webnovel

Two :// A Dead Woman (2)

Happy Reading

Haven mondar-mandir sibuk berpikir, acuhkan pandangan-pandangan aneh dari mahasiswa lain yang berlalu-lalang di depannya. Heaven menyembur napas kasar. Redam kepanikannya. Atur jalan pernapasan guna tenangkan diri. Percaya bahwa takkan ada hal buruk terjadi padanya.

"Uh! Tenang, semuanya akan baik." Katanya berupaya keras lupakan bayangan wanita tadi.

Teman terbang Heaven datang kembali, kali ini dia berada di atas tiang lampu jalanan Queens Gate. Raven itu benar-benar mengawasi Heaven. Sekarang dia mulai paranoid akan keberadaan burung hitam yang ketiga kali di temuinya pagi ini. Kebetulan atau bukan tetapi dia seakan membuntuti kemana pun Heaven pergi. Hatinya makin tidak enak. Buru-buru gadis cantik itu masuk ke dalam universitas.

Telapak tangannya basah dan bergeletar, buku-buku jarinya memutih. Heaven butuh aspirin, kepalanya nyeri tak tertahankan. Heaven tertunduk sebentar usai meneguk pil itu. Ponselnya berdering, nama Avalyn terpampang di layar.

Heaven mengempas napas. "Hallo."

"Astaga, sayang. Kau membuatku khawatir. Kemana saja? Mengapa tidak jawab teleponku?" Suara Ava terdengar cemas.

"Maafkan aku, Mum. Tadi, aku buru-buru berangkat."

"Ada apa? Kenapa kau panik?"

Heaven menggeleng. Jemarinya menyisir rambutnya ke belakang. "Panik? Tidak, Aku biasa saja." Dustanya.

"Jangan berbohong, aku ini ibumu. Aku selalu tahu dari atensi suaramu. Apa yang terjadi? Oh ya, aku, lihat beritanya baru saja. Ini agak membuatku cemas. Biasanya kau melewati tempat itu kan? Di Hyde Park..."

"Ah, Mum! Aku ada kelas, nanti saja bicaranya." Potong Heaven cepat, tidak mau teruskan pembicaraan ini. Sampai sekarang, ia sendiri masih syok. Membayangkannya saja ngeri. Jalan pulang di bayar berapa pun Heaven takkan lalui Hyde Park lagi. "Bye, Mum."

Alis Ava nyaris menyatu, gamam terhadap kondisi putrinya. Agak risau setelah menonton berita lengkapnya di saluran televisi tadi. Apa ini artinya keberadaan Heaven sudah tak aman lagi? Bagaimana jika putrinya saksikan langsung jasad wanita itu? Biasanya berangkat ke kampus, Heaven pasti lalui jalan taman Hyde Park. Ava memutar otak. Kecemasannya berubah jadi firasat buruk. "Tidak boleh.... tidak lagi." gumamnya meneliti lansekap London dari jendela kaca.

.

.

Satu kelas begitu heboh membahas berita penemuan mayat di Hyde Park. Heaven menyita perhatian sewaktu masuk kelas, luka memar di pipinya itu mengundang pertanyaan di benak mahasiswa lain. Heaven acuhkan pandangan tanda tanya yang tertumbuk padanya.

Ia duduk di kursi ujung dekat jendela; asingkan diri. Sedang enggan terlibat dengan apa pun. Sebagian teman kurang mempercayai takhayul, menganggap kematian wanita itu disebabkan oleh serangan binatang buas. Tapi, bila dipikirkan lagi, Hyde Park berada di jantung kota yang lumayan sibuk meski di malam hari.

South Kensington merupakan tempat teraman di Britania Raya selain jalanan kotanya bersih dan terawat, hewan liar pun jarang sekali terlihat selama Heaven tinggal di sini. Lantas, hewan buas macam apa yang masuk ke sini? Memangsa korbannya tanpa diketahui siapa pun termasuk tidak terekam oleh kamera cctv yang tersebar diseluruh sudut bangunan tinggi sekota London. Impossible

Jika pelakunya manusia pasti terekam sementara beberapa teman kelas lainnya mendukung bahwa ada campur tangan makhluk mitos bernama Vampir atau Werewolf. Berdasar bekas gigitan di leher korban menguatkan pernyataan tersebut.

Jemari Heaven menjepit dahi, telinganya panas menangkap pembicaraan mereka yang berkutat ditopik sama. Menyebalkan. Belum apa-apa, pagi ini kesialan satu per satu menempanya.

"Selamat pagi, semuanya!" sapa Mr. Keefe meletakkan silabus tebalnya di atas meja. "Kuharap, peristiwa yang terjadi di Hyde Park tak mengganggu kelas kita hari ini. Baik, mari bahas Neuromuskuloskeletal II." dia menulis kata itu di papan tulis dengan font huruf besar.

Heaven mesti fokus, beberapa pelajaran tertinggal. Nilainya pun mengecewakan. Ia harus berubah, jangan sampai para dosen pembimbing krisis kepercayaan padanya. Dan lagi Heaven pikirkan Ava; mati-matian bekerja demi memasukkan Heaven ke perguruan tinggi dengan biaya mahal, tidak boleh kecewakan beliau.

Andai ia lebih berani untuk bicara pada Ava apa yang menimpanya; akankah dia percaya? Ibu sudah di bebankan banyak pekerjaan kantor juga urusan rumah yang tidak pernah ada habisnya sampai-sampai jam istirahatnya kadang berkurang, Heaven tidak mau menambah pikiran Ava dan membuatnya khawatir.

Hari ini ada jadwal perbaikan nilai dan kelas susulan untuk mahasiswa yang tertinggal mata kuliah. Cuma hari ini. Dua bulan lagi kenaikan semester. Ujian utama di depan mata. Terdapat tiga mata kuliah yang wajib di ulang Heaven. Sudah pasti dia akan pulang terlambat sore ini. Semoga Ava tak marah.

Ia bingung, sekarang sikap Ava jadi agak sensitif. Sejak ia terus bertanya tentang ayahnya. Dia sering kali lekas marah pada hal sepele, mengomel bila Heaven keluar rumah di malam hari, kesal bukan alang-kepalang jika putrinya terlambat pulang dari jadwal.

Ava berlakukan aturan ketat hingga menyusun jam malam. Heaven diharuskan pulang sebelum matahari tenggelam. Tanpa alasan jelas, dia melarang putrinya pergi berkeliaran ketika malam tiba. Daripada bertengkar terus-terusan dengan Ava, lebih baik dia turuti semua keinginannya.

Hampir setiap malam dia berada di rumah kecuali saat darurat atau keluar ditemani Ava. Lagi pula Heaven malas habiskan waktu di luar tanpa tujuan, undangan ke pesta teman sekelas pun dia absen. Dua jam sekali, Ava pasti menghubungi ke nomor rumah atau ponsel; demi pastikan putrinya ada di rumah.

Lama-lama Heaven capek sendiri hadapi sikap protektif ibunya yang tak jelas tapi mau bagaimana lagi. Mungkin saja, Ava sedang merasa lelah akan pekerjaannya di tempat kerja. Merasa penat karena dipaksa berkutat dengan rutinitas itu setiap harinya. Heaven rela dijadikan pelampiasan amarah Ava. Apapun... demi ibu.

Mata berbinar Heaven memancang keluar jendela, semalam tidurnya cukup nyenyak namun tetap saja kedua matanya masih terasa lelah. Huruf-huruf di papan tulis malah makin memberatkan kepala. Nyatanya, Heaven butuh tidur lebih panjang. Kurangnya jam tidur menurunkan daya kinerja otaknya.

Ia lebih cepat capek. Badannya sakit semua. Konsentrasinya pun menurun. Pandangan Heaven membeku; tepat ke arah halaman universitas yang luas. Sesuatu, berdiri tegap di sana; sendirian. Siluet berjubah hitam namun terlihat keluarkan asap hitam di sekujur tubuhnya. Sembunyikan wajah di balik tudung gelap.

Heaven tidak tahu dia -manusia atau?. Sekali lagi, dia tegaskan penglihatannya. Mendadak ia bergidik, sosok berjubah hitam itu sedang menatap ke arahnya. Jantung Heaven berdenyar kencang, napasnya sontak sesak, dadanya sakit bak di tikam belati.

"Miss...Summers!" Mr. Keefe menyeru.

Heaven diam tak merespon, halusinasi semu datang mulai kacaukan pikiran. Tiba-tiba saja, tetesan-tetesan darah segar merembes dari sudut jendela juga dinding kelas. Terus melebar ke mana-mana.

Seluruh lantai, meja, kursi dan seisi kelas tergenang darah. Tangan Heaven lengket di nodai darah. Mendadak kelasnya dipenuhi makhluk-makhluk mengerikan. Tengkorak-tengkorak melayang ke sana kemari, desisan menakutkan hendak mencekik Heaven. Kemana pun matanya memandang; darah di mana-mana. Bau amis menusuk hidung, Heaven terisak, mulutnya gumamkan sesuatu seperti orang kerasukan. Menutup mata dan kedua telinga. Heaven ngeri membuka mata.

Dahi Mr. Keefe mengerut, apa lagi ini? Hampiri Heaven yang semakin histeris. Jam pelajarannya kacau lagi karena ulah mengecewakan gadis itu. Keefe heran terhadap Summers, tak paham apa yang sebenarnya menimpa dia. Gadis yang dibanggakan oleh universitas akan kecerdasannya itu sekarang sering membuat onar.

Kedapatan tidur di kelas, nilainya turun drastis, kurang fokus, dan kelakuannya sering tidak wajar. Mahasiswa lain merasa sangat terganggu dengan pandangan mata menghakimi sekaligus bingung tertambat pada Heaven.

"Kau kenapa!" Mr. Keefe mengomel.

Dia segera jatuh dari kursi, mengejutkan semua orang di kelas termasuk Mr. Keefe, tanpa sebab Heaven pingsan. Salah seorang teman yang duduk di dekatnya buru-buru sergap Heaven, Robbie yang pertama kali menggapainya. Suhu tubuh Heaven sedingin es, wajahnya pucat berikut napas tak beraturan. Denyut jantungnya cepat, Mr. Keefe panik dengan keadaan Heaven.

"Astaga, apa dia baik-baik saja?"

"Ayo, Robbie. Bantu aku, bawa dia ke ruang kesehatan."

Robbie menganggut cepat. "Iya, Mr. Keefe." Kemudian menggendong gadis itu ke atas punggung.

Robbie memiliki postur tubuh kekar berkat kehebatannya bergabung di klub hockey, mudah baginya membawa Heaven ke ruang kesehatan. Robbie percepat jalannya, sementara Mr. Keefe mengekor di belakang, sibuk hubungi Mrs. Summers.

.

.

Tbc...