webnovel

Kesadaran

Di suatu pagi. Cuaca belum membaik. Awan-awan masih kelabu bersama mendung. Hujan deras mengguyur kota semalaman. Menyisakan tetesan-tetesan air di balkon apartemen. Roy tengah membolak-balikan telur di atas panci penggorengan. Dengan lihainya, ia menambahkan penyedap rasa di atas sajiannya. Dua porsi omelette tersaji nikmat di atas meja makan. Dimulai pagi ini, hari ini. Ia pastinya harus memasak dua porsi makan. Karena anggota keluarganya bertambah satu orang lagi. Perasaan gembira tak bisa disembunyikan lagi. Ia benar-benar senang mendapat anak asuh baru. Lebih tepatnya seorang adik. Karena usianya baru dua puluh tahun, akan jadi sangat aneh jika ia memiliki anak berusia dua belas tahun. Sebagai penghargaan, hari ini resmi menjadi hari penyambutan adik perempuan barunya di apartemen. Roy sangat antusias mengenai segala sesuatunya. Ia senang memiliki seseorang yang harus dilindungi, karena ia tak pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Meskipun statusnya menjadi seorang pengangguran, untuk sekarang ini.

Setelah memastikan sajian sarapan pagi siap di atas meja. Roy melepas celemek dapur yang melekat ramping di tubuh tinggi idealnya. Ia melangkah menuju kamar adik barunya. Tanpa rasa enggan, Roy langsung membuka pintu berniat membangunkannya. Namun apa yang didapatinya terbalik dengan harapannya. Kamar itu kosong. Anak itu, telah menghilang.

Ia shock seketika. Setelahnya, dicarinya di kamar mandi, ruang tengah, ruang kerja. Roy tak mendapati siapapun. Hanya ada dirinya seorang. Ia meraih jaket tebal yang tergantung di almari. Sampai tergopoh-gopoh memakai sepatu. Segera Roy berlari keluar, mencari-cari keberadaan anak itu. Padahal pagi baru saja menyingsing. Hawa dingin merebak di jalanan. Sisa-sisa air yang mengisi lubang-lubang aspal di trotoar. Meninggalkan bias pelangi indah, meski sebelumnya diterpa hujan badai. Sesekali Roy berjalan cepat, juga berjalan lambat untuk sekadar menoleh kanan kiri. Kalau-kalau anak itu tersesat di gang-gang. Entah bagaimana bisa ia lengah. Jelas-jelas pintu depan terkunci, namun tiba-tiba pintunya terbuka sebelum ia membukanya ditambah lagi anak itu menghilang.

Roy memasukkan jari-jari tangannya yang hampir beku kedinginan ke dalam saku jaket. Pagi yang dingin hingga menusuk tulang. Ia mulai memikirkan kondisi anak itu. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia kedinginan sama sepertiku? Kalau begitu ia harus segera menemukannya.

Tiba-tiba seorang bocah laki-laki asing, berusia sebaya dengan adiknya, yang entah dari mana asalnya. Berdiri santai di hadapan Roy dengan senyuman penuh arti. Bocah itu melangkah mendekati Roy.

"Apa kau sedang mencari adikmu?" tanyanya.

"Hey anak kecil. Bagaimana kau tahu?" Roy tertegun.

"Itu mudah. Semuanya tertulis di dahimu. Aku juga tahu apa yang sedang kau pikirkan. Kau seorang psikiater jenius yang magang di sebuah rumah sakit. Tapi sayangnya, kau sudah...diberhentikan."

Roy tergagap menanggapi perkataan bocah itu. Ia berjongkok menyamakan dirinya dengan tubuh pendek bocah itu. Dan dengan wajah agak tertekuk, Roy berbicara pelan dan halus layaknya orang dewasa pada anak-anak.

"Baiklah bocah, aku mengakui bakatmu. Apa kau teman adikku? Kau bisa beritahu aku dimana dia karena aku kakaknya."

"Dasar orang dewasa!" rutuk bocah itu. "Aku bukan teman adikmu, tapi aku tahu dimana dia. Jika kau ingin tahu, kau harus menyelamatkanku lebih dulu."

"Menyelematkanmu? Dari apa?"

"Dari Ibuku"

"Ibumu? Kenapa?"

Roy heran dengan cara bicara bocah itu. Terlalu tenang dan dewasa. Apa anak itu dewasa sebelum waktunya? Roy menganggukkan kepala. Sesudah bocah asing itu mengatakan segala sesuatu tentang ibunya. Jika tidak segera lari dari ibunya, maka ia akan dimasukkan ke panti rehabilitasi kejiwaan anak. Ia meyakinkan Roy bahwa dirinya tidak gila. Ia hanya istimewa dan spesial. Namun ibunya tak mengerti dan tak mau percaya hal semacam itu. Menurutnya bertemu dengan Roy adalah garis Tuhan. Karena ia tak mau berakhir dewasa di panti khusus yang hanya berisi anak-anak autis. Lama-lama, ia yang masih waras, pasti akan ikut gila jika terus hidup di sana. Bocah itu mulai menyalahkan ibunya bahkan mengatainya dengan bahasa kasar seperti orang dewasa. Roy diam menyimak. Hanya sesekali angin dan debu udara yang menyingkap pembicaraan mereka.

Mendengar kisahnya Roy cukup tercengang, juga terkesima dengan kejeniusan bocah itu. Sembari berjalan di sekitar jalanan dan gang kecil, bocah itu membawa Roy ke sebuah taman tang dipenuhi jenis bunga dan ayunan anak-anak. Ia melihat sekilas bocah laki-laki yang benar-benar membawanya menemukan adiknya. Viola tengah bermain ayunan di sana sembari merenung, mematyng tanpa ekspresi.

"Apa kau indigo?"

Roy kembali berkata pada bocah itu. Namun sedetik kemudian ia menoleh. Bocah itu telah menghilang. Lenyap dimakan udara. Bersama angin yang semerbak, seolah pertanda bahwa anak itu memang spesial. Entah malaikat atau benar-benar bocah indigo. Roy tak yakin. Namun ia lega, bisa melihat Viola lagi. Sebentar lagi akan diajaknya pulang adiknya bersama dengannya.

"Viola," panggil Roy

Ia berdiri di hadapan Viola yang masih dikelilingi lamunan. Ia memanggilnya sekali lagi. Viola hanya menyiratkan lirikan, namun masih tak bergeming.

"Viola. Kau dengar kakak?" Roy memegang kedua bahu kecil adiknya.

"Jadi namaku adalah Viola?" gadis kecil itu menatap nanar kakaknya.

Roy terdiam. Air mukanya berubah cepat. Pandangannya sendu, melihat wajah Viola yang tak mempunyai rasa, seperti orang tak waras.

"Ayo kita pulang."

"Sangat aneh jika ada seseorang memanggil namaku. Jadi begini ya, rasanya dipanggil dengan sebuah nama. Menyenangkan sekali. Karena wanita itu tak pernah memanggil namaku. Aku jadi lupa siapa aku. Benar-benar membuatku muak. Aku muak melihat orang dewasa." Viola menatap kosong udara.

Suaranya serak. Kebencian, amarah, dan ego, menyatu di dalam batinnya. Ia menatap lusuh dirinya sendiri. Seolah pantas dikasihani. Air matanya habis, tak ada sisa lagi untuk dunia yang mengasingkannya. Kesakitan berkepanjangan. Seperti kelebihan dosis obat-obatan yang membuat candu akan kegilaan. Menapaki masa depan, terasa berjalan di atas jalan bertanjak yang dipenuhi kawat duri, halus dan kecil, namun mematikan. Sebenarnya ia tak ingin hidup lagi dan bertemu orang-orang dewasa lainnya sejenis wanita itu. Ingin disudahi segala sesuatunya. Namun ia sadar. Dirinya tak akan mati, walaupun ia berfikir untuk mati. Karena semua itu sudah ada garisnya masing-masing. Viola menatap pasrah kakaknya yang berkaca-kaca. Tak kuasa menahan luka. Sebuah luka tetaplah sebuah luka meskipun telah menjadi bekas luka yang mengering. Terlanjur tergores oleh kasih sayang.

Flashback End

Pikiran yang memercikkan darah ke langit, mengubah awan hitam menjadi merah segar. Mengibaskan jeratan, belukar dan dosa. Melapuk di ujung sarat. Bernas sebuah tungku api. Ditumbuhi arang, ditumbuhi berang. Sesekali menjuntai di trotoar. Berkoar-koar seperti buas. Tetapi bukan paradigma. Diantara ribuan proletar, seolah hanya memakan tulang-belulang. Setiap hari mendidih, meluap seperti kobaran api. Menembus jantung, ulu hati. Tetaplah haram bagi wanita itu. Bukan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tabu baginya. Tabu. Sampai-sampai ia ingin mati jika mendengarnya.

Creation is hard, cheer me up!

Ari_Ariyacreators' thoughts