Kamar Shannon berantakan. Benda-benda yang berada di meja jatuh ke lantai, berserakan. Pakaian di lemari keluar, tercecer di lantai.
Seharian Shannon tidak makan dan tidak tidur. Kantong matanya menggelap, kedua matanya membengkak merah. Semalaman Shannon memikirkan Yunos. Terutama hari-hari penuh kenangan indah bersama. Hari-hari indah itu tak akan datang lagi, setelah beberapa tahun bersama Yunos memutuskan hubungan mereka.
Sia-sia kenangan indah itu terukir. Sekarang berubah bentuk duri yang siap menusuk-nusuk hati ketika kenangan tersebut terulang dikepala.
Shannon bertanya-tanya pada dirinya. Apa yang salah darinya? Mengapa mudah sekali melepaskan Shannon ata apa yang sudah mereka jalani berdua selama ini? Maaf? Apakah selama ini bersama Shannon adalah kesalahan terbesar Yonus.
Shannon berharap bisa melupakan Yunos seketika. Modal berdoa tak begitu saja terkabul dengan cepat permintaannya, jika masih ada ego yang tak terima diperlukan begini oleh Yunos. Tekanan batin memperburuk keadaan Shannon.
Otaknya lumpuh seketika, berpikir jernih pun susah. Kosong seperti nyawanya terambil ke dunia lain. Tubuhnya bak cawan tanpa isinya.
"Shannon?" panggil sang ibu.
Jemarinya tetap mengetuk pintu seraya menyebut nama Shannon.
"Shannon, makan, sudah ibu siapakah di meja makan." bujuk sang ibu.
Suara ketukan pintu ibunya sedari tadi tak mampu menyadarkan Shannon. Sejak beberpa menit lalu orang tuanya berusaha masuk ke dalam. Malamnya mereka membiarkan Shannon, sekarang mereka mana mungkin membiarkan Shannon mengunci diri.
"Shannon!" seru cemas sang ibu.
"Buka, kamu gapapa di dalam?"
"Ayah, kunci cadangan di mana? Shannon gak buka-buka pintu," panik sang ibu. Sang kepala keluarga pun dengan tanggap mencari kunci kamar Shannon.
Pikiran-pikiran negatif melanda, cemas mereka tanggung akibat bisunya Shannon menghiraukan orang tuanya.
Kunci cadangan kamar Shannon ditemukan. Orang tua Shannon membuka pintu, mereka terkejut dengan pemandangan kamar Shannon yang berantakan. Kondisi kamar Shannon pertama kalinya didapat dalam keadaan kacau.
Kamar Shannon berbau badan Shannon yang belum mandi. Udara kamar menjadi pengap, lembab.
Bertambahlah rasa cemas sang ibu. Tergesa-gesa menghampiri Shannon yang meringkuk di tengah kasur. Beliau berusaha membangunkan tubuh Shannon, lalu beliau menyandarkan kelapa Shannon di bahunya. Tangannya dengan lembut mengusap pipi Shannon.
"Sayang, kamu kenapa?" tanyanya cemas penuh kasih sayang.
Mendengar suara lembut ibunya, airmata Shannon kembali menetes. Tubuhnya bergetar, apalagi mulutnya, ingin sekali Shannon berteriak melepas bebannya.
"Kamu sakit?" tanya sang ibu lemah lembut sembari merapikan rambut Shannon yang acak-acakan.
"Kita ke dokter sekarang," ajak sang ayah. Shannon menggelengkan kepalanya, ia tau bahwa suaranya malah makin membuat menangis histeris. Maka dari itu Shannon memilih untuk diam daripada membuat ibunya semakin mencemaskan dirinya.
"Kamu pucet banget sayang," kini sang ibu mengusab lengan Shannon.
"Ada apa sebenarnya, bilang nak," pinta sang ayah. Shannon menggelengkan kepala.
"Gakpapa," jawab Shannon serak.
"Aku cuma sakit kepala aja," setengah mati Shannon mengeluarkan suaranya.
"Ibu ambilin makanan di bawah, kamu mandi supaya badan kamu seger, ya?" pinta sang ibu. Shannon mengganggukan kepalanya.
Dengan nurut Shannon melangkah menuju kamar mandinya. Disana ia berendam di bak mandi selama satu jam.
Keluar dari kamar mandi, ruangan kamarnya sudah tersusun rapi oleh pekerja rumahnya. Makanan pun tersaji di meja belajarnya.
Perlahan Shannon duduk di kursi. Ia menebakkan kakinya di kursi hingga ke dua pahanya menempel di badan. Ia menunduk tanpa disadari Shannon melamun. Beberapa saat kemudian tangannya tergerak mengambil sendok, ia menyendok nasi kemudian ia masukkan ke dalam mulut.
Tiba-tiba kejadian sepuluh hari yang lalu terulang dibenak Shannon. Dimana hari itu Yunos memutuskannya.
Waktu itu sore hari di ruangan musik. Shannon sendirian menunggu Yunos. Dan tak lama Yunos datang menghampiri Shannon, Shannon pun berdiri di hadapan Yunos. Semua terasa normal, berubah aneh waktu Yunos berkata.
"Ada yang ingin omongin ke kamu, apapun yang terjadi diantara kita, kita tetep baikan."
Shannon belum mencium bau yang mencurigakan. Awalnya Shannon mengira Yunos akan memberi kejutan dengan membuat suasana tegang.
"Bicara aja,"
"Kita udahin aja hubungan kita,"
Kalimat itu mampu membisukan suara Shannon. Sekilas suara jam juga angin tertangkap jelas.
Shannon terpaku. Ia masih tak percaya pada omongan Yunos kepada dirinya. Hubungan mereka sudah menginjak 3 tahun, jadi mana mungkin Yunos memutuskannya dengan mudah. Memutuskan hubung saat sayang-sayangnya.
"Bercandamu jelek, ah," ledek Shannon.
"Maaf aku gak bisa sama kamu lagi,"
"Apa yang salah?" suara Shannon bergetar.
Shannon tak menemukan tanda bahwa Yunos sedang bercanda. Sepasang mata Yunos menatapnya serius. Dimata itu juga Shannon kehilangan Yunos yang hangat, di depannya sekarang bukan Yunosnya dulu. Sudah asing dalam sekejap.
"A-ada apa sebenernya, kenapa ttiba-tiba banget?" gagapnya.
"Gapapa,"
"Nggak mungkin gapapa sampai kamu mutusin aku," suara Shannon melemah.
"Maaf banget," suara Yunos pun begitu.
"Bilang aku salah di mana" airmata Shannon menetes deras. Dengan cepat Shannon menghapus airmatanya supaya dapat menatap Yunos. Shannon berusaha tegar.
"Kamu gak salah,"
"Terus kenapa putus," desak Shannon lemah.
"Gapapa,"
Tubuh Shannon tersendat-sendat, "Akh, hskk, harusnya kalo gak ada masalah kamu ga mutusin aku, hsk,"
"Please, ngertiin aku, udah jangan nangis," pinta Yunos.
"Gimana, hsk, aku gak nangis, hsk!" Shannon mengusap lagi airmatanya.
"Maafin aku," jeda Yunos, "kamu gak salah, udah nangisnya,"
"Kalo gak salah kenapa putus, kenapa Yunos!? Hsk!" bentak Shannon lemah.
"Maaf, tolong ngertiin aku,"
"Gimana aku mutusin kamu kalo aku masih sayang kamu, dan kamu juga kan?" tangan Shannon memegang erat pergelangan tangan Yunos. Memohon kepadanya.
"Aku sayang kamu tapi rasa sayangku sekarang beda dari yang dulu. Aku sayang kamu gak lebih sebagai temen. Jadi tolong ngertiin aku, ya,"
"Tolong cerita apa salahku, hsk! Hsk! Aku bakal berubah, hsk! Aku gak mau harus putus, hsk!" pintannya memelas. Wajah Shannon basah dan memerah.
Wajah Yunos berpaling ke arah lain. Tak sanggup dirinya menyaksikan Shannon menderita.
Beberapa kali Shannon membujuknya, mulut Yonus terkunci rapat. Tanpa belas kasih menggantung Shannon.
Mulut Yunos tertutup rapat. Suara tangisan Shannon yang terdengar untuk waktu yang lama.
"Maaf," ujar Yunos lemah.
Akhirnya Shannon menyerah. Ia melepaskan genggamannya. Yunos pun begitu saja meninggalkan Shannon di ruang musik sendirian, seperti tidak ada yang terjadi.
Tak kuasa berdiri, Shannon pun rubuh, duduk dengan kedua tangan menebak lantai, menahan badannya agar tetap tegak.
Airmatanya menetes ke lantai. Membuat titik-titik hitam-eyeleniner, lama-lama melebar seperti air tumpah ke lantai.
"Hsk! Hsk! Ssskkk!" isaknya.
Telapak tangannya menutupi matanya. Bibirnya mengeluarkan suara tangis yang beberapa kali sesegukan.
"Akh! Aaaaaa, hsk!" seru Shannon mengeraskan tangisnya.
Ruangan itu gaduh bak suara tangis Shannon sendiri. Iya menangis hingga warna oren di langit berubah menjadi biru kehitam-hitaman.