigil bak dijangkiti demam tahunan. Sempoyongan langkahkan kakinya yang terlampau lemas. Ia bersandar sebentar di sudut bangunan universitasnya. Bayangan mayat wanita tadi terus berputar di kepalanya. Heaven jadi sulit bernapas. Wajahnya pucat seputih kapas seperti baru bertemu hantu.
"Tidak mungkin." gumamnya. "Mimpiku tak ada hubungannya dengan dia. Bisa jadi, dia tewas tergigit ular atau semacamnya." elaknya.
.
.
Tbc...