Batavia, November 1945.
"Permisi, surat!" teriak seseorang di depan pintu rumah. Gisti yang tengah mengelap senapan lantas mengentikan kegiatannya, meletakkan senapan kebanggannya di atas meja dan dengan langkah tegas berjalan ke luar rumah.
"Ada surat untuk Mbak Gisti," ucap pria di depannya dengan menyerahkan selembar amplop berwarna cokelat tua. Gisti meraihnya, mengerutkan dahinya bingung karena tidak ada nama pengirimnya.
"Kalau boleh tahu, nama pengirimnya siapa ya, Mas?" pria yang sudah memasang ancang-ancang untuk naik ke atas sepeda ontel tuanya langsung berhenti, menoleh ke arah Gisti yang masih menunggu jawaban atas pertanyaan yang gadis itu lontarkan tadi darinya.
Pria itu menggeleng, "Ndak tahu, Mbak. Coba saja dibuka, siapa tahu di dalamnya ada nama pengirimnya. Saya permisi dulu," jawab pria itu seraya pamit. Menuntun sepedanya dan kemudian menaikinya dengan lincah.
"Surat dari siapa, Nduk?" tanya Ibunya, Darmi yang baru saja keluar dari rumah.
"Ndak tahu, Buk. Ndak ada nama pengirimnya."
"Yowes, dibaca saja dulu. Mungkin nama pengirimnya di dalam. Ayo masuk, makan siang dulu. Ibuk sudah masak makanan kesukaan kamu."
Gisti mengangguk, menyusul Darmi yang sudah masuk ke dalam rumah. Mendudukkan dirinya di atas kursi rotan yang sudah tua, membuka amplop yang ia terima tadi. Secarik kertas dengan warna cokelat yang lebih muda dari amplopnya, yang ia yakini adalah sebuah surat, dibolak-baliknya kertas itu, namun dirinya tidak menemukan nama pengirimnya. Gisti yang penasaran lantas membuka kertas itu.
Teruntuk Gisti,
calon istriku di masa depan.
Apa-apaan ini? Calon istrinya di masa depan? Apa pengirim surat ini sudah gila?
Saya kagum dengan kamu, di usia mu yang masih sangat muda, kamu sudah berani memegang senjata untuk menghapuskan para penjajah. Terlebih kamu adalah seorang perempuan, saya tahu jika kamu adalah satu-satunya perempuan dalam anggota TNI.
Gisti, kali pertama saya melihatmu, saya sudah menaruh hati padamu. Kamu percaya dengan cinta pandangan pertama, tidak? Mungkin tidak, ya, karena setahu saya, kamu itu gadis yang keras, penentang keras dengan hal yang berbau cinta. Betul?
Saya suka caramu mengalahkan lawan saat di medan perang, mematahkan kepalanya dengan gerakan gesit saat pertempuran 10 November beberapa hari yang lalu. Sungguh, saya kagum padamu. Disaat para perempuan muda sepertimu berada di rumah, bekerja membantu sang Ibu, kamu malah berjuang mati-matian mengorbankan waktu dan juga nyawa sebagai taruhannya dalam peperangan itu. Setahu saya, itu adalah pengalaman pertamamu terjun ke dunia perang, bukan?
Jangan berpikir keras, siapa saya dan bagaimana saya tahu nama dan alamatmu. Karena saya adalah Dewa.
Sampai bertemu lagi, Gisti.
Salam dari saya, pria yang mencintaimu.
Gisti menutup surat itu dengan gerakan kasar, siapa yang dengan berani mengirimkan surat seperti ini padanya? Sepersekian detik kemudian setelah berpikir keras, Gisti bangkit menyambar senapan yang berada di atas meja. Bergegas keluar tanpa sempat pamit kepada Darmi.
Ia berjalan menuju kediaman temannya, Patih. Dengan senapan yang selalu setia berada di punggungnya, rambut yang ia kepang satu, serta seragam kebanggaannya yang selalu ia kenakan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan sedikit emosi. Menggedor keras pintu rumah Patih.
"Ada apa?" tanya sang tuan rumah dengan datar dan seperti tidak peduli. Sedangkan Gisti tengah mengatur deru napasnya, menahan emosi agar tidak melayangkan satu pukulan ke arah pria di depannya itu.
Gisti mengambil sesuatu dari kantung celananya, mengangkatnya sejajar dengan wajah Patih. "APA INI?!" tanya Gisti dengan suara tinggi, membuat Patih terlonjak kaget namun sepersekon kemudian ia menetralkan kembali raut wajahnya. Patih menatap kertas cokelat muda yang dipegang gadis di depannya ini, mengerutkan dahinya bingung karena ia tidak tahu apa-apa mengenai kertas cokelat yang gadis itu bawa.
"Apa maksudmu? Saya tidak mengerti," tanya Patih balik. Gisti mendecak pelan, memutar bola matanya malas sebelum akhirnya berbicara, "Tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" Gisti memincingkan matanya menatap Patih.
"Coba sini saya lihat." Patih mengulurkan tangannya untuk mencoba meminta dengan baik-baik kertas cokelat yang sedikit kumal dari tangan Gisti.
"Kamu yang mengirimkan surat ini kepada saya, kan?"
"Saya tidak pernah menuliskan satu surat pun, terlebih untuk gadis keras sepertimu."
"Lantas siapa yang mengirimkan kalau bukan kamu? Teman laki-laki saya, kan, hanya kamu."
Patih mengedikan bahunya tidak peduli, hendak berbalik masuk ke dalam rumah namun tangannya dicekal kuat oleh Gisti. "Sungguh ini bukan kamu yang mengirimkan?"
"Berharap sekali kalau saya yang mengirimkan?" Gisti mendecak pelan, melepaskan cekalan tangannya pada lengan kekar Patih. "Percuma saja saya ke sini, lebih baik saya pulang."
"Saya tidak menyuruh kamu untuk ke sini. Tapi langkah lebar kamu yang melangkahkan kakinya ke rumah saya. Bagus, pulanglah sana." Patih mengibaskan tangannya mengusir. Gisti menatapnya tajam dan berbalik dengan sedikit menghentakkan kakinya ke lantai.
Otaknya terus-terusan bekerja, memikirkan siapa yang mengirimkan surat padanya tadi. Dirinya terus berjalan, entah ke mana kakinya akan melangkah, mungkin ke ujung dunia atau bahkan ke planet lain.
Gisti meringis, mengingat masa-masa ketika dirinya masih kecil dan saat itu Indonesia masih dalam masa penjajahan. Dirinya pernah bermimpi ingin membuat sebuah planet, di mana hanya ada dirinya dan seluruh rakyat Indonesia, tanpa mereka sang penjajah. Karena pikirnya dulu, membuat planet sendiri mungkin menyenangkan. Tidak akan ada yang mengganggu, memarahi, memukuli, menembak, mengebom, bahkan membunuh.
Gisti menghela napasnya pasrah, teringat sosok sang ayah yang gugur dalam medan perang saat pertempuran 10 November sekitar satu pekan yang lalu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dirinya ingat betul, kala itu ia dan sang ayah tengah berusaha untuk saling melindungi.
Namun ternyata Tuhan berkehendak lain, Dia lebih memilih sang ayah untuk berpulang daripada Gisti yang harus berpulang. Sebenarnya saat itu ia ingin sekali menyusul ayahnya, namun ia teringat akan ibunya yang harap-harap cemas menanti kepulangan anak dan suaminya yang tengah berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Ibu, kita pulang tapi berbeda jalan. Ayah berpulang ke Sang Pencipta, dan aku berpulang ke sosok yang telah melahirkanku."
Tidak terasa air matanya perlahan mulai mengalir, membasahi pipi tirusnya. Gisti langsung menghapus air matanya dengan kasar. Ia perempuan tangguh, dirinya tidak boleh menangis. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, ia mengulangi kegitan itu berkali-kali sampai pada akhirnya merasa tenang. Melanjutkan kembali langkahnya yang tertunda, sekarang ia memiliki tujuan akan ke mana. Dirinya akan pulang, menuju rumah Ibunda.
***
"Gisti pulang, Buk," ucapnya saat masuk ke dalam rumah. Menggantung senapan kesayangannya di dinding, tepat di samping senapan milik mendiang ayahnya. Langkahnya terlihat sangat gontai, selama perjalanan pulang dirinya terus-menerus memikirkan siapa yang mengirimkan surat padanya. Sungguh kepalanya terasa begitu berat.
"Astaghfirullah, Nduk! Kamu itu dari mana saja? Pergi ndak pamit sama Ibuk," ucap Darmi kala melihat Gisti.
"Dari rumah Patih, Buk. Maaf tadi ndak sempat pamit sama Ibuk karena terburu-buru. Maaf juga sudah bikin Ibuk jadi khawatir," logat bicaranya berubah. Seperti bukan Gisti yang tangguh, beginilah ia jika sedang berada di hadapan sang Ibu. Sifat datar, tegas, dan kerasnya akan melemah jika berada di rumah.
"Yowes, besok-besok lagi bilang ya kalau mau keluar rumah. Ayo makan, kamu belum sempat makan tadi siang," ajak Darmi seraya meraih tangan Gisti untuk menuju ke dapur.
Gisti mengangguk, berjalan mengikuti sang Ibu yang tengah menariknya dengan lembut di depannya.
"Ibuk sudah makan?" Darmi tersenyum, menggeleng pelan. "Kenapa ndak makan, Buk?" tanya Gisti lagi kala hanya melihat balasan senyum dari Darmi.
"Nungguin kamu, Nduk."
"Ndak usah nungguin Gisti, Ibuk makan saja. Gisti pasti makan kalau sudah pulang, ndak mungkin kalau Gisti ndak makan."
Darmi mengangguk, menyendokkan satu centong nasi ke atas piring Gisti. Mereka makan dengan tenang dalam keheningan, hanya terdengar suara jangkrik malam yang saling bersautan.
"Surat tadi sudah kamu baca?" tanya Darmi tiba-tiba kala mereka sudah selesai dengan acara makan-makannya. Gisti mengangguk lemah.
"Dari siapa?"
"Ndak tahu, Buk. Gisti pusing mikirnya."
"Kok pusing?"
Gisti menghela napasnya, menatap Darmi yang kini juga tengah menatapnya dengan alis yang hampir tertaut. "Gimana ndak pusing, Buk. Ndak ada nama pengirimnya, suratnya juga ditulis dengan kata-kata yang aneh."
"Aneh bagaimana maksudmu?"
"Teruntuk Gisti, calon istriku. Seperti itu, Buk. Gisti jadi pusing sendiri mikir siapa yang kirim surat aneh seperti itu sama Gisti."
Darmi tersenyum, "Mungkin pengangum kamu."
"Gisti ndak terkenal. Bagaimana bisa memiliki seorang pengangum? Aneh-aneh saja Ibuk ini."
"Ndak terkenal katamu, Nduk? Siapa yang ndak kenal perempuan pemberani seperti kamu? Yang berani menjadi anggota militer, bertaruh nyawa menuju medan perang, semua orang tahu kamu, Nduk. Dan salah satunya mungkin pengirim surat tanpa nama itu."
"Udah, Buk. Ndak usah dibahas. Gisti pusing."
Darmi tersenyum dan mengangguk, menyuruh Gisti untuk beristirahat karena malam sudah semakin larut. Lagipula besok putrinya itu harus bekerja.
Kowad (Korp Wanita Angkatan Darat) awal mula dibentuk tahun 1961. Sedangkan cerita yang saya tulis, berlatar tahun 1945. Karena memang niatnya, di sini Gisti sebagai tentara wanita satu-satunya yang pada saat itu memaksa untuk menjadi tentara mengikuti ayahnya, Gisti juga ahli dalam bidang militer karena sedikit-sedikit diajari ayahnya waktu kecil.