webnovel

Kesadaran

Kumohon biarkan aku berlari. Meskipun aku akan jatuh dan terluka. Aku akan melewatinya. Meskipun sulit dan hampir membuatku ingin mati. Biarkan aku bertahan.

Kumohon, biarkan aku berlari.

Bola-bola kerucut menjuntai. Berwarna ungu gelap. Segalanya terasa nyata. Namun hanya kekosongan. Aku berjalan diantara masa laluku dan masa lalumu. Kemudian aku berfikir. Bisakah aku lebih lama menggenggam telapak tangan yang berubah pucat dan dingin? Diiringi masa lampau sarat kebahagiaan. Merebak tawa dalam kesedihan. Aku ingin melepasmu dan membencimu, layaknya kita seorang rival. Tapi yang kulakukan hanyalah berlari, berlari tanpa batas hingga aku terluka. Walaupun begitu, bayanganmu masih menyisakan jejak yang tak terlihat.

Tidak benar jika aku ingin menyayangimu. Itu tidak benar. Tidak benar.

Demi bergulirnya masa. Demi angin yang melewati buritan. Demi Ikan Dalam yang menapaki lautan. Demi sebuah kenangan dan persahabatan. Demi sesuatu yang terbuang. Kasih sayang yang ingin kulupakan. Izinkan aku berlari lebih jauh lagi. Setidaknya biarkan aku terbang seperti Dandelion. Biarkan aku hidup seperti Kupu-kupu.

Jika aku kembali. Aku tidak tahu apa lagi rencana Tuhan. Lagi-lagi sebuah keberuntungan. Jika begitu aku ingin menghapus air matamu. Layaknya penghancur, aku ingin menghancurkan tangismu. Tapi aku hanya lari. Lari. Hari ini. Besok. Besoknya lagi. Dan esoknya lagi.

Seperti seseorang yang menggunting lipatan. Menggantang asap. Merobek langit. Dan menanti gerimis di musim panas. Sorak sorai menggema. Kuangkat tanganku. Melambai seolah 'sampai jumpa'. Adakalanya intuisi lebih kuat dari hipotesis manapun atau rumus matematika sekalipun. Ketidaktahuan dan ambisi yang menggebu. Lenyap tak berdebu. Lintasan sebuah keputusan. Seolah aku bisa mengontrol diriku sendiri. Berdiri di atas pijakan. Sela-sela mereka mengingat. Mengenai padang sabana dan sebuah rumah untuk pulang. Kenyataannya, hanyalah aku terbangun di atas ranjang. Dan berkata, besok masih ada waktu. Besok aku akan berbicara dan melakukan sesuatu.

Tiba-tiba aku terlambat. Bersama pisau yang mengalirkan tinta berwarna merah pekat. Terngiang dalam dekapan. Keadaan seperti dimakan fatamorgana. Aku ingin mempercayai tangan kananku. Namun yang kumiliki hanya tangan kiri yang gemetaran diselimuti ketakutan. Aku ingin berkata tidak apa-apa. Tetapi lidahku dipenuhi gerigi yang tak beraturan.

Biarkan aku berlari. Masih dengan apa yang kumiliki.

Entah apa yang membuatku hilang. Tersesat di tengah hutan. Tidak tahu cara berenang ke tepian. Berdiam diri di pulau sampan. Berhaluan buah kenangan. Menyisir abu berurai tangisan. Aku tercekat. Menutup mata. Lalu membuka mata. Runtuh tak tertahankan. Bersama bayangan di sepanjang jalan.

Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa dunia ini tidak sempurna. Jadi tidak perlu kesempurnaan untuk hidup. Bahkan tanpa itu kau masih bisa bernapas bebas di sini. Namun aku hanyalah seseorang yang merangkak tanpa alas. Hingga lututku berdarah. Tidak ada satupun yang sekadar memberiku plester untuk menutupi luka. Tidak mempunyai sandaran. Kecuali sebuah dinding kosong.

Sebutir cahaya. Secarik kertas. Dan sebuah pena.

Aku masih berlari kepayahan. Jerat tali mengekang hingga tegang. Berderet dan berserakan. Mataku sayu. Cermin bening di hadapanku. Menafsirkan tidurku yang dilingkari bunga dengan mimpi yang masih berada di tempat. Alter egoku meracau. Kali ini bukan menyuruhku untuk mati atau menghabisi siapapun. Ia membuka kelopak mata basah. Mengigau kesakitan. Mereka meneriakiku berlari untuk bertahan. Bahkan jika aku bernapas dan kehabisan. Aku menunggu sebuah jawaban. Masa muda yang telah lama ingin kutuntaskan. Membawaku melayang. Karena kupu-kupu itu. Adalah arti yang sebenarnya.

Setelah lama terpejam. Pupilku mulai terlihat. Memandangi keramaian. Kursi dan meja. Papan tulis putih bergambar. Jendela dan loker. Jas almamater tergantung di mana-mana. Kepalaku masih bersentuhan dengan meja. Sekitarku seperti bergerak 90 derajat. Melewati banyak hal seperti deja vu. Mengulangi dan terulang. Aku ingin mencuri kebahagiaan. Tersembunyi dan terselip di memori. Namun sekarang itu semua di hadapan. Teman-temanku, guruku dan kakakku.

"Apa kau sudah selesai dengan acara tidurmu?" tanya seseorang.

"Eh?" aku menegakkan kepala dan melihatnya dengan tatapan bingung.

"Teman-teman sedang membuat spanduk. Aku melihatmu tidur jadi kubiarkan saja. Apa kau mau membantu? Kelas sangat sibuk. Sebentar lagi kita kan wisuda," jelas Hana. Teman sekelasku. Entah kenapa, jika mendekati hari kelulusan. Semua orang yang bahkan tak pernah bicara, bisa menjadi akrab.

"Aku harus menyelesaikan sesuatu. Nanti aku menyusul." sahutku.

Beberapa siswa laki-laki sibuk bermain-bermain dan lari-lari. Siswi perempuan mengejar dan memarahi mereka. Ada yang membantu melukis spanduk. Ada yang berfoto ria. Ada yang sibuk main catur, membersihkan kaca. Atau sekadar mengobrol. Kelas hampir setiap hari kosong. Ujian sudah berlalu beberapa hari yang lalu. Dan tinggal menunggu pengumuman kelulusan dan wisuda. Aku tersenyum simpul melihatnya. Sedang yang kulakukan hanya tidur di bangku sudut paling belakang. Kurapikan meja dan buku-buku yang berserakan di atasnya. Mendadak sesuatu memecah perhatianku.

Sebuah pena ungu dan selembar kertas putih kosong. Tergeletak di sana. Entah milik siapa. Yang pasti bukan kepunyaanku. Aku mengedarkan pandangan kalau kalau seseorang kehilangan barang. Namun teman-teman sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Aku mengedikkan bahu seraya meraih pena dan kertas itu. Mendadak aku merasa. Sepertinya benda itu memang untukku.

Ketika aku memegang pena itu. Kutatap lama seperti seseorang memberitahuku. Lalu tiba-tiba....

Aku teringat....Ibu.

Aku teringat....segalanya.

Seorang ibu, tetaplah menjadi seorang ibu selamanya. Sekalipun ia tak menghendaki seorang anak lahir dari rahimnya. Hakikatnya tak bisa dipungkiri. Seandainya Tuhan mengizinkanku memilih ibu, aku tetap akan memilihnya sebagai ibuku. Aku...

"Apa kau baik-baik saja? Aku sudah lebih baik dan akan menjadi lebih baik lagi. Banyak hal yang telah kulewati sepanjang ini. Meminum obat, disuntik anestesi, dikurung di ruangan putih, rumah sakit jiwa. Aku melawan skizofrenia dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin mengecewakan siapapun lagi. Aram, Alfa, kakak dan dirimu....Ibu.

Tetaplah seorang anak kecil. Yang tiap malam memanggil ibunya, seolah bermimpi berjumpa. Menggenggam tangannya, mengajaknya bermain, mengajaknya mengerjakan PR, dan membuatkanku sarapan setiap pagi.

Tak hanya itu. Masih ada hal buruk lainnya. Aku telah kehilangan sahabat yang hampir tumbuh dewasa denganku, seperti saudara, keluarga yang yak pernah kumiliki sebelumnya. Tangan yang selalu menguatkanku ketika hampir menyerah, hampir terjatuh tak ingin hidup. Masa lampau sarat bahagia. Yang tak bisa kumiliki selamanya. Tak bisa kubawa hingga ke masa depan. Hanyalah kenangan, memori lama. Kebahagiaan yang bersembunyi dibalik kesedihan. Namun aku mulai belajar dan membaca satu persatu. Mengenai Lyan, mengenai Alfa dan Aram, mengenai kakak, dan mengenai Ibu.

Mereka tak bisa selamanya kumiliki. Saat malam, mereka tertidur. Dan jika aku kelelahan dan juga memejamkan mata. Aku berharap tetap bisa melindungi orang-orang yang kusayangi meskipun mereka terlelap akan mimpi dan harapan. Namun semua itu salah. Ketika ingin aku akhiri hidup yang tak berguna ini. Ketika ingin kuhabisi roh yang mendiami ragaku. Sebab tak ada satupun yang menginginkanku, tak satupun mempercayaiku, akan keberadaanku. Itu bukanlah dosa. Mati bukanlah hal yang baik. Tuhan tidak menyukainya. Begitu juga dengan orang-orang yang mulai mengakui dan mendukungku, lalu kenapa aku ingin mati? Perlahan aku sadar. Kuputar pikuranku sepenuhnya. memahami mereka dari sisi yang berbeda. Aku paham. Dengan hidup dan menerima apa adanyalah yang membuat semua orang lebih baik. Lebih mempercayai orang lain dan diri mereka sendiri. Dan aku ingin seperti itu. Percaya pada diriku sendiri. Dan menerima diriku sendiri.

Bukankah aku sudah bertambah cerdas, Bu? Aku mencintaimu meskipun aku tidak bisa memelukmu, Ibu."