webnovel

Normal

"Benar katamu. Ini kencan terburuk!"

"Ini juga salahmu. Kenapa kau membiarkan pacarmu kepanasan dan kehausan."

Alfa berdiri dari bangku dengan tergesa. Segera ia melesat entah kemana. Membeli beberapa minuman kaleng. Wajahnya memerah menahan kesal. Segera setelah bayangan tubuhnya tak terlihat dari pandanganku. Aku terduduk sendirian. Di bangku taman. Di temani pohon Oak, Cemara, Akasia. Dan rerumputan reki, yang menyebar diantaranya. Masih tersisa banyak waktu. Setidaknya kakak tidak akan memarahiku, jika tidak pulang terlambat.

Aku menghela napas. Menghilangkan bosan dengan menghitung pasangan yang melewatiku. Muda-mudi mesra bergandengan tangan. Mendadak hal semacam itu menjadi tabu. Pikiranku memang kolot. Ku enyahkan segalanya. Terkadang bayangan wanita itu muncul sesekali, juga amis darah. Tapi ku hempas dari nadiku. Aku tidak menginginkannya.

Hanya ada jalanan setapak. Dipenuhi ramai oleh macam-macam bunga. Diriku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai kekasih. Karena aku telah menghabiskannya dengan obat di rumah sakit jiwa itu. Sungguh konyol, jika sekarang aku baik-baik saja. Dan mengenai keberadaan Alfa. Apakah sama dengan keberadaan wanita itu? Entahlah. Aram dan dirinya. Samar-samar membuatku terperangah. Tak satupun yang membuatku paham. Mendadak aku ingat akan sesuatu.

"Karena suatu hari nanti, kau akan menyadari sesuatu mengenai foto itu."

Aram berbicara misterius ketika kami minum di kafetaria tadi. Secepatnya Aku menggeledah isi tasku dengan cekatan bermaksud meraih ponsel. Kubuka galeri foto, dimana ada aku dan Aram mengambil potret berdua. Seketika aku menganga. Semakin lama kupandangi foto itu, semakin tak mengerti. Bagaimana wajah keduanya bisa semirip ini? Apa mataku selama ini rabun? Hanya bisa menggelengkan kepala. Menghela napas panjang.

"Apa aku terlalu lama?"

Suara Alfa memecah keheningan. Melerai pertarungan otak dan perasaan yang tak karuan. Ia membawa dua buah kaleng soda. Kumasukkan ponselku tergesa-gesa ke dalam tas.

"Kenapa kau gugup. Apa kau baru saja menghubungi pacarmu yang lain?" candanya sembari menatap ponselku.

"Bicara apa kau! Aku bukan orang yang seperti itu!"

Alfa hanya berdehem ringan, kemudian duduk di sampingku seraya memberiku satu kaleng minuman.

"Ayo berkencan dengan normal," kataku tiba-tiba. Ia tersedak minumannya dan menoleh ke arahku. "Pergi ke bioskop, kebun binatang, pasar malam, toko buku, naik gunung, melihat sunset di pantai dan semacamnya. Kita masih punya banyak waktu yang tersisa kan? Bukankah begitu jadwal orang-orang yang berkencan?"

"Apa kau demam?" ia menyentuh dahiku yang tak panas. "Kenapa kau bersemangat sekali?"

Sahutanku hanya senyuman lebar.

"Sebenarnya aku tak mau membuatmu kelelahan," ujar Alfa dengan alis tertekuk. Air mukanya nampak mengkhawatirkanku.

"Kenapa kau berpikir bagitu?"

"Ah tidak. Kalau begitu ayo. Ayo kita lakukan semua yang ingin kau lakukan. Pertama-tama kita akan ke kebun binatang. Karena sepertinya sebentar lagi akan tutup," katanya sambil melihat jam di pergelangan tangannya.

Alfa menarik tanganku. Meninggalkan bangku taman. Kali ini menggenggam dengan sangat erat. Entah apa yang direncanakannya.

Ia mengajakku menaiki bis, sialnya sore ini sangat ramai hingga harus berdesak-desakkan. Aku dan Alfa terpaksa berdiri dengan sebelah tangan terangkat memegang pegangan besi. Tak sedikit orang asing yang menendang tubuhku yang mungil. Hingga beberapa kali Alfa harus melindungiku. Dan beberapa kali juga wajahnya yang hanya berjarak sangat dekat dengan wajahku. Hampir membuatku jantungku meledak memuntahkan isinya. Aku memalingkan muka, namun tetap saja pipiku memerah seperti telur rebus. Sedangkan pria itu, nampak menikmati momen semacam ini. Ia bahkan tertawa dan terus menatapku. Apa dirinya tidak merasa malu dengan jarak yang begitu dekat? Hingga membuatku menahan napas lama. Ah kapan bisnya berhenti?

"Jangan menahan napas. Kau mau kehabisan oksigen? Atau kau mau minta oksigen dariku?" godanya seraya merapatkan tubuhnya padaku.

Aku tidak berani menatapnya. Ia benar-benar tidak tahan dengan kelakuannya. Lagipula ini bukan drama Korea. Wajahku memanas. Ingin segera kutonjok mukanya yang sok tampan. Tapi kenyataannya aku bahkan tak bisa bergerak di dalam bis yang sesak ini.

Setelah turun dari bis. Kami menuju tempat pertama. Zoo park. Layaknya pasangan biasa. Bergandengan tangan. Ber-selca-ria sana sini. Berlarian mengambil spot terbaik seperti kencan anak muda lainnya. Kemudian tidak lupa mengabadikan foto-foto hewan langka dan satwa yang dilindungi dengan kamera ponsel. Burung cenderawasih, monyet kecil, jerapah, unta, kelinci. Bahkan menaiki gajah berdua. Sangat menyenangkan. Aku menikmati semuanya, dan berharap bisa terus tertawa seperti ini bersama pria ini.

Seisi kebun binatang telah kami jelajahi. Alfa juga mengajakku menonton bioskop. Memakai kacamata 3D, dan makan cemilan popcorn. Ini akan selalu menjadi kencan pertama terbaikku.

Di pantai, aku dan Alfa juga bersenang-senang. Bermain air. Mencipratkan air satu sama lain. Bahkan Alfa menggendongku dan menceburkanku. Membiarkanku basah-basahan. Kami layaknya orang yang kekurangan kasih sayang di masa kecil.

Saat langit merah mulai mengayun. Alfa menarik memegang erat tanganku. Memintaku menemui senja. Semburat jingga di ujung Marina. Seperti berirama kasih sayang. Menghantarkan pelukan hangat. Ditaburi kenangan indah baru. Secuil sajak dan puisi. Menelusuri pesan dari memori paling cantik. Kami duduk di hamparan pasir putih luas. Dipenuhi kerang, bintang, dan kuda laut. Tawa mengembang dengan sebongkah harapan lama. Yang sejak dahulu tersimpan lemah. Aku bergetar, menatap senyuman indah pria di sampingku. Yang seraya memeluk bahuku. Menyiratkan kebahagiaan terpendam. Yang selama ini terpendam, ku kubur dalam tanah. Kali ini ia menggalinya dengan seribu makna. Entah atas nama cinta atau apapun. Aku belum tahu.

"Apa kita akan pulang setelah senja berakhir?" tanyaku.

"Apa ada yang kau inginkan lagi?"

"Kita kan belum ke pasar malam, naik komidi putar, sangkar burung raksasa, rumah hantu, dan makan manisan."

"Yah itu ide bagus, kecuali rumah hantu."

"Kenapa?"

"Rumah hantu zaman sekarang itu jelek-jelek semua. Hantunya tidak seram sama sekali! Aku benci hantu yang biasa-biasa saja!"

"Kenapa kau jadi sangat marah?" aku menatapnya heran.

"Kalau hantunya seram, kau pasti ketakutan, lalu kau akan meneriaki namaku dan berhamburan memelukku," ia tertawa lebar.

Aku mendesis seraya memukul pelan kepalanya yang hanya berisi pikiran kotor. Namun Alfa hanya menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. Ia baru saja mempermainkanku. Ah ingin kutendang pria itu. Tapi sebaliknya, lagi-lagi Alfa bersikap romantis dengan meletakkan jaketnya di bahuku. Bagaimana aku bisa memarahinya lagi jika ia bersikap seperti ini? Aku hanya tersenyum kecil memandanginya.

Senja mulai menghilang. Mengatup meninggalkanku dan Alfa. Gelap ramai nampak di sudut-sudut langit yang kelabu. Membimbing cahaya yang kian memudar. Kelelahan menapaki siang. Kehabisan tenaga layaknya melangkahi hari-hari. Lampu-lampu tinggi di pesisir menyala dengan sendirinya. Pertanda malam merengkuh suasana. Bayangan yang awalnya di bias oleh matahari. Kini digantikan oleh tiang-tiang tinggi penerang. Orang-orang mulai berhamburan meninggalkan pantai. Mencari naungan untuk pulang. Setidaknya menuju rumah. Dan kehangatan keluarga masing-masing.

Begitu juga aku dan Alfa. Yang kembali dari hari yang panjang nan menyenangkan. Mencari rumah yang lebih hangat. Sekadar menghilangkan penat, yang tiada kunjung usai. Bersama cahaya-cahaya itu aku tersenyum, juga pria itu, yang masih bersamaku melewati hal-hal tak begitu indah.