webnovel

Mantan

Maya melihat jadwal kalender di ponselnya. Setiap minggunya dia membuat jadwal terstruktur untuk membagi tabungan gajinya untuk ditabung, dipakai sehari-hari dan untuk menyicil hutangnya. Ia menghela napas berat, mendadak ia teringat belum meminta maaf pada senior Tian tentang kejadian tadi malam. Dirinya harus memberanikan diri, kebetulan hari ini tidak ada jadwal pertemuan klub olahraga. Maya jadi tidak yakin apa masih bisa ikut banyak klub ketika diirnya sibuk bekerja paruh waktu.

PRANG

Suara nyaring terdengar dari arah dapur.

Beberapa gelas kaca jatuh di lantai keramik. Pelayan lain yang tengah melayani pengunjung restoran di area tengah, masuk dan memeriksanya. Dengan tergesa Maya berjongkok memunguti pecahan gelas dengan panik. Ia memasukkan seluruh pecahannya kedalam kantong plastik hitam, kemudian menentengnya berpura-pura seolah tak terjadi apapun.

"Apa yang terjadi?" tanya salah satu pelayan pria.

"Memangnya apa yang terjadi?" Maya menyembunyikan kegugupannya.

Ia menyembunyikan kantong itu di belakang tubuh mungilnya. Wajahnya nampak pucat, khawatir kalau para pelayan lain mengetahui bahwa ia baru saja memecahkan beberapa gelas yang cukup mahal.

"Tidak terjadi apapun di sini. Tenang saja, aku baik-baik saja, kok," Maya mencairkan suasana dengan tawa receh yang terdengar aneh.

"Kami mendengar suara benda jatuh, jadi kami langsung kemari. Memangnya siapa yang khawatir denganmu?" Mereka menggeleng.

"Lalu kantong hitam apa itu?"

"Ini cuma sampah dapur, aku akan membuangnya. Kalian kembalilah bekerja, jangan bergerombol disini. Bagaimana kalau bos datang dan marah-mar..."

Suara pintu dapur berdecit, mereka menoleh bersamaan. Seorang pria tambun pendek masuk dan menengahi pertengkaran kecil mereka. Wajahnya garang, ada tahi lalat di pipi kanannya, berkaca mata ala Harry Potter dan memakai setelan jas rapi.

Semua orang disana terkejut kemudian memberi hormat padanya.

"Bos..." Gumam Maya pelan.

"Aku menggaji kalian untuk bekerja bukan untuk bertengkar." pria paruh baya yang dipanggil Bos itu berkacak pinggang. Ia mendekat ke arah Maya sambil melotot hingga bola matanya menyembul keluar.

"Apa yang kau sembunyikan di belakang itu?" tanya Bos curiga.

"I...ini cuma sampah, Bos. Aku akan membuangnya. Tapi mereka tiba-tiba datang dan..."

"Lalu kenapa wajahmu pucat seperti maling yang tertangkap basah? Coba aku lihat apa isi sampah itu."

"Ini benar-benar sampah," cemasnya.

Bos semakin menuntut untuk segera memberikan kantong plastik hitam itu.

"Kau berani dengan Bosmu. Cepat berikan. Dasar bocah!"

Akhirnya Bos menarik kantong itu dengan paksa, begitu juga dengan Maya yang masih keukeuh mempertahankannya. Terjadi tarik menarik diantara keduanya. Pelayan lain cuma menonton siapa kira-kira yang akan mendapatkan kantong plastik hitamnya.

Lima belas menit kemudian.

"Pergi sana!"

"Bos, jangan pecat aku. Aku akan bekerja keras untuk melunasi gelas-gelasnya," Maya meyatukan kedua telapak tangannya sembari memohon di depan pintu restoran bertuliskan Sea-Food itu.

"Sebenarnya dari awal aku sudah tahu kau tidak kompeten. Aku menerimamu karena aku kasihan melihat seorang mahasiswi miskin sepertimu!"

Bos kembali ke dalam untuk mengambil tas Maya lalu melemparnya ke jalan.

Maya nyang tadi memohon sekarang mengerutkan dahi dan menatapnya tajam mendengar ucapan kasarnya. Ia berhenti meminta agar tidak dipecat. Maya tidak terima dengan ucapan bos yang mengumpatinya. Memangnya selama ini dirinya tak berusaha keras? Memangnya ada orang yang mau miskin di dunia ini?

"Apa katamu tadi?" Maya berkaca pinggang, tak sudi memohon lagi.

Maya melepas celemek kerjanya lalu melempernya ke pintu restoran. Ia membenahi pakaiannya, berlagak sok keren bahwa ia tak perlu lagi pekerjaan itu.

"Baiklah. Siapa yang butuh pekerjaan ini! Siapa yang mau bekerja dengan bos kasar dan jahat sepertimu!

"A..apa katamu!" Wajah bos berapi-api. "Siapa ayahmu hingga berani menantangku!"

"Gajah berjuang dengan gajah, pelanduk mati ditengah-tengah. Itu cocok untuk situasi ini," gumam Maya.

"Maksudmu aku ini mirip gajah?" Wajah bos semakin memerah menahan kesal. "Berani sekali kau menyamakan wajah tampanku ini dengan gajah!"

Bos mengambil sapu di pojok sudut. Dirinya dipenuhui amarah seolah muncul tanduk merah dikepalanya. Ia mengangkat sapu dan mengancam akan melemparkannya pada Maya jika terus berceloteh omong kosong di depan restorannya.

Akhirnya Maya melarikan diri sembari mengumpati bosnya.

"Kau bukannya mirip gajah, tapi memang gajah." Maya tertawa lebar sembari lari tunggang langgang.

***

Hari yang melelahkan. Maya memijit-mijit bahu dan meregangkan kepalanya sembari mendumel tidak jelas. Merutuki mantan bos yang memecatnya dengan tak berperasaan. Apalagi mengatai-ngatainya dan melempar tasnya keluar. Meskipun memang itu kenyataannya, tetap saja membuat orang kesal mendengarnya.

Senja dan warna jingga nampak membaur indah, teduh, dan menenangkan. Semacam lukisan perspektif di langit barat. Beberapa pasangan bergandengan tangan mesra melewati jembatan sore ini. Maya berdiam diri ditengah lalu lalang para pasangan kekasih yang menikmati sunset. Ia menatap penampilannya sekarang. Ia merasa malu menatap tubuhnya yang kumal penuh keringat, kotor seperti gelandangan. Ditambah lagi rambut yang terurai asal-asalan. Ia menatap sudut-sudut tempat dengan gelisah dan kecewa. Hanya dirinya saja yang tak nampak seperti orang kebanyakan.

"Aku selalu mengeluh hiudpku tidak sempurna. Tapi sebenarnya aku penasaran apa definisi hidup sempurna yang sesusungguhnya." keluh Maya pada dirinya sendiri. Mendadak ia ingat hari pertamanya tadi di kampus. "Jika aku tinggi dan cantik apa aku tidak perlu kerja paruh waktu, ya?

Maya tertawa miris sembari memandangi langit senja yang teduh. Meratapi hidupnya yang menurutnya selalu dirasa kekurangan. Meski begitu, ia berusaha hidup positif dan bersyukur pada keadannya. Bukankah setiap orang kadang-kadang memang berada di fase iri pada orang lain. Maya duduk di bawah pohon dekat jembatan taman.

"Kenapa pikiranku jadi melakolis begini?" Maya menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Besok aku harus ke kampus. Harus cepat pulang, nih."

Dasar payah. Gumamnya dalam hati merutuki apa saja yang baru ia pikirkan sekarang. Ini bukan saatnya sok dramatis. "Ah iya, aku belum minta maaf pada Seniro Tian, aduh." Maya menepuk jidatnya. "

Maya melewati jembatan. Sekitarnya yang tadi ramai, sekarang mulai sepi. Hari menjelang malam. Ia merapikan coat-nya dan berlarian meninggalkan jembatan sambil memeluk tas.

Tiba-tiba Ia terjatuh karena tersandung sepatunya sendiri, seluruh isi tasnya berhamburan keluar, berkas-berkas dan ponsel berserakan di jalan. Beruntung jalanan sudah sepi sejak tadi. Ia tak habis pikir betapa cerobohnya dia. Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya.

"Kenapa aku jadi sesial ini, sih!" jeritnya di tengah jalan setapak yang diterangi tiang lampu redup. Ia berjongkok memunguti satu persatu barang yang berserakan.

Belum sempat membereskan semuanya awan mendung mendadak mengampirinya. Gerimis kecil berdatangan, jatuh diujung celah-celah rambutnya. Bajunya basah dan seluruh tubuhnya mulai kedinginan. Ia masih tak peduli dan tengah sibuk memasukkan barang-barangnya kedalam tas. Air hujan mengguyur dan membasahi kertas-kertas yang dipungut Maya. Bagai jatuh ketiban tangga.

Maya berdiri merapikan berkas yang mungkin sudah tak terselamatkan karena tintanya luntur terkena air. Ia bergegas melangkah hingga tak memperhatikan jalan. Mendadak ia menabrak tubuh seseorang pria. Lagi-lagi ia terjatuh dan tersungkur di tanah. Ia membersihkan pakaiannya sembari mengumpat. Tak peduli siapa yang baru saja ditabraknya. Sedang hujan semakin deras.

"Kenapa aku jatuh lagi sih!" omel Maya tanpa melihat siapa pria di hadapannya.

"Sini, biar kubantu," kata pria itu dengan tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangan kanannya kepada Maya sedang tangan kirinya memegang payung biru muda.

"Tidak apa-apa, aku bisa sen..." Maya tertegun menatapnya.

Begitu juga pria itu.

"Jefry....."

Maya berdiri dan melihat sekelilingnya yang redup dan hujan turun sangat deras.

"Maya, kau…:

"Ini salahku. M-maaf," Maya menundukkan kepala.

"Tidak apa-apa aku mengerti. Kau pasti buru-buru karena hujan."

Mereka terdiam sesaat.

Dibawah payung yang sama. Tak sengaja mata mereka bertemu, suasana berubah canggung, pria itu mengalihkan pandangannya.