webnovel

Tagihan Bulanan

Mendung yang terus bergerak cepat dan berlari mengikuti angin. Mengitari suasana dan membuat sekitarnya gelap. Tak lama, gerimis datang dan berubah menjadi hujan deras.

Jefferson atau yang biasa di sapa Jeffry keluar dari ruang klub olahraga, seragamnya basah. Ia menyeka keringat sembari membawa tas jinjing olahraganya. Beberapa mahasiswi mengerubunginya dan memberinya air mineral sambil teriak-teriak memujinya tampan bahkan saat berkeringat.

Jeffry tersenyum manis pada mereka. Memberi servis seperti mengedipkan sebelah mata atau membuka bajunya dan melemparkannya, adalah hobinya. Ia berfikir dirinya adalah idol.

"Hari ini hujan. Pakai saja payungku, Jeffry Si Tampan!" teriak salah satu penggemarnya.

"Tidak apa-apa, pakailah payungmu untuk dirimu sendiri. Aku khawatir kau jatuh sakit. Aku tidak mau itu terjadi."

Gadis-gadis jejeritan karena ucapan manis Jeffry yang meluluhkan hati. Seolah idol kampus yang selalu mendapat cinta dimana-dimana. Jeffry sendiri tak ambil pusing, malah dengan senang hati ia mengikuti prinsip narsisme. Toh gadis-gadis itu memang tergila-gila padanya. Mulai dari mahasiswi junior sampai yang senior sekalipun. Ia tersenyum bangga pada dirinya sendiri dan menyombongkannya dalam hati.

Sore itu Jeffry pulang dengan payung ditangannya. Ia berjalan menuju rumahnya melewati taman kota dan jembatan melengkung kecil dengan dekorasi cantik. Biasanya banyak dikunjungi saat sore hari. Orang-orang datang dengan pasangan atau keluarga mereka dan menghabiskan waktu untuk menyaksikan senja menuju malam.

Hari itu taman sepi. Hujan sangat deras dan beberpa tempat menjadi gelap karena lampu tiang tak menyala. Jeffry melewati jembatan dengan santai, namun seseorang tiba-tiba menabraknya. Ia terkejut dan menduga sesuatu, ia khawatir jika itu adalah orang yang dikenalnya.

"Tidak mungkin!" batinnya. Ia mengalihkan pandangan.

"Jeffry..." panggil gadis itu pelan.

"Maya…" kata Jeffry .

Ia menatap Maya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Pakaian kotor, rambut kumal, barang-barang yang berantakan, bahkan tadi sempat duduk di tanah. Apa dia benar-benar Maya pacarnya saat SMA? Sangat berbeda.

"Kau… benar-benar Maya?" Jeffry menahan tawanya.

"Eh?" Maya menyadari bahwa Jeffry ingin menertawakannya.

" Kau sangat berbeda dari Maya yang ku kenal. Kenapa kau berubah menjadi jelek begini?"

"Apa!?" Maya tidak percaya mendengar ucapan Jeffry yang sulit ia cerna.

Suara hujan yang sangat deras mengelilingi suasana aneh saat ini.

"J...jelek? Kau benar-benar Jeffry yang kukenal dulu?"

"Mau kuantar sampai rumah? Sepertinya kau butuh bantuan," oloknya.

Maya tersenyum sarkas, "Padahal kau dau dulu mengejarku seperti orang bodoh."

"Maaf-maaf, aku sempat tak mengenalimu tadi. Kau benar-benar..."

"Itu karena aku basah kuyup!"

"Benarkah?" Jefry menahan tawanya. "Menurutku tidak ada bedanya."

"Meskipun dulu aku yang memutuskanmu, bukankah ini keterlaluan?"

Jeffry berjongkok mendekat. "Tunggu dulu." I memeriksa detail wajah Maya satu persatu mulai dari mata.

"Kau imut juga," tawanya terdengar merendahkan. "tapi masih pendek seperti dulu."

Maya mendecih, ia mengambil kuda-kuda, tangannya mengepal ke depan muka, kepalanya yang keras bersiap beradu dengan kepala pria sombong itu. Saatnya tempur sekarang juga. Ia tak peduli dengan hujan yang mengguyurnya.

"Apa yang kau lakukan? Apa kau gila?" Jeffry melotot tak percaya.

Kekasihnya yang dulu anggun, sekarang menjadi preman yang siap melumatnya. Maya mengangkat tas dan melayangkannya ke kepala Jeffry. Seolah slowmotion dan efek aura serigala seolah berada di sekeliling tubuh Maya. Jeffry merapatkan bibirnya, alisnya berkerut ketakutan, dirinya ngeri melihat Maya. Ia bersiap melarikan diri dari amukannya, namun tak sempat. Maya mengambil ancang-ancang menundukkan kepala, memaksa mencengkeram bahu Jeffry yang tinggi hingga ia berjongkok. Sesaat kemudian sebuah kepala yang kerasnya mirip batu menabrak kepala Jeffry. Ia limbung dan jatuh ke tanah dengan terjengkang.

"Kau masih suka selingkuh seperti dulu? Pacarmu masih ada di setiap gang? Dasar sampah!"

Jeffry memegang ubun-ubun kepalanya yang pening. Ditambah dengan air hujan yang jatuh, kepalanya pusing. Ia berusaha berdiri meski oleng kanan-kiri. Dilihatnya Maya yang melotot dan siap dalam kuda-kudanya lagi. Jeffry berteriak frustasi sembari lari tunggang langgang dari singa yang mengaum di depannya. Ia lari tunggang langgang hingga meninggalkan payungnya di tempat.

"Tidaaaaaaak!"

***

Waktu memang mengubah manusia. Rasa nyaman dan kehilangan, semuanya membaur menjadi mimpi dimasa lalu. Lebih cepat dari yang Maya kira. Hari-hari lembut dengan mentari tipis, dan usapan hangat daun maple. Siapa yang lebih dulu mengucapkan selamat tinggal, dialah yang akan menyimpan rasa sakit dari yang lain.

Saat itu adalah waktu yang membahagiakan. Maya, gadis cantik bak bunga mekar. Sekolah adalah tentang cinta, patah hati, dan persahabatan. Jeffry adalah cinta pertamanya sekaligus pacar pertamanya. Maya adalah gadis pendek yang lumayan populer, meskipun banyak yang tidak menyukainya dan mengatainya sok imut dan sok genit ke cowok-cowok. Awalnya ia hanya bermain-main, alasannya cuma ingin mengenal saja. Tapi setelah mengenalnya, Maya merasa hidupnya berubah, hari-harinya yang hanya dihabiskan bermain dengan teman-temannya sekarang kepribadiannya berubah menjadi rajin belajar.

Jeffry adalah cowok pendiam, kutu buku, lumayan jago basket, jika sudah mengenalnya akan ketahuan sifat jeleknya yaitu terlalu sombong dan membanggakan diri. Ia adalah siswa yang biasa-biasa saja. Maya sangat menikmati masa pacaran mereka. Sampai akhirnya, Maya memutuskan untuk berpisah. Kalau saja Jeffry tidak berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, itu tak akan terjadi.

Tak disangka pertemuan tiba-tiba terjadi ditengah hujan begini. Seperti sinetron saja. Ia kira ini akan jadi hal romantis seperti di film-film. Tapi ternyata salah besar. Ia menggelengkan kepalanya menyingkirkan pikiran jelek itu. Ditepisnya segala kemungkinan buruk yang berkecamuk diotaknya. Tapi ucapan pria sombong kemarin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa dia menyebut dirinya jelek? Meskipun sekarang Maya memang tak bisa se-anggun dulu. Maya mendecih berkali-kali tiap mengingatnya.

"Dari setelan bajunya tadi, apa dia sudah bekerja? Atau sedang kuliah?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ah kenapa juga aku memikirkannya," Maya menabok kepalanya sendiri di dalam kamar.

Mendadak ingatannya melintas beberapa bulan kemarin. Saat bibi pemilik kompleks guesthouse mendatangi kamarnya dan marah-marah menagih tunggakan sewa. Maya menghela napas.

"Disaat aku banyak hutang begini, apa aku bahkan boleh memikirkan kehidupan percintaanku? Sorry, I'm anti romantic." Maya meletakkan lengannya depan dada dan membentuk tanda silang.

Flashback.

Gedoran pintu memecah kesunyian kamar Maya. Suara bibi pemilik kompleks menggema di seluruh bangunan kecil kamarnya. Ia bangkit dari ranjang dan dengan cekatan disumpalnya telinga dengan headseat atau dirinya akan mendengar auman mengerikan disertai hujan dari mulut bibi.

"Tunggakan sewamu menumpuk berbulan-bulan. Dan yang kau lakukan hanya bersantai dengan headset sehari-hari!" omel wanita pemilik bangunan komplek perumahan itu.

Bibi itu mempunyai tompel dipipi yang lumayan besar. Wajahnya judes dan matanya nampak seperti dollar, maksudnya seperti mata duitan. Ia tak segan-segan mengancam akan membuang barang-barang Maya ke tukang sampah karena sering kabur saat batas waktu pembayaran uang sewa.

"Cepat bayar untuk bulan ini!" tuntutnya.

"Jangan kasar-kasar begitu. Sebentar lagi aku akan jadi mahasisiwa, lagipula..." Maya menggaruk tengkuk lehernya. "Aku aku akan pindah beberapa bulan lagi. Kau tahu, aku ini siswa tingkat akhir yang harus bayar ujian, tapi ibu dan ayahku malah liburan ke Bali. Aku seperti dibuang. Kau tidak kasihan padaku?" Maya menatap bibi itu agak jengkel. Meski akhirnya ia memohon agar diberi waktu.

"Aku tak punya urusan dengan masalahmu. Mau kau dibuang, ditelantarkan, sama sekali bukan urusanku. Urusanku hanyalah menagih uang setiap bulan!"

"Kenapa tiba-tiba kau jadi tokoh antagonis di sinetron yang sering memarahi tokoh utama yang miskin?"

"Kau akan sulit dapat pacar kalau begini terus sampai kuliah nanti. Lihatlah kelakuanmu! Pria mana yang sudi jalan denganmu!"

Setelah memaki Maya, wanita gembul itu berjalan pergi meninggalkannya. Ia akan terus menimpali ucapannya dengan alasan-alasan karena situasi finansialnya yang menyedihkan. Suara langkah kaki wanita itu terdengar kian menipis. Maya bernafas lega. Setidaknya itu berarti ia masih diberi waktu lagi untuk melunasi uang sewa.

Flashback end

"Umpatan adalah makananku sehari-hari." Maya menginga kenangan itu dengan pedih.

Tubuhnya yang terasa berat ia jatuhkan ke ranjang bersamaan dengan helaan nafas panjang. Sejenak memejamkan mata. Baginya tak ada nasib sial atau nasib buruk. Tapi justru ia yang tak mempercayainya, hidupnya malah semakin tidak berjalan sesuai keinginannya alias sial. Selain biaya sewa, masih banyak hutang dibebeberapa bank, dan kenalan lainnya. Ia hanya perlu mencari pekerjaan dan melunasinya sedikit demi sedikit.

Sejenak ia terpejam, mendadak ia ingat belum meminta maaf pada senior Tian. Maya bangun dan kembali mengeluh.

"Kapan istirahatnya kalau begini, aiishh," omelnya.