webnovel

Anak Kecil

"Ketua!" panggil Roy tiba-tiba. Suaranya meninggi.

"Kenapa aku mendapatkan surat pemberhentian dari Kepala Rumah Sakit?"

"Itulah yang ku khawatirkan, kau tak seharusnya mengajukan proposal itu secepatnya."

"Tapi anak itu membutuhkan perawatan sekarang bukannya nanti. Sebelum semuanya terlambat. Aku yang akan menanganinya!"

"Aku tahu. Aku tahu. Ini bukan tentang siapa yang akan menangani anak itu. Karirmu yang dipertaruhkan! Apa kau ingat posisimu? Kau ini psikiater magang!" ujar Ketua dengan penuh penekanan.

"Tapi aku...." Roy kepayahan. Ia mengacak rambutnya frustasi.

"Lebih baik kau temui Kepala, dan cabut proposal mengenai anak itu. Dengan begitu kau tidak akan keluar dari rumah sakit. Aku tidak bisa melihatmu diberhentikan. Kau jenius. Masih muda. Bahkan skripsimu kau selesaikan dengan cepat. Aku mohon, jangan sampai kau berhenti, Casano."

"Aku tidak peduli tentang itu! Aku seorang psikiater! Apa aku akan diam saja melihat seorang anak tersiksa jiwanya! Jika perlu aku yang akan merawatnya. Aku yang akan menyembuhkannya!"

"Ibu....anak itu. Dia di sini. Di rumah sakit ini."

"Apa?" Roy memucat.

"Aku tahu usiamu baru memasuki dua puluh. Kau baru saja melewati masa pubertasmu. Dan kau baru beberapa bulan magang di sini. Berhentilah berempati."

"Jadi benar. Wanita yang mengamuk di koridor tadi memang dia," Roy tersenyum miris. "Aku bahkan tidak peduli. Untuk apa aku jenius? Untuk apa aku menjadi psikiater? Jika pasien anak kecilpun aku tak becus menanganinya? Aku tidak naif, Ketua. Kalau ibu anak itu ada di sini. Maka, aku akan membawanya pergi jauh dari rumah sakit ini. Aku akan terus merawatnya, meskipun kau tidak mengizinkannya sekalipun! Aku tidak peduli!"

"Aku mengenalmu dengan baik. Begitu juga dengan keputusan yang dirimu ambil. Aku di pihakmu, Casano. Tetapi kondisi ini benar-benar akan membuatmu terluka. Kau akan selalu ingat dengan masa lalumu jika setiap hari melihat anak itu. Di dunia ini psikiater tidak hanya kau seorang."

"Tidak. Tidak....lagi."

Roy memalingkan wajahnya Ia sadar apa yang dikatakan Ketua benar. Tapi kalau bukan dirinya. Siapa lagi yang mau melakukannya?

"Luka di kedua telapak tanganmu. Aku harap segera membaik," kata Ketua dengan tulus. "Dan berhentilah mengonsumsi Phenobarbital. Dengan begitu aku akan lebih tenang."

Roy meninggalkan surat itu di atas meja Ketua. Ia melangkah lemas keluar ruangan. Sesaat sebelum ia keluar. Roy sempat mengatakan sesuatu.

"Dan satu lagi. Ini bukan hanya rasa empati. Tapi lebih dari sekadar itu."

Ketua menghela napas panjang. Membiarkan Roy yang sudah dianggap anaknya sendiri melenggang, memilih pilihan sesuai kata hatinya. Apapun yang menurut Roy baik, Ketua menghargai keputusannya. Apapun resikonya. Sekalipun menyela, tak ada gunanya. Ia akan tetap bersikukuh dan nekat dengan apa yang diinginkannya. Ketua berfikir, bersama anak itu, Roy bisa saja bahagia atau malah menyakiti dirinya sendiri.

Temaram memenuhi malam. Terombang-ambing dengan suara kicauan. Embun masih rerimbunan. Dingin menusuk tulang dalam. Di sudut gedung apartemen, lampu kuning masih berpijar. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Masih tampak kecemasan di wajah Roy. Pikirannya pening dan pusing. Rambutnya acak-acakan. Entah sudah beberapa jam lamanya ia memandangi surat pemberhentian itu di meja kerjanya. Pilihan yang tak memberinya kesempatan memilih. Jubah putih panjangnya tergantung di sana. Tak akan tersentuh lagi mulai sekarang. Pakaian seorang dokter yang selalu diimpikannya, selalu dibanggakannyaa. Dengan sukarela dilepasnya. Ia memegang keningnya yang berkerut. Pandangan matanya sayup-sayup, percuma berbaring di atas ranjang. Insomnia melilit tubuh. Perban di telapak tangan terbuka dengan sendirinya. Luka goresan itu mengering lebih cepat dari biasanya. Ia menatap kosong udara. Mematung, memandangi hampanya hidup.

Samar-samar terdengar suara tangisan dari ruang tengah. Lamunan Roy teralihkan. Ia melipat kembali surat itu dengan rapi, lalu memasukkannya ke dalam laci bawah meja. Suara tangisan anak perempuan semakin lama semakin melengking, mirip raungan. Sesaat, Roy sadar. Ia tak lagi tinggal sendirian di rumah ini. Dengan tergesa-gesa ia berlari menuju arah datangnya suara. Roy tak mendapati siapapun di sana. Suaranya menghilang. Sampai tiba-tiba, terdengar lagi dari dalam lemari yang terletak di sana. Jeritan pilu, tertahan sampai rusuk tulang belakang.

Roy gemetaran memegang gagang almari. Perlahan ia membukanya dan mendapati anak gadis itu di sana. Memeluk lututnya sendiri. di dalam ruangan sempit. Bersembunyi dari rasa takut. Namun itu tak berguna. Gadis dua belas tahun itu, tetap meringkuk ketakutan. Tubuhnya gemetaran. Roy berjongkok, menyamakan posisi tubuhnya dengan anak itu. Memberi perhatian dan nasihat.

"Kakak di sini. Jangan takut. Tidak akan ada yang melukaimu," kata Roy dengan mata berkaca-kaca.

"Aku harus sembunyi sekarang. Sebelum wanita itu menemukan keberadanku," kata gadis itu dengan bibir gemetar.

"Tak ada siapapun di sini. Hanya ada kakak. Kau aman bersamaku."

"Tidak. Kata wanita itu tidak ada tempat aman untukku. Dia akan menemukanku di manapun aku berada. Aku takut Kakak. Tolong pergilah, sebelum kau terluka karena aku."

Tanpa Roy dan Viola kecil sadari, dari balik jendela luar, ada seorang anak kecil laki-laki yang berusia sama dengan Viola merasa sedih. Dia adalah Alfa. Alfa adalah saksi yang akhirnya membuat ibu Viola di penjara karena melakukan kekerasan dan penyiksaan fisik dalam waktu lama pada putrinya. Namun seiring berjalannya waktu, Alfa tak lagi tinggal di lingkungan itu. Setelah Roy mengadopsi Viola, ia juga pergi dari sana.

Roy memegang lengan mungil nan pucatnya. Tampak kepedihan, tertinggal bekas luka. Berlubang di hatinya. Gadis itu tenggelam dalam emosi yang tak bisa terluap. Wajahnya makin memutih biru. Getir terpendam bertahun-tahun. Roy sangat paham hal itu. Jangan ada lagi luka yang tak berdarah semacam ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menyembuhkannya. Ia tak peduli betapa sulitnya bertahan. Air mata mengalir hangat di pipi. Dipeluknya dalam dekapan gadis tak berdosa di hadapannya. Menghangatkannya dari hawa dingin yang selama ini tak diketahui orang.

Sesaat ingin mengumpat. Dalam pikiran mencuat. Mengabaikan kasih sayang. Jejak musim kebohongan. Jemari kecil meregang lautan. Meminta hangat pelukan. Memohon yang mengurai airmata. Kelembutan yang selalu diinginkan setiap anak. napas kembali terengah. Hati gundah menerima kenyataan. Haruskan orang dewasa bersikap begini? Roy membisu. Ia tak ingin ada lagi anak yang hidup menggila sepertinya. Untuk itulah ia menjadi seorang psikiater. Mengobati siapapun yang terluka jiwanya. Bukan untuk karier ataupun reputasi. Ia tak peduli jika dirinya menjadi pengangguran setelah ini. Ia hanya ingin menyembuhkan mereka. Hanya itu keinginannya. Agar tidak ada yang terluka lagi sepertinya. Roy adalah korban penyiksaan ayahnya saat masih kecil, hingga membuat ibunya sakit-sakitan dan meninggal.

Roy menghela napas. Dengan penuh kasih sayang ia menidurkan anak itu di ranjang dengan hati-hati, kemudian menyelimutinya, bahkan merapikan rambut coklatnya yang terurai berantakan. Ia menjadi sosok orang tua baru baginya. Diusapnya pelan puncak kepalanya. Membiarkan ia bermimpi indah dalam lelap tidurnya. Sekalipun hanya sebuah mimpi.